Kurikulum Merdeka Kuatkan Kompetensi Optimal

Kurikulum Merdeka Kuatkan Kompetensi Optimal

Sumber Gambar Freepik

Kurikulum Merdeka Kuatkan Kompetensi Optimal

Oleh: Havidz Cahya Pratama, M.Pd

Kurikulum Merdeka merupakan bagian dari episode kelima belas sejak kebijakan merdeka belajar digulirkan tahun 2019. Kurikulum tersebut adalah kurikulum dengan konten yang
beragam, dirancang agar peserta didik dapat mendalami konsep dan menguatkan kompetensi secara optimal.

Guru menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan dan minat peserta didik, sehingga guru leluasa menentukan perangkat ajar yang dibutuhkan. Profil pelajar Pancasila dicapai melalui pembelajaran berbasis proyek berdasarkan tema yang ditentukan oleh pemerintah untuk mencapai target pembelajaran tertentu, namun tidak terikat pada konten mata pelajaran.

Pembelajaran yang bebas dan menyenangkan di sekolah selaras dengan pemikiran Friedrich Froebel, yang berkeyakinan bahwa cara belajar yang paling baik untuk anak-anak adalah
dengan bermain.

Bermain merupakan sebuah media bagi anak untuk mengenal dunia disekitarnya, merasakan berbagai pengalaman dalam lingkungan biotik dan abiotik, mengembangkan potensi fisik dan kekuatan pikiran. Froebel berpendapat bahwa sekolah adalah republik merdeka bagi anak-anak, tempat anakanak dapat mengekspresikan dirinya dan berkembang menurut kelebihan yang dimilikinya.

Pemikiran Froebel mempengaruhi Maria Montessori, yang berhasil menciptakan metode pendidikan komprehensif dalam pengembangan kurikulum, pengajaran dan pembelajaran.
Kurikulum Montessori dibentuk dengan pandangan bahwa setiap individu adalah unik, dan peserta didik adalah bagian dari komunitas yang dekat dan peduli dengan kehidupannya. Oleh karenanya, peserta didik dapat menikmati kebebasan yang bertanggung jawab
sebagai individu yang melakukan pembelajaran secara aktif.

Berfikir Secara Kritis

Peserta didik diarahkan untuk dapat berpikir secara kritis, bekerja kolaboratif, bertindak secara berani dengan harapan mereka dapat mengenali, mengoreksi dan belajar dari kesalahan yang mereka lakukan. Kepercayaan diri, antusiasme, dan kemandirian peserta didik adalah tujuan dari kurikulum Montessori.

Sejalan dengan Froebel dan Montessori, bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara melahirkan Taman Siswa yang lebih dari sebuah sekolah. Taman Siswa adalah sebuah konsep
pendidikan yang merancang pembelajaran dalam sebuah taman yang berada dalam kodrat alami sebagai sebuah tempat yang menyenangkan untuk belajar dengan tantangan agar kemampuan
peserta didik semakin berkembang.

Di Taman Siswa kebutuhan peserta didik untuk bermain difasilitasi karena Ki Hadjar Dewantara memahami pentingnya arti bermain bagi anak-anak agar mengalami kemajuan baik jasmani maupun rohani.

Dalam era revolusi Industri 4.0 dewasa ini, salah satu hal yang perlu dikuasai oleh peserta didik adalah literasi baru. Pada masa yang lalu, pengertian literasi adalah kemampuan membaca
dan menulis, sedangkan literasi baru lebih luas dari kemampuan membaca dan menulis, yaitu meliputi literasi data, teknologi, dan manusia. Literasi data merupakan kemampuan yang berkaitan dengan membaca, menganalisis dan menguasai big data.

Literasi teknologi menuntut manusia menguasai aplikasi teknologi dan cara kerja mesin termasuk didalamnya penguasaan terhadap artificial intelligence, coding dan engineering principles. Sementara itu, literasi manusia berkaitan dengan berbagai hal yang bersifat
kemanusiaan, komunikasi, dan karakter.

Tujuan kurikulum merdeka adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, sedangkan landasan kurikulum merdeka adalah pertama, pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) alinea IV, “…dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Kedua, UUD 1945 pasal 31 ayat 3, “… pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Ketiga, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tahun 2003 Menimbang bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.”

Keempat UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 3 yang menyebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar enjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, dan kekunam, Nawacita kelima, untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia.

Empat pilar pembelajaran UNESCO

Konsep dasar Kurikulum Merdeka selaras dengan empat pilar pembelajaran UNESCO yang merupakan prinsip dasar untuk mencapai tujuan pembelajaran yaitu: Belajar untuk tahu (Learning to know), maksudnya adalah mengakomodasikan kemampuan kognitif yang diperlukan untuk lebih memahami dunia dan kompleksitasnya, dan untuk memberikan landasan yang tepat serta memadai untuk pembelajaran di masa depan.

Kedua, belajar untuk melakukan (Learning to do), untuk memberikan keterampilan yang akan memungkinkan individu untuk berpartisipasi secara efektif dalam ekonomi global dan masyarakat.

Ketiga, belajar untuk menjadi (Learning to be), dimaksudkan memberikan keterampilan analitis dan sosial diri yang memungkinkan individu untuk mengembangkan potensi psiko-sosial mereka sepenuhnya, secara efektif maupun secara fisik, untuk menjadi individu yang lengkap dan serba bisa.

Keempat, belajar untuk hidup bersama (Learning to live together), untuk mengekspos individu pada seberkas nilai yang tersirat dalam hak asasi manusia, pada sejumlah prinsip demokrasi, pemahaman serta rasa hormat antar budaya, juga pada perdamaian di semua lapisan masyarakat serta hubungan manusia untuk memungkinkan individu dan masyarakat hidup dalam damai
serta harmonis.

