Solusi Ragu Buang Angin (Flatus) saat Shalat

sujud

Ilustrasi

Solusi Ragu Buang Angin (Flatus) saat Shalat

Oleh: Anjali Balqis Auliyah

Allah menciptakan manusia di muka bumi ini bukanlah tanpa tujuan, melainkan untuk beribadah hanya kepada-Nya. Ibadah merupakan bentuk kedekatan diri seorang hamba kepada Rabb-Nya dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ketika seseorang merasa dekat dengan Allah SWT maka ia pun selalu mengingat-Nya (dzikrullah). Dan ketika seseorang senantiasa mengingat Allah, maka hatinya pun akan merasa tenang dan tentram.

Akan tetapi ketika kita melakukan suatu ibadah terkadang timbul rasa was-was yang menimbulkan kegelisahan yang pada akhirnya ibadah yang kita lakukan itu menjadi tidak khusyu’. Karena itulah, seorang hamba hendaknya berusaha sekuat mungkin menghilangkan dan melawan gangguan-gangguan yang menyibukkan hatinya dengan bersungguh-sungguh khusyu’ dalam melakukan ibadah. Was-was juga bisa terjadi kepada seseorang yang hendak beribadah kepada Allah swt, sehingga seorang hamba harus senantiasa sabar dan tetap melaksanakan ibadah tersebut dengan penuh keyakinan dan kekhusyuan.

Dalam tulisan ini dikaji hadis riwayat al-Bukhari tentang “Hadis Buang Angin (Flatus) pada saat shalat”. Dengan harapan tidak ada kesalahpahaman dalam memahami maksud hadis tersebut serta diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi setiap pembaca.

حَدَّثَنَا عَلِيٌّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ح وَعَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا. (رواه البخاري)

“Telah menceritakan kepada kami [‘Ali] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan] berkata, telah menceritakan kepada kami [Az Zuhri] dari [Sa’id bin Al Musayyab]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [‘Abbad bin Tamim] dari [Pamannya], bahwa ada seseorang yang mengadukan keraguannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa seakan-akan ia mendapatkan sesuatu dalam shalatnya. Beliau lalu bersabda: “Janganlah kamu pindah atau pergi hingga kamu mendengar suara atau mencium baunya.”. (HR. al-Bukhari)

Penjelasan Kandungan Hadis

Kemunculan hadis ini (sababul wurud) terkait dengan adanya seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah SAW.,  tentang keraguannya apakah ia telah kentut atau tidak ketika shalat. Lalu Rasulullah SAW bersabda:”janganlah kamu pindah atau pergi hingga kamu mendengar suara atau mencium baunya”.

Lafadz yajida adalah bentuk fi’il mudhori’ yang dinasab oleh huruf hatta yang ada sebelumnya, berasal dari kata wajada-yajidu yang berarti menemukan atau memperoleh. Maksud dari kata yajidu pada teks hadis di atas adalah dia merasakan bau. Sementara lafaz rihan adalah bentuk isin Masdar dari kata raha-yarihu-rihan yang artinya datang atau berangkat, sedangkan dalam kitab Maqayis al-Lugah disebutkan bahwa asal katanya adalah ruh yang artinya kemudian, ketika diubah dalam wazn af’ala  yang bermakna bernapas atau mengeluarkan bau. Pada umumnya, kosa kata al-rih dan riyah digunakan al-Qur’an dengan arti angin kecuali firman Allah QS Yusuf: 94 yang menggunakan kata ini dengan arti bau atau aroma yang terpancar dari tubuh seseorang.

Dan lafadz yasma’u merupakan bentuk fi’il mudari dari kata sami’a yang berarti mendengar. Sementara di dalam kitab Mu’jam al-Lughah al-Arabiyyah al-Ma’asirah menjelaskan bahwa pengertian sami’a al-sawtu yaitu merasakan suara itu dengan indra pendengar, dapat pula berarti menangkap suara/bunyi, dapat pula berarti mengidahkan dan mengabulkan. Namun, maksud kata sami’a pada teks hadis di atas adalah dia mendengar suara angin yang keluar dari duburnya. Posisi yasma’u pada teks hadis diatas adalah ma’tuf diikutkan pada kata yasma’u karena didahului oleh huruf ataf  yaitu aw yang berarti atau.

