Pelajar Pancasila sebagai Generasi Emas Indonesia
Oleh: Agusliadi Massere
Saya memutar video dari Channel Youtube “Voice Alauddin” yang menampilkan Dr. Mohd Sabri AR─Seorang Dosen UIN Alauddin Makassar, Pengurus BPIP RI, Penulis, dan tidak berlebihan jika saya menyebutnya Filsuf─selaku pembicara dalam sebuah forum yang dilaksanakan oleh BPIP RI, dengan tema Membuka Rahasia “Pancasila”: Dialektika dan Masa Depan Bangsa. Setelah memutarnya, saya menemukan satu tesis menarik tetapi menyentak kesadaran ini, “Generasi Milenial Mengalami Kekosongan Kognisi Pancasila”.
Padahal, jika memahamani dan mengikuti cara pandang John Gardner yang dikutip oleh Yudi Latif (2012: 2), Pancasila bisa menjadi sesuatu yang memiliki dimensi-dimensi moral yang dipercayai sebagai penopang peradaban besar dan termasuk untuk mencapai kebesaran bagi suatu bangsa itu. Begitu pun pandangan Soekarno, Pancasila bisa dipandang sebagai “Konsepsi dan Cita Ideal” yang di mana jika ini menjadi kabur dan using, maka bangsa itu dalam bahaya (Soekarno dalam Yudi Latif, 2020: 25).
Berangkat dari Pandangan Gardner dan Soekarno di atas, bisa dipahami betapa besar urgensi, signifikansi dan implikasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu, muncul realitas empirik seperti yang digambarkan oleh Sabri di atas, maka sudah pasti kita sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia yang memiliki kepekaan dan kepedulian memandang, selain dilanda tsunami keprihatinan termasuk pula semangat juang ingin segera bangkit untuk mengambil peran meskipun sangat sederhana dalan ruang lingkup yang meskipun masih sangat terbatas.
Pancasila pun, sebagaimana bisa dipahami dengan baik dari Yudi Latif, adalah sebagai philosofische grondslag dan weltanschauung, berfungsi sebagai meja statis di mana bangunan keindonesiaan dibangun di atasnya, dan sebagai leitstar dinamis, bintang penuntun. Pancasila pun sesungguhnya adalah “kode”—yang dalam tradisi semiotik, kode adalah sesuatu yang muncul karena narasi–narasi biasa tidak mampu mengungkapkan/menjelaskan realitas yang sebenarnya—yang menggambarkan genius nusantara. Ada banyak nilai dan kearifan yang terkandung di dalamnya.
Saya bersyukur karena apa yang dikhawatirkan atas realitas empirik hari ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sabri di atas, kini dalam kebijakan atau program Merdeka-Belajar Kemendikbudristek ada ruang untuk penguatan Pancasila khususnya bagi pelajar. Membaca grand design Profil Pelajar Pancasila dan Merdeka-Belajar, ternyata ada satu bagian yaitu “Upaya Penguatan Karakter”, dan di dalamnya inilah Profil Pelajar Pancasila itu diupayakan dan dikokohkan.
Dalam Kurikulum-Merdeka yang diterapkan oleh sekolah-sekolah tertentu, ada yang dikenal dengan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Terkait proyek ini, saya selaku penulis, sudah dua kali di dua sekolah yang berbeda diundang sebagai narasumber atau pembicara. Dan pada kegiatan P5 ini, saya diamanahi untuk membahas fokus pada tema “Suara Demokrasi”.
Yang menarik dari Profil Pelajar Pancasila sebagai bagian dari penguatan karakter pada kebijakan Merdeka-Belajar adalah adalah adanya enam elemen yang harus dicapai—ini pun dikenal sebagai enam karakteristik Pelajar Pancasila: Pertama, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia; Kedua, berkebinekaan global; Ketiga, mandiri; Keempat, bergotong royong; Kelima, bernalar kritis; dan keenam, kreatif.
Jika kita mengupas elemen dasar yang wajib dicapai dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila ini, baik dalam kerangka berpikir konteks Indonesia, maupun konteks kehidupan global adalah sesuati yang urgen dan signifikan untuk dimiliki khususnya bagi pelajar sebagai generasi muda yang memiliki posisi strategis. Implikasinya pun sangat besar dan strategis.