Konsep kurikulum yang merancang pembelajaran dengan menekankan pada doing, being dan living together adalah konsep yang bukan sekadar proses knowing atau menambah pengetahuan
saja, melainkan belajar harus memberikan ruang kepada peserta didik untuk terlibat dalam materi yang dipelajarinya. Konsep tersebut adalah kurikulum social reconstruction yang diturunkan
dari paradigma pendidikan social reconstruction.

Pada kurikulum social reconstruction, peserta didik berkesempatan mengembangkan keterampilan bahkan menyelesaikan project yang dipilihnya sehingga belajar menjadi suatu
kegiatan yang progresif. Progresif, maksudnya pengalaman yang didapatkan peserta didik di sekolah sebagai bagian dari komunitas belajar diharapkan dapat berguna dalam komunitas yang lebih besar yaitu masyarakat tempat peserta didik berada.

Oleh karena itu, design kurikulum social reconstruction memuat rencana pembelajaran yang mengarahkan peserta didik untuk terlibat dalam active learning, berinteraksi dengan lingkungan belajar, melakukan berbagai proyek yang berkaitan dengan tema pembelajaran Dengan demikian, peserta didik menemui berbagai dinamika yang akan memperkaya pengalamannya sebagai yang berguna ketika mereka terjun ke masyarakat kelak.

Untuk membentuk individu yang akan menjadi anggota masyarakat yang peduli dengan permasalahan di sekitarnya, terlebih dahulu individu tersebut harus mengenal dan mengembangkan dirinya. Dari sebab itu, teori kurikulum social reconstruction perlu didukung oleh teori yang berpusat pada pembelajar atau dikenal dengan student centered, yang memandang bahwa peserta didik adalah subjek utama dalam kegiatan belajar.

Schiro menyatakan, “People contain their own capability to growth, are the agents who must actualized their own capabilities and are good essencially good in nature…”. Pendukung teori ini percaya manusia memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara alamiah sesuai dengan sifat bawaan mereka. Tugas guru adalah menciptakan konteks, lingkungan dan satuan kerja yang menstimulasi peserta didik dalam membangun maknanya sendiri.

Kurikulum Merdeka dikembangkan sebagai kurikulum yang fleksibel, berfokus pada materi esensial dan pengembangan kompetensi serta karakter peserta didik. Karakteristik kurikulum
merdeka yang pada mulanya dikenal dengan kurikulum prototipe adalah: Pembelajaran berbasis proyek untuk membentuk karakter profil pelajar Pancasila dan mengembangkan kompetensi.

Fokus pada materi esensial sehingga pembelajaran lebih efektif dan cukup waktu untuk pendalaman kompetensi dasar yaitu literasi dan numerasi. Guru memiliki fleksibilitas dalam menyelenggarakan pembelajaran dengan menyesuaikan materi pada konteks dan
kearifan lokal serta kemampuan peserta didik.

Proyek penguatan profil pelajar Pancasila memungkinkan peserta didik melakukan eksplorasi dalam belajar, mengembangkan keterampilan dan mengokohkan enam dimensi profil pelajar Pancasila yaitu: a) Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, b) Berkebinekaan global, c) Bergotong royong, d) Kreatif, e) Bernalar kritis, f) Mandiri.

Pembelajaran berbasis proyek juga memberikan ruang kepada peserta didik untuk melakukan contextual and experimental learning pada waktu yang bersamaan terhadap berbagai topik penting dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya kehidupan berkelanjutan, toleransi, kesehatan, budaya, wirausaha, dan kehidupan berdemokrasi.

Proyek ini tidak hanya menjadi media bagi peserta didik untuk melakukan ekplorasi saja, tetapi juga melakukan aksi nyata sebagai respons terhadap berbagai isu tersebut di atas, dan memberikan kontribusi pada lingkungan sekitarnya.

Menurut panduan merdeka belajar episode kelima belas, keunggulan kurikulum merdeka adalah: Lebih sederhana dan mendalam Kurikulum merdeka berfokus pada materi pembelajaran yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik sesuai dengan fase tumbuh kembangnya. Dengan cara tersebut, diharapkan belajar akan menjadi lebih mendalam, bermakna
dan menyenangkan.

Lebih merdeka. Kurikulum merdeka bersifat lebih merdeka bagi peserta didik, guru, dan sekolah. Merdeka bagi peserta didik, maksudnya peserta didik dapat memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat dan aspirasinya. Merdeka bagi guru, karena guru dapat mengajar sesuai dengan tahapan dan capaian perkembangan peserta didik.

Merdeka bagi sekolah, maksudnya adalah bahwa sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum serta pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.

Lebih relevan dan interaktif. Pembelajaran dilakukan secara kontekstual dengan pembelajaran berbasis proyek yang memungkinkan peserta didik mengeksplorasi berbagaiisu aktual secara aktif, misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan isu lainnya untuk mendukung pengembangan karakter serta profil pelajar Pancasila.

Pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif didukung oleh Ivan Illich, yang berpendapat bahwa: 1) Pendidikan harus membuat semua orang yang terlibat didalamnya merasa
bebas dan mendapatkan sumber belajar kapan pun dibutuhkan; 2) Pendidikan harus memungkinkan semua orang berkesempatan membagi ilmunya dan semua orang yang ingin belajar mendapatkan ilmu yang dibutuhkannya; 3) Pendidikan terbuka akan masuk.

Havidz Cahya Pratama, M.Pd., Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP)

Exit mobile version