Sedangkan ṣawtan merupakan bentuk isim Masdar dari kata ṣaata-yaṣuutu-ṣawtan yang berarti berbunyi atau bersuara. Di dalam kitab mukhtar al-Sahhah al-Qamus al-Muhit dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ṣaata adalah naaday ka aṣaata wa ṣawwat  memanggil hingga terdengar bunyi suara. Makna kata ṣawtan  pada hadis diatas adalah suara yang terdengar (flatus) ketika sedang shalat, sedangkan posisi ṣawtan pada teks hadis diatas adalah sebagai maf’ul bih dari kata yasma’u yang diartikan suara.

Sedangkan maksud dari kalimat yajidu riihan aw yasma’u ṣawtan yaitu sampai seseorang yakin bahwa ia telah berhadas dengan mendengar suara atau mendapatkan baunya, merupakan satu syarat. Jadi, jika ia tuli atau telinganya tersumbat hingga ia tidak bisa mendengar suaranya, dan jika hidungnya pada dasarnya memang bau hingga ia tidak akan mendapati baunya karena tidak bisa membedakan bau hidungnya dengan bau flatus tersebut.

Secara pendekatan hukum, kandungan hadis ini dapat disimpulkan ke dalam beberapa bagian diantaranya; Pertama, Imam An-Nawawi berkata, “hadis ini merupakan dasar kaidah yang mengatakan, bahwa hukum segala sesuatu sebagaimana asalnya sampai ada keyakinan yang menunjukkan sebaliknya dan keraguan yang timbul tersebut tidak dapat mendatangkan mudharat (bahaya). Sebagaimana ada kaidah yang berbunyi:

اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ

Sesuatu yang meyakinkan tidak dapat hilang hanya dengan keraguan

Kaidah ini menunjukkan kepada kita kesempurnaan agama islam yang kita cintai ini. Apabila kita menerapkan kaidah ini, maka kita akan semakin yakin bahwa islam adalah agama yang membawa Rahmat bagi semesta alam, karena kita semua sadar bahwa kehidupan kita tidak akan pernah terlepas dari kondisi yang disebut dengan keraguan, yang mana dari keraguan ini dapat muncul was-was yang pada akhirnya mengganggu kegiatan ibadah seseorang, terutama di dalam permasalahan thaharah dan shalat. Akan tetapi islam dengan segala kesempurnaannya memberikan jalan keluar pada umatnya, yaitu dengan adanya kaidah yang agung ini.

Kedua, yang dimaksud dari suara yang didengar dan didapati bau (angin)dalam hadis ini adalah keyakinan pada hal ini. Seandainya seseorang tidak mendengar dan tidak mencium bau, namun ia yakin meskipun tanpa dua hal ini maka wudhunya batal.

Ibnu Qayyim rahimahullah telah memaparkan di dalam kitabnya Thibbun Nabawy, bahwasanya buang angin adalah salah satu dari 10 hal yang jika telah memuncak dan tidak dikeluarkan dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Efek menahan buang angin (flatus) salah satunya adalah menyebabkan jumlah dan tekanan gas pada usus meningkat. Jika melebihi tekanan dinding usus sendiri, menyebabkan usus teregang dan timbul rasa tidak nyaman di perut. Gas tersebut akan tetap berada di dalam usus, terutama daerah usus bagian ujung dan tertimbun di sana. Akibatnya, tekanan udara melebihi tekanan otot anus sehingga tidak bisa ditahan lagi.

Para ahli menyatakan bahwa flatus merupakan bagian alami dari sistem pencernaan tubuh, sehingga jika berusaha menahannya akan sangat merugikan diri sendiri. Menahan flatus dapat menyebabkan gas dalam perut menumpuk sehingga bisa mengakibatkan perut kembung, dan gejala tidak nyaman lainnya. Hal yang paling buruk, menahan buang gas dapat menyebabkan wasir atau usus semakin membesar. Meskipun dianggap hal tabu, namun flatus merupakan salah satu anugrah dari Tuhan yang Maha Esa.

Selain flatus, menahan dua kotoran (buang air kecil dan buang air besar) akan menimbulkan dua akibat yang menggelisahkan. Pertama, tak mungkin ada ketenangan jika manusia berada dalam keadaan semacam itu. Apalagi Ketika kita dalam keadaan melaksanakan shalat, kita tidak dianjurkan untuk menahan buang air kecil dan buang air besar. Sebagaimana Nabi SAW bersabda, dalam hadis yang diriwayatkan oleh muslim:

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).

Dari hadis diatas, Syeikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin menjelaskan bahwa jika hanya merasakan ingin buang air kecil atau air besar tanpa menahannya, maka hal tersebut diperbolehkan shalat, karena hati masih bisa berkonsentrasi saat shalat. Sedangkan menurut imam Nawawi, bahwa jika seseorang shalat dalam keadaan menahan kencing atau menahan buang air besar padahal masih ada waktu yang longgar untuk melaksanakan shalat setelah buang hajat, maka shalat tersebut dihukumi makruh, dan shalat tersebut tetap shah menurut beliau dan pendapat mayoritas ulama’.

Kedua, bersamaan dengan itu bahaya yang besar bagi kesehatan telah pula mengancam. Penahanan rasa ingin buang air besar (faeses) dan buang air kecil (urine), menyebabkan keracunan dalam buluh-buluh darah, karena ampas makanan yang telah busuk itu harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Gejala penyakit itu diawali oleh jenis penyakit pusing kepala.

Jika penahanan ingin buang air ini dilakukan secara kronis berulang-ulang, akan menimbulkan penyakit lain yang entah efeknya mana yang lebih buruk dengan penyakit yang telah disebutkan pertama. Penahanan buang air besar dan buang air kecil itu dikendalikan oleh otot lingkar yang terdapat pada anus (pelepasan) dan pangkal saluran urine. Otot-otot ini senantiasa akan bekerja di luar kemampuannya; dan pemaksaan yang berlarut-larut secara lambat ataupun cepat akan menimbulkan efek (kelemayuh) pada otot tersebut. Jika penyakit yang demikian datang, orang tidak lagi menahan buang airnya, demi rasa buang air itu terasa. Kotoran akan keluar di luar pengendalian kemauan. Alangkah hina dan memalukan penyakit demikian.

Penutup

Berdasarkan hadis diatas bahwa hukum menahan kentut saat shalat, meskipun shalatnya tetap sah akan tetapi hukumnya makruh. Sebab, menahan kentut dalam shalat tersebut dapat mengganggu kekhusyuan seseorang dalam melaksanakan ibadah shalat. Jika seseorang ragu apakah dia kentut atau tidak, maka shalatnya tetap sah kecuali jika terdengar suara atau baunya. Yang dimaksud dari suara yang di dengar dan di dapati bau (Angin) dalam hadis tersebut adalah keyakinan dalam hal ini. Seandainya seseorang tidak mendengar dan tidak mencium bau, namun ia yakin meskipun tanpa dua hal ini maka wudhunya batal.

Dan dari hadis diatas penulis dapat menyimpulkan, bahwa: Pertama, kaidah umum bahwa “Asal Hukum itu Tetapnya Sesuatu yang telah Terjadi”. Kedua, Keraguan dalam berhadats itu tidak membatalkan wudhu dan shalat. Ketiga, Larangan meninggalkan shalat tanpa sebab yang jelas. Ke-empat, Angin yang keluar dari dubur dengan suara atau tanpa suara itu membatalkan wudhu. Kelima, yang dimaksud dari suara yang di dengar dan di dapati bau (angin) dalam hadis ini adalah keyakinan. Seandainya seseorang tidak mendengar dan tidak mencium bau, Namun ia yakin meskipun tanpa dua hal ini maka wudhunya batal.

Menurut Kesehatan, menahan flatus dapat menyebabkan gas dalam perut menumpuk sehingga bisa mengakibatkan perut kembung dan gejala tidak nyaman lainnya. Dan yang paling buruk, menahan buang gas dapat menyebabkan wasir atau usus semakin membesar. Oleh karena itu, sebaiknya seseorang tidak menahan buang angin (flatus) sebab akan berdampak buruk dan merugikan diri sendiri.

Anjali Balqis Auliyah, Pendidikan Ulama’ Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta

Exit mobile version