Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia

Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia

Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia

Oleh: Agusliadi Massere

Saya teringat pernyataan Prof. Haedar Nashir yang dikutip oleh Arif S Yudistira ke dalam buku The Spirit of Dauzan: Gagasan dan Aksi Pegiat Literasi Muhammadiyah (2018) pada bagian Prolog 1-nya: “Mengumpulkan orang untuk berdemo lebih mudah daripada mengajak orang untuk membaca di perpustakaan”. Dari pernyataan ini saja, memantik kesadaran minimal untuk memberikan porsi perhatian lebih terhadap literasi Indonesia.

Literasi, jika dipahami hal substansial di dalamnya, bukan semata berupa seperangkat kemampuan dan keterampilan seperti membaca dan menulis atau keahlian khusus. Yang utama dari literasi adalah lahirnya kemampuan pada diri setiap orang berupa kemampuan memberikan solusi atas setiap problematika hidup yang dihadapinya.

Ada banyak persoalan di muka bumi ini, maupun dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, ketika digali sampai pada akarnya maka titik persoalan utamanya adalah literasi. Pada penggalian dan kesadaran inilah, terbentang garis relasi kesadaran mengapa perintah pertama dalam ajaran Islam atau surah yang pertama diturunkan, substansinya adalah iqra. Literasi adalah salah satu derivasi dari iqra, jika tidak ingin mengatakan sejajar.

Ketika dalam teori radiasi budaya Arnold Toynbee ditegaskan terkait empat lapisan budaya, di mana dua di antaranya mampu menentukan suatu peradaban bertahan atau tidak, dan yang satunya lagi menentukan apakah peradaban itu mampu memengaruhi peradaban lain, ternyata dalam pandangan saya, kata kuncinya adalah literasi atau dalam konteks yang lebih universal dalam tradisi keilmuan Islam, bisa disebut iqra.

Lapisan budaya pertama dan terdalam yang dimaksud oleh Toynbee, yang bisa memengaruhi bertahan atau tidak suatu peradaban adalah nilai dan visi spiritual. Bagi saya, nilai dan visi spiritual bisa kokoh atau tidak itu tergantung dari semangat literasi dari aktor-aktor penggerak suatu peradaban itu. Seperti yang dicontohkan oleh Yudi Latif, bahwa Pancasila salah satu yang dipandang sebagai nilai dan visi spiritual atau lapisan terdalam pada jantung peradaban Indonesia, itu bisa kokoh ketika literasi kebangsaan anak negeri baik.

Lapisan terakhir/terluar atau lapisan keempat dalam teori radiasi budaya Toynbee, yang bisa menjadikan suatu peradaban berpengaruh atau tidak bagi peradaban lainnya adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sains. Ini pun, jika kita mau merenungkan sangat dipengaruhi oleh spirit literasi.

Sama halnya ketika pada salah satu riset Microsoft di mana netizen Indonesia untuk skala Asia atau minimal Asia Tenggara, dinilai sebagai netizen paling tidak sopan, sebenarnya persoalan utama terletak pada rendahnya literasi, terutama dalam konteks ini adalah literasi digital.

Dari pemaparan di atas, tampaklah secara terang benderang betapa literasi memiliki urgensi, signifikansi, dan implikasi besar dan strategis bagi eksistensi dan kemajuan bagi suatu bangsa dan negara, tanpa kecuali untuk Indonesia. Jadi Indonesia, harus menyadari dan memberikan versi dan porsi perhatian yang tepat dan besar untuk persoalan literasi.

Dari pemahaman dan kesadaran yang tergambarkan di atas, saya menemukan ruang kegembiraan dari Kebijakan Merdeka Belajar sebagai kebijakan terobosan yang diluncurkan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim. Mengapa saya memandang dan menilai kebijakan Merdeka-Belajar sebagai ruang kegembiraan untuk kepentingan optimalisasi perhatian dan langkah strategis dalam mendorong Literasi-Indonesia?

Kebijakan Merdeka-Belajar telah dipahami bersama bahwa secara substansial kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan otoritas pengelolaan pendidikan kepada sekolah dan pemerintah daerah. Selain itu kebijakan Merdeka-Belajar ini memberikan ruang kolaborasi atau spirit gotong royong kepada seluruh stakeholder termasuk orang tua untuk mencari dan menemukan solusi yang efektif, efesien sesuai konteks kehidupan lokasl masing-masing wilayah dan/atau sesuai tantangan dan permasalahan yang dihadapi masing-masing sekolah.

Melalui kebijakan Merdeka-Belajar pun, seluruh stakeholder tanpa kecuali orang tua dan pemerintah daerah ditanamkan dalam kesadarannya bentuk rasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap pengelolaan pendidikan di sekolah pada daerahnya masing-masing.

Lalu di mana ruang insight, kesadaran dan relevansinya antara kebijakan Merdeka-Belajar, Literasi Indonesia, dan Buku-Bacaan-Bermutu?

