Memaknai ‘Idul Adha
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Bersyukurlah kita! Pada saat ini menjadi bagian dari umat Islam yang mampu dan mau menunaikan perintah Allāh Subhānahu wa Taʻāla dan senantiasa berusaha meninggalkan segala larangan-Nya. Bukankah di antara keluarga, saudara, tetangga, teman kita, ada yang pada saat ini mungkin sakit fisik, mungkin sakit mental, atau keduanya?
Akibatnya, mereka tidak dapat beribadah dalam rangka menyambut ‘Idul Adha. Yang memprihatinkan adalah jika ada di antara mereka yang pada saat ini tidak mensyukuri nikmat, tetapi justru berbuat maksiat.
Tentu kita wajib mendoakan: yang sakit, segera sembuh. Yang tertutup hatinya, segera mendapat hidayah dari Allāh Subhānahu wa Taʻāla.
Tidak lupa kita bermohon semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada teladan kita, Muhammad shallallahu ʻalaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya, yang senantiasa ittibaʻ padanya.
Tidak lupa juga. Kita selalu berdoa dan berusaha meningkatkan kualitas iman dan takwa agar tidak merugi apalagi dilaknat.
‘Idul Adha bersifat multidemensi. Namun, secara garis besar, kita dapat memaknainya dari dimensi hablun minallah dan hablun minannas.
Dimensi Hablun Minallah
‘Idul Adha tidak dapat dilepaskan dari peristiwa kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam.
Telah berpuluh-puluh tahun lamanya beliau dan Sarah, istrinya, mendambakan punya anak, tetapi belum dikaruniai. Tak berhenti beliau berdoa sebagaimana dijelaskan di dalam surat ash-Shaffat (37): 100,
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”
Doanya itu pun dikabulkan sebagaimana dijelaskan pada ayat 101,
“Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.”
Namun, setelah mempunyai anak, beliau diperintah menyembelihnya. Karena menyadari bahwa cintanya kepada Allāh Subhānahu wa Taʻāla harus melebihi segalanya, termasuk cintanya kepada Ismail, buah hati belahan jiwanya, beliau pun melakukan perintah itu.
Sementara itu, Ismail pun dengan ikhlas taat pada perintah Allāh Subhānahu wa Taʻāla, sebagaimana dijelaskan pada ayat 102 sampai 107 dijelaskan,
“Tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, Hai, anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Oleh karena itu, pikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab, Hai, bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya-Allah kau mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Setelah kedua-duanya berserah diri, dan dibaringkannya atas pelipisnya, dan Kami panggillah dia, Hai, Ibrahim! Sesungguhnya, telah engkau benarkan mimpi itu. Sesungguhnya, demikianlah, Kami memberikan ganjaran kepada orang yang berbuat kebajikan. Sesungguhnya, ini benar-benar suatu percobaan yang nyata. Dan telah Kami tebus dia (anak itu) dengan seekor sembelihan yang besar.”
Manusia diciptakan oleh Allāh Subhānahu wa Taʻāla agar berbakti dan mengabdi kepada-Nya sebagaimana dijelaskan di dalam surat adz-Dzariyat (51): 56.
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.”
Mengapa demikian? Jawabannya adalah Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadi tempat manusia memohon sebagaimana di dalam surat al-Ikhlas (112): 2. Manusialah yang selalu mohon dan hanya mohon pertolongan kepada-Nya sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-Fathah (1): 5.
Sementara itu, kebaikan yang dilakukan oleh manusia pada akhirnya kembali kepada manusia itu sendiri. Sebaliknya, kejelekan yang dilakukannya pun akhirnya kembali manusia itu sendiri sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-Isra’ (17): 7
Dengan kata lain, pengabdian yang dilakukan oleh manusia bukanlah untuk Allāh Subhānahu wa Taʻāla, melainkan untuk manusia itu sendiri. Allāh Subhānahu wa Taʻāla, tidak memerlukannya.
Karena ketakwaannya kepada Allāh Subhānahu wa Taʻāla, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memperoleh balasan yang luar biasa besarnya. Hal itu dijelaskan pada ayat 108 dan 109,
“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang lebih baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.”
Bukankah kita sekurang-kurangnya setiap shalat mengucapkan shalawat Ibrahimiyah, yaitu
“Ya, Allah! Beri ṣalawatlah kepada Muḥammad dan kepada keluarga Muḥammad sebagaimana Engkau beri ṣalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, dan beri berkahlah kepada Muḥammad dan keluarga Muḥammad sebagaimana Engkau beri berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya, Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia.”
Inilah bukti nyata bahwa Allāh Subhānahu wa Taʻāla pasti membalas amal saleh hamba-Nya dengan yang jauh lebih memuliakan.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah memberikan teladan yang sangat penting juga bagi kehidupan pemimpin. Beliau adalah pemimpin keluarga yang bersedia berdialog dengan anak dan istrinya itu. Perilaku yang demikian mengajari para pemimpin agar mau berdialog dengan orang yang dipimpinnya.
Dari sisi lain, pengurbanan Siti Hajar pun luar biasa. Betapa besar kerinduannya mempunyai anak. Namun, ia harus ikhlas melepas jantung hatinya. Betapa besar godaan setan, tetapi ia tidak tergoda sedikit pun karena tahu bahwa suaminya melakukan kebenaran Ilahi.
Tidak kalah hebatnya adalah pengurbanan Ismail. Ia masih muda belia. Namun, ia pun dengan sabar dan ikhlas menerima dan melaksanakan perintah Allāh Subhānahu wa Taʻāla. Ia berkurban dengan penuh keikhlasan demi kehidupan yang abadi.
