YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Saat ini Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sedang membahas RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Salah satu isu yang menarik perhatian publik adalah Pasal 39 terkait masa jabatan Kepala Desa (Kades).
Baleg DPR RI mengusulkan perubahan masa jabatan Kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun dengan perubahan pada periodisasi yaitu dari maksimal tiga kali masa jabatan menjadi maksimal dua kali masa jabatan baik secara berturut-turut maupun tidak secara berturutturut.
Namun demikian, belum ada kata sepakat di antara semua fraksi partai politik. Enam fraksi setuju (PDIP, Golkar, PKB, Gerindra, PKS, dan PPP) dan tiga fraksi lainnya belum menyatakan sikap lantaran tidak hadir pada rapat tersebut (Nasdem, Demokrat, dan PAN).
Rencana perubahan ini jika dilihat secara umum menunjukkan, bahwa maksimal rentang waktu seseorang menjadi kades adalah 18 tahun. Namun, sembilan tahun dalam satu kali masa jabatan adalah waktu yang terlalu lama bagi masyarakat untuk mengevaluasi kinerja Kades apakah layak dipilih kembali atau tidak pada Pilkades/Pilur berikutnya.
“Ini tidak sehat untuk iklim negara demokrasi. Mayoritas rentang masa kepemimpinan di negara-negara yang demokrasinya baik adalah empat hingga enam tahun. Selain itu, keberadaan sistem demokrasi adalah untuk membatasi masa jabatan, bukan malah memperpanjang,” ungkap Dr. phil. Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ridho Al-Hamdi, S.Fil.I., MA dalam keterangannya kepada Suara Muhammadiyah, Jum’at (23/6).
Ridho mengungkapkan terlalu lamanya masa jabatan Kades juga berpotensi untuk melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power) serta bisa merusak subtansi demokrasi yang sudah baik. Politisi Inggris bernama Lord Acton pernah menyatakan: power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan itu cenderung merusak/korupsi, dan kekuasaan yang absolut cenderung merusak/korup secara absolut pula).
“Sembilan tahun adalah waktu yang terlalu lama dan berpotensi seperti pernyataan Acton tersebut. Karena itu, enam tahun adalah pilihan yang bijak. Tidak perlu diperpanjang lagi. Jika kinerja Kades inkumben dianggap berhasil, pasti akan terpilih lagi pada periode yang kedua,” tambah Ridho.
Batasan maksimal dua periode adalah pilihan yang tepat bagi masa jabatan kades. Model dua kali masa jabatan yang diadopsi banyak negara demokrasi ini didasarkan pada pengalaman bijak mantan Presiden Amerika pertama, George Washington, yang menolak diberikan posisi untuk ketiga kalinya sebagai presiden meskipun ada peluang besar untuk terpilih kembali. Maksimal dua periode adalah pilihan yang tepat juga bagi Indonesia agar terjadi sirkulasi elite menuju konsolidasi demokrasi yang lebih solid dan berkemajuan.
Baleg DPR RI dan para kades di seluruh Indonesia diharapkan dapat bersikap dewasa dalam menyikapi masa jabatan kades ini dan tidak terjebak pada ambisi kekuasaan yang sering kali melupakan substansi demokrasi sebagai jalan untuk membatasi masa jabatan, bukan malah memperpanjang. Dengan demikian, enam tahun dalam satu kali masa jabatan Kades dengan maksimal dua kali masa jabatan adalah pilihan tepat dan bijak bagi Indonesia yang sudah melewati seperempat abad sebagai negara demokrasi. (Riz)