Pada Program Kemendikbudristek Merdeka-Belajar, khususnya pada rentetan episodenya, salah satu episode yang ditegaskan adalah “Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia”. Ini sesuai dengan judul di atas. Dan bagian saya, persoalan buku bacaan bermutu adalah kebutuhan pokok dan strategis, yang seharusnya dalam kebijakan maupun program Merdeka-Belajar harus pula mendapatkan porsi perhatian lebih atau besar di balik fleksibilitas yang diberikan oleh kebijakan ini kepada kepala sekolah, pemerintah daerah, dan tentunya orang tua pun harus mengambil peran di dalamnya.

Membaca, meskipun dalam klasifikasi atau kategorisasi literasi, dipandang sebagai literasi dasar, namun sesungguhnya memiliki posisi utama dan strategis. Jadi “dasar” dalam hal ini bukan berarti rendah tetapi landasan, utama, dan/atau pondasi.

Instrumen atau modal utama dalam membaca tentunya adalah buku. Dalam buku karya Suherman, M.Si., Bacalah: Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban, ditegaskan “Membaca adalah jihad dengan aksara, dan buku merupakan bahan pokok yang lebih utama dari sembako”.

Suherman dalam bukunya itu pun memberikan contoh meskipun sosok yang disebut adalah sosok yang bisa dimaknai kontroversial karena perilaku tirani kekuasaannya. Menurut Suherman “Fira’un merupakan manusia besar yang namanya abadi dalam sejarah. Ternyata, kekuasaannya dibangun tidak semata-mata ditopang oleh kekuatan militer, tapi juga dengan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah tercatat, pada saat berkuasa, dia memiliki perpustakaan pribadi dengan kolseksi sejumlah 20.000 buku.

Di antara para sosok Mahaguru-Peradaban yang disebutkan dalam bukunya tersebut, dijelaskan bahwa ada di antaranya yang menolak jadi menteri karena harus memindahkan buku-buku karya dan koleksinya ke rumah dinas yang membutuhkan 400 ekor unta pengangkut.

Dalam konteks Indonesia, kita bisa membaca dalam sejarah perjalanan bangsa bahwa para founding father kita adalah orang-orang yang literasinya bagus, minat bacanya tinggi, bahkan memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi buku yang banyak. Bahkan salah satu di antaranya Wakil Presiden Pertama Indonesia, Muhammad Hatta, pada satu kesempatan pertama berkata “Aku rela dipenjara asalkan bersama dengan buku”.

Pengadaan dan menghadirkan buku-buku bermutu sebagai gudang ilmu, sangat penting untuk mendapatkan porsi perhatian oleh semua stakeholder tanpa kecuali oleh orang tua di balik kebijakan Merdeka-Belajar. Dijumpai, masih banyak sekolah yang tingkat perhatiannya terhadap optimalisasi perpustakaan dan/atau pengadaan buku-buku bacaan yang bermutu/berkualitas, yang masih sangat rendah.

Kita masih muda menemukan guru-guru penerima sertifikasi guru, yang perhatiannya untuk koleksi buku pribadi di rumahnya yang masih sangat minim. Fokusnya lebih pada kebutuhan lain, padahal buku bisa menjadi “peti peluru” bagi guru untuk menembak kebodohan dalam kehidupan. Dan sekaligus, guru tentunya harus dipandang sebagai suri teladan, tanpa kecuali dalam hal minat baca dan koleksi buku-buku pribadi masing-masing di rumahnya.

Pemerintah daerah pun, masih muda dijumpai yang tingkat perhatiannya terhadap perpustakaan daerahnya, apatah lagi jika fokus pada isi atau koleksi buku yang ada dalam perpustakaan daerahnya.

Jika stakeholder strategis dan aktor-aktor negara saja masih sangat minim dalam perhatian terhadap buku-buku bacaan bermutu, apatah lagi, para orang tua bisa pula ditemukan dan dipastikan minimnya kesadaran untuk menyiapkan buku bacaan bermutu bagi anak-anaknya. Namun, tentunya bagi orang tua, terkadang ada pula untuk makan sehari-semalam pun kesulitan apalagi untuk membeli buku. Tetapi, kondisi ini bukan berarti tidak ada peluang solusi, bisa saja, pemerintah memprogramkan secara optimal pengadaan perpustakaan di desa/kelurahan, atau setiap dusun dan RW. Bisa pula anggaran yang dikategorikan sebagai pokok-pokok pikiran anggota dewan, jangan fokusnya hanya ke pembangunan fisik, atau study banding keluar daerah, bisa pula dalam bentuk pengadaan buku-buku bagi keluarga yang menjadi konstituennnya.

Buku, terutama buku bacaan bermutu adalah modal utama yang harus menjadi bagian dan mendapatkan porsi perhatian besar dalam kebijakan dan program Merdeka-Belajar. Saya selaku penulis, yang awalnya pun berada dalam kondisi keluarga yang sangat terbatas ekonominya, tetapi dengan kesadaran dan komitmen yang besar, dimulai dari kondisi keluarga yang sangat kekurangan pada tahun 2004, sudah memulai mengoleksi buku. Dan pada detik ini, pada saat tulisan ini, saya tuliskan koleksi pada pustaka pribadiku yang saya beri nama “Cahaya Inspirasi” telah memiliki koleksi buku sebanyak 1.133 eksamplar.

Membangun Literasi Indonesia, bisa pula dimulai dari Literasi Keluarga

Agusliadi Massere, Pegiat Literasi Keluarga

Exit mobile version