Karakter pertama, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, ini pun jika kita membaca sejarah perumusan Pancasila, para founding fathers tampak sangat menyadari betapa pentingnya fundamen moral, akhlak mulia, keimanan, dan ketakwaan. Hal ini tercermin dari, digesernya sila pertama, ketuhanan, yang sebelumnya berada pada posisi kelima, posisi pengunci menjadi sila pertama, posisi pembuka.
Karakter kedua, berkebinekaan global, ini adalah nilai luhur utama bangsa, apatah lagi jika kita menyadari peta sosiologis bangsa dan termasuk pula ketika kita menyadari spirit kosmopolitanisme. Karakter ketiga, mandiri. ini senapas dengan trilogi Soekarno yang pada substansinya di dalamnya ada spirit dan nilai kemandirian.
Karakter keempat, bergotong royong itu, sebagaimana penegasan Soekarno, andaikan Pancasila ingin diperas menjadi ekasila, maka itu adalah “Gotong-Royong”. Karakter kelima, berpikir kritis tak kalah pentingnya sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh anak negeri terutama pelajar. Berpikir kritis adalah jalan terbaik dan strategis dari kecenderungan berpikir naif dan magis. Berpikir kritis di dalamnya mengandung empati yang bukan hanya bersimpati terhadap keadaan memahami dan membenarkannya secara teoritik dan pengakuan verbal. Tetapi setelah itu dan beyond, melampaui dari itu adalah langkah nyata dan strategis yang dilakukan untuk keluar dari setiap permasalahan hidup.
Berpikir kritis pun—jika memahami cara pandang Rhenald Kasali—akan memantik kesadaran di tengah kehidupan era disrupsi, bahwa yang dibutuhkan bukan hanya motivasi, tetapi termasuk pula kemampuan membaca “where we are” dan “where we are going to”. Dan saya pun menambahkan bahwa bukan hanya kemampuan membaca tetapi termasuk pula kemampuan menjawab.
Menjawab dan membaca di atas, maksudnya bukan hanya pada konteks geografis semata, tetapi secara historis filosofis, ideologis, teologis, dan sosiologis. Contoh sederhana, jika ada yang memaksakan bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam, dan menggantikan Pancasila, maka sesungguhnya dia gagal membaca dan menjawab “wher we are”. Indonesia secara historis dan berdasarkan peta sosiologis dan ideologisnya adalah bangsa dan negara yang sangat majemuk dan bahkan ini adalah suatu keniscayaan dan takdir ilahi. Maka tepatlah Pancasila sebagai ideologi. Pancasila sebagai darul ahdi wa syahada.
Karakter keenam, kreatif menjawab tantangan era disrupsi, syarat dan modal utamanya adalah kreatif atau kreativitas. Apalagi kreativitas yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologis sains adalah—jika mengikuti teori radias budaya Arnold Toynbee—keduanya ini adalah prasyarat agar Indonesia mampu memberikan pengaruh besar bagi peradaban yang lain. Jadi bukan dengan menjadi Indonesia sebagai negara Islam yang bisa membuat Indonesia memberikan pengaruh bagi peradaban lain.
[Proyek Penguatan] Profil Pelajar Pancasila sebagai upaya penguatan karakter dalam kebijakan Merdeka-Belajar adalah sesuatu yang sangat urgen, signifikan dan strategis, sehingga idealnya hal ini diterapkan bukan hanya pada sekolah tertentu dan tingkatan tertentu, seharusnya hal ini diterapkan bagi semua jenjang pendidikan dan jenis pendidikan.
Berdasarkan sependek pengetahuan saya, P5 ini sebagai bagian dari Kurikulum-Merdeka penerapannya masih terbatas pada sekolah tertentu. Khususnya di daerah penulis, Kabupaten Bantaeng, hanya diterapkan bagi Sekolah Menengah Atas, di Sekolah Menengah Kejuruan sepertinya belum diterapkan. Yang menerapkan pun, seperti belum maksimal untuk menggenjot pencapaian elemen atau 6 karakteristik Pelajar Pancasila tersebut.
Harapan besar saya selaku penulis, P5 ini bisa diterapkan secara masif, ke semua jenjang pendidikan baik negeri maupun swasta, berbasis umum atau agama/pesantren. Dalam pandangan penulis, hanya dengan memaksimalkan P5 bisa menjadi solusi terbaik dan strategis untuk menjawab “Kekosongan Kognisi Pancasila” yang diungkapkan oleh Sabri di atas.
Agusliadi Massere, Pegiat Literasi Keluarga, dan Pemerhati Pelajar