Alhamdulillah! Sekarang makin banyak umat Islam yang melaksanakan kurban. Sekadar contoh: ada tujuh remaja yang menyisihkan uang jajannya untuk berkurban. Ada juga pemulung, tukang becak, dan penjual nasi miskin, yang menabung untuk dapat berkurban.
Mereka sangat memahami bahwa berkurban merupakan perintah Allāh Subhānahu wa Taʻāla sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-Kautsar (100),
“Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya, orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.”
Sekali lagi, pelajaran penting yang harus kita pahami adalah bahwa ketakwaan pada Allāh Subhānahu wa Taʻāla pasti mendatangkan keberkahan.
Dimensi Hablun Minannas
Suasana kekeluargaan dan kebersamaan benar-benar tercipta melalui ‘Idul Adha. Pada saat ini kaum muslimin yang mampu, dengan semangat kekeluargaan dan kebersamaan, membagikan daging kurban, tidak hanya kepada saudara-saudara yang seiman. Semangat yang demikian semestinya berlangsung sepanjang zaman! Jika terwujud, betapa sejahteranya umat manusia! Hal ini berarti bahwa Islam sebagai rahmatan lilʻālamīn terbukti di dalam kehidupan nyata.
Pada saat ‘Idul Adha, kita bersama-sama mengagungkan nama Allāh Subhānahu wa Taʻāla dengan bahasa dan lagu yang sama meskipun berasal dari suku, bangsa, dan negara yang berbeda. Di samping itu, umat Islam yang mampu dan mau menunaikan ibadah haji berkumpul di satu tempat yang sama. Pendek kata, ‘Idul Adha merupakan sarana mempererat rasa kekeluargaan dan kebersamaan umat Islam seluruh dunia.
Umat Islam tidak dibeda-bedakan berdasarkan warna kulit, suku bangsa, pangkat, jabatan, atau golongan. Pembedaan hanyalah berdasarkan kualitas ketakwaan. Di hadapan Allāh Subhānahu wa Taʻāla kita sama, dan yang paling mulia di antara kita adalah yang mempunyai kualitas ketakwaan yang paling tinggi.
Firman Allāh Subhānahu wa Taʻāla di dalam al-Qurʻan surat al-Hujurat (49): 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sebagai insan beriman, semestinya dengan penuh ketaatan kita berkurban. Sangat disayangkan jika ada di antara umat Islam lebih suka menggunakan uangnya untuk kesenangan duniawi, misalnya untuk membeli rokok, daripada untuk berkurban!
Jika melakukan demikian, berarti mereka tidak bersyukur atas nikmat dari Allāh Subhānahu wa Taʻāla! Betapa ruginya mereka sebab orang yang mensyukuri nikmat Allāh Subhānahu wa Taʻāla, mendapat tambahan nikmat-Nya, sedangkan orang yang tidak bersyukur memperoleh azab! Hal ini dijelaskan di dalam al-Qurʻan surat Ibrahim (14): 7
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat)-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebagaimana terdapat di dalam Hadis Riwayat Ahmad dan Ibnu Mājah,
“Barangsiapa mendapatkan keleluasaan (rezeki) untuk berkurban, tetapi tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami.”
Nah, gunakan kesempatan sebaik-baiknya sebab boleh jadi ibadah kurban kali ini merupakan ibadah kurban terakhir!
Mati tak pernah kompromi dengan siapa pun, kapan pun, di mana pun, dan bagaimana pun. Mati tak selalu melalui tua atau sakit dulu; dapat datang ketika menyanyi atau mengaji; bermaksiat atau beribadat; nyinyir atau zikir; marah atau ramah.
Entah usia tinggal berapa tahun, bulan, pekan, hari, jam, menit, detik, dalam genggaman kekuasaan Allah.
Untuk Renungan
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman dalam surat al-A٬raf (7): 96,
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Kita perlu merenung untuk menjawab secara jujur pertanyaan: Sudahkah kita memperoleh limpahan barakah? Jika belum, kita kembali ke ayat tadi. Di dalam ayat tersebut disebutkan bahwa syarat memperoleh limpahan barakah adalah takwa, yakni melaksanakan perintah Allāh Subhānahu wa Taʻāla, meninggalkan larangan Allāh Subhānahu wa Taʻāla, dan tidak berdusta. Jika secara jujur kita menjawabnya bahwa limpahan barakah belum kita peroleh, boleh jadi, karena di antara kita ada yang tidak bertakwa dengan takwa yang sebenar-benarnya dan ada pula yang berdusta.
Untuk Orang Tua
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Siti Hajar mencintai Allāh Subhānahu wa Taʻāla jauh lebih besar daripada cintanya kepada segala sesuatu yang bersifat duniawi. Pengurbanannya amat besar sehingga memperoleh balasan yang amat besar pula. Mereka tidak tergoda sedikit pun oleh bujukan setan. Sudahkah orang tua mencontohnya?
Untuk Kaum Muda
Ismail adalah pemuda yang taat kepada Allāh Subhānahu wa Taʻāla dan orang tuanya. Demi mencapai tujuan hidup yang mulia, dan karena tahu bahwa yang dilakukannya merupakan kebenaran Ilahi, ia rela berkurban. Sudahkah kaum muda menirunya?
Semoga Allāh Subhānahu wa Taʻāla mencerahkan hati dan pikiran kita! Amin!
Allāhu aʻlam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota