Mewujudkan Anak Shalih: Sebuah Refleksi dari Idul Adha

Mewujudkan Anak Shalih: Sebuah Refleksi dari Idul Adha

Mewujudkan Anak Shalih: Sebuah Refleksi dari Idul Adha

Oleh: Drs Talkisman Tanjung

Hari ini, kembali kita menjadi saksi betapa luasnya kasih sayang Allah ‘Azza wa jalla dan kita merasakan betapa besarnya rahmat dan ampunan-Nya untuk kita semua. Dosa demi dosa kita kerjakan nyaris sepanjang hari, perintah demi perintah-Nya hamper kita abaikan setiap sa’at, tetapi Allah SWT  tidak pernah bosan memberikan kesempatan demi kesempatan kepada kita untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya. Allah SWT yang Maha Pengasih tak pilih kasih, dan Allah SWT yang Maha Penyayang tidak pilih orang untuk selalu membuka pintu ampunan-Nya yang Maha luas.

Hari Raya Idul Adha merupakan kisah napak tilas keluarga Nabi Ibrahim a.s., sebuah kelkuarga yanbg mulia dan hal itu diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an untuk peradaban manusia. Melalui kisah keluarga Ibrahim a.s. Allah SWT ingin menunjukkan kepada kita betapa pentingnya posisi keluarga dalam membangun sebuah peradaban yang besar. Masyarakat yang bahagian dan sejahtera tidak akan pernah menjadi bahagia dan sejahtera jika masyarakat tersebut gagal dalam membangun keluarga-keluarga kecil yang ada menjadi keluarga-keluarga bahagia den sejahtera.

Jika kita bicara tentang keluarga, maka itu artinya bicara tentang salah satu unsur terpenting keluarga yang bernama “Anak”. Di dalam kisah keluarga Ibrahim a.s. sang anak itu diperankan oleh sosok “Ismail”.Inilah sosok anak teladan sepanjang zaman yang kemudian diangkat oleh Allah SWT menjadi seorang Nabi. Bahkan yang luar biasanya adalah melalui keturunan Ismail a.s inilah lahir sosok Nabi dan Rasul paling mulia sepanjang sejarah manusia di alam semesta ini, yaitu Rasulullah Muhammad SAW.

Namun bila kita komparasikan dengan keadaan anak-anak kita dizaman sekarang, justru berbanding terbalik dengan Nabi Ismail a.s dan keluarganya yaitu keluarga mulia Nabi Ibrahim a.s. Anak-anak kita hari ini banyak yang terjerumus kedalam tindakan-tindakan anarkhis, mabuk-mabukan, bahkan ada yang sengaja dieksploitasi untuk menjadi begal-begal jalanan yang amat menakutkan itu. Dan kita juga tidak bisa menutup mata terhadap hasil berbagai survey bahwa jumlah ABG yang hamil diluar nikah terus saja meningkjat dalam jumlah yang sangat memprihatinkan. Dan itu hanya sebahagian saja dari bentuk-bentuk aksi kejahatan dari berbagai problema kehidupan anak-anak kita hari ini.

Dan jika kita mau jujur, maka semua itu terjadi salah satunya disebabkan oleh factor orang tua yang terjebak dalam dua sikap ekstrim yang saling bertolak belakang. Sikap yang memanjakan terlalu berlebihan, dan sikap pengabaian yang menelantarkan anak-anak. Ada orang tua yang menganggap bahwa kasih sayang kepada anak harus ditunjukkan dengan pemberian dan pemenuhan segala keinginannya. Dan ada juga orang tua yang memanjakan anak dengan memberikan segala fasilitas yang serba wah dengan tujuan untuk mengangkat status social orang tua.

Sementara disisi yang lain kita juga menemukan bahwa tidak sedikit orang tua yang tidak peduli dengan anak-anaknya, atau ada juga orang tua yang menunjukkan kepeduliannya kepada anak dengan melakukan tidakan kekerasan-kekerasan. Dan dari potret orang tua seperti itu justru melahirkan banyak penyakit-penyakit social dan masyarakat yang cenderung membuat susah, tidak hanya bagi kedua orang tuanya ttetapi juga menjadi persoalan yang sangat serius bagi masyarakat, bangsa dan Negara.

Oleh karena itu, belajar tentang betapa pentingnya nilai seorang anak bagi orang tua di dunia dan tentunya sampai diakhirat adalah menjadi sebuah keniscayaan. Maka momen Idul Adha ini menjadi sebuah pembelajaran bagi orang yang beriman sebagai sebuah refleksi dalam merayakan Idul Adha ditengah-tengah banyaknya kegalauan yang muncul di tengah-tengah keluarga dan masyarakat sa’at ini.

Pelajaran Pertama,  Untuk mendapatkan anak yang shaleh maka orang tua terlebih dahulu berusaha menjadi secara maksimal untuk menjadi hamba yang shaleh.  Karena ketika kita siap menjadi orang tua, artinya siap menjadi teladan untuk keluarga, bukan sekedar memberi makan dan menciukupi kebutuhan anak dan keluarga. Nabi Ibrahim sebagai teladan kita semua, terlebih dahulu menjadi hamba yang shaleh dan hal itu diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an :

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ

“Sungguh telah ada untuk kalian teladan yang baik dalam diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”(Al-Mumtahanah : 4)

Pelajaran kedua, Jika ingin memiliki anak yang shaleh, maka bersungguh-sungguhlah meminta dan memohon kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim melakukan hal itu, dan diabadaikan di dalam Al-Qur’an :

رَبِّ هَبۡ لِىۡ مِنَ الصّٰلِحِيۡنَ

“Tuhanku, karuniakanlah untukku (seorang anak) yang termasuk orang-orang shaleh” (Al-Shaffaat:100)

رَبِّ اجۡعَلۡنِىۡ مُقِيۡمَ الصَّلٰوةِ وَمِنۡ ذُرِّيَّتِىۡ‌‌ ۖ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ‏

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku orang yang menegakkan shalat, juga dari keturunanku, Ya Tuhan kami kabulkanlah do’aku” (Ibrahim : 40).

Mungkin banyak diantara kita yang sekedar “mau” memiliki anak yang shaleh, Tetapi siapa diantara kita yang sungguh-sungguh dengan khusyu’ meminta dan memohon kepada Allah SWT dengan kelopak mata yang basah berderai air mata? Siapa diantara kita yang secara istiqamah menyelipkan do’a-do’a terbaiknya untuk keluarga dan anak-anaknya ? Jika kita memang sungguh-sungguh ingin mendapatkan anak yang shaleh tersebut  kita perlu secara serius belajar untuk mencari jalan dalam mewujudkan anak yang shaleh tersebut. Diantaranya :

Pertama, Mulailah secara konsisten untuk mencari rezki yang halal untuk anak dan keluarga. Di dalam Islam diterangkan bahwa, apa saja yang dikonsumsi oleh tubuh manusia akan berpengaruh terhadap prilakunya. Karena itu Islam mewajibkan kepada setiap orang tua untuk memberi hanya makanan halal yang diperoleh melalui harta yang halal juga. Konsekwensi logis jika makanan yang dikonsumsi anak dan keluarga itu bukanlah makanan  dan harta yang halal, maka Rasulullah SAW telah memberikan rambu-rambu bagi kita :

“Tidak akan masuk surge daging yang tumbuh dari harta haram, karena nerakaa itu lebih pantas untuknya” (HR.At-Tirmidzi dengan sanad yang shahih).

Kedua, Berikan kasih sayang kepada anak, dengan tidak memanjakannya. Pada hari ini kita melihat betapa salah kaprahnya para orang tua yang menganggap bahwa dengan memberikan segalanya kepada anak termasuk media komunikasi yang canggih yang tidak punya filter terhadap anak adalah bentuk kasih sayang kita kepada mereka, padahal secara sistematis kita telah menjerumuskan mereka kedalam pembentukan karakteristik yang bertolak belakang dengan yang ditauladankan oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar.

Lantas ketika dunia hari ini dihebohkan dengan aksi-aksi pornografi, kriminalitas seperti mencuri, merampok, membunuh, memperkosa dan sebagainya  bahkan belakangan ini marak membegal dijalanan, kita heran dan bertanya-tanya : Mengapa semua itu bisa terjadi ? Setelah diusut, ternyata semua bermula dari bentuk didikan orang tua yang salah kaprah kepada anak mulai dari waktu masih dalam kandungan, ketika dia balita dan sampai kepada memilihkan pendidikan dan termasuk memilihkan teman pergaulannya, yang semuanya bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh Ibrahim a.s. terhadap anaknya Ismail a.s.

Ketiga,  Teruslah belajar dan belajar untuk menjadi orang tua yang shaleh, iringi dengan ikhtiar yang maksimal sembari diperkuat dengan munajat berdo’a kepada Allah SWT yang membolak-balikan hati manusia. Jadikanlah keluarga Ibrahim sebagai panutan dan tauladan, refrensi utama dalam pembentukan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, tidak hanya sekedar diucapkan di lisan tetapi ikhtiarnya kosong, itu sama saja dengan berangan-angan, dan tidak akan pernah terwujud dialam kenyataan.

Lantas, mengapa begitu penting kita mewujudkan Anak yang Shaleh ini di dalam kehidupan berkeluarga ? Jawabannya telah dinukilkan oleh Rasulullah SAW didalam sabdanya bahwa Anak itu merupakan salah satu investasi yang harus dimiliki oleh sebuah keluarga. Anak yang shaleh adalah pelita yang tak padam meski kita telah terkubur dalam liang lahat. Anak yang shaleh adalah sumber pahala yang tek puutus meski tubuh kita telah hancur berkalang tanah. Dan tentu kebalikannya, Anak yang tidak Shaleh kelak akan menjadi sumber malapetaka, bencana dan kehancuran bagi kehidupan kita para orang tua, tidak hanya hidup di dunia ini saja, tetapi sampai ke akhirat kelak.  Wallahu a’lam

Exit mobile version