Melek Literasi Kaya Narasi
Oleh: Teguh Pamungkas
“Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik”
— Prof. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka —
Begitu penting kehadiran buku. Di mana kehadiran buku beriringan dengan pendidikan dan pengetahuan. Kegemaran membaca mengantarkan kemampuan seseorang dalam literasi. Literasi sendiri adalah kemampuan manusia dalam membaca dan menulis yang diperoleh dari berbagai sumber.
Literasi bertujuan meningkatkan pengetahuan seseorang dengan cara membaca dan memperoleh informasi yang bermanfaat. Semakin banyak literasi maka semakin kaya narasi seseorang.
Sementara itu, usia anak-anak merupakan masa-masa yang penuh kebebasan. Bebas bergerak, bebas berkreasi dalam mengasah ide dan mengembangkan potensi. Di mana kebebasan diekspresikan pada ragam membaca, menulis dan kreativitas.
Pun masa anak-anak dilingkupi penuh rasa ingin tahu. Jangan sampai mereka yang cenderung masih labil mendapatkan informasi yang kurang baik bagi perkembangannya. Karena literasi yang buruk dapat berdampak buruk bagi psikologis anak. Informasi yang ada memerlukan filter untuk menyaring informasi sebelum dikonsumsi langsung oleh anak-anak.
Mereka regenerasi bangsa, selalu diliputi keingintahuan yang tinggi dan penuh penasaran. Jika dipahami oleh orangtua dengan baik, rasa ingin tahu anak dapat mengantarkannya pada kekayaan pengetahuan dan wawasan. Apalagi media untuk memperkaya literasi kini tak sedikit orang mengakses melalui gadget, yang hanya dari satu genggaman tangan.
Rupa literasi ada dua jenis, yakni literasi digital dan non digital. Tidak berdiri sendiri, keduanya sama-sama penting dan memiliki peran dalam khasanah informasi dan pendidikan. Saling melengkapi, eksplorasi memperkaya wawasan yang membimbing guna kedewasaan diri.
Aktivitas membaca bisa dibawa secara enjoy apabila ada minat baca. Namun minat baca bisa berhenti seketika jika tidak ada daya baca. Dari kehadiran itu membuat kegiatan membaca menjadi asyik tanpa terpaksa. Menurut Gorys Keraf dalam buku berjudul Kosakata Bahasa Indonesia (1996), membaca adalah sebuah proses fisik dan mental yang memberikan makna pada simbol-simbol visual.
Ketertarikan anak pada literasi buku, komik, novel dan buku pengetahuan lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya karena penokohan atau alur cerita yang menarik, pemilihan bahasa yang digunakan penulis, bisa pula karena melihat gambarnya yang tampak bagus.
Ketika Anak Membaca
Kebiasaan membaca mengantarkan anak kaya literasi. Anak-anak memiliki kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari yang bacanya. Pojok baca, perpustakaan, taman bacaan, atau apapun namanya merupakan lokasi yang tepat untuk mengasah kepekaan anak dan remaja sebagai zona literasi.
Merangsang kebiasaan literasi pada anak bermanfaat guna memudahkan mereka beradaptasi di saat berada pada keadaan dan lingkungan asing. Anak juga tidak merasa canggung dan tidak mudah terkejut ketika dihadapkan pada suatu kondisi tertentu. Karena dari membacalah, insting anak menjadi terasah dalam menebus kepenasarannya.
Hal tersebut menurut M. Fauzil Adhim (1996), bahwa anak berbakat sering melakukan “petualangan” untuk memenuhi rasa ingin tahu dan mengubah apa-apa yang lazim menjadi sesuatu yang baru sama sekali dan bermanfaat. Karena itu jangan heran jika mereka menggeluti aktivitas yang tidak diketahui maksudnya oleh orangtua.
Mengawali sesuatu dipengaruhi karena faktor tertarik. Lanjut dari ketertarikan lama kelamaan menumbuhkan minat melakukan apa yang disuka itu. Begitu juga dengan menulis, ketika sudah mulai tertarik maka ia akan melakukan untuk menulis sesuatu hal. Ibarat tertarik dengan suatu barang, maka tidak cukup hanya menatap saja.
Menulis pada dasarnya seni merangkai kata. Dari kata-kata tersusun menjadi kalimat. Berbagai kalimat terangkai membentuk paragraf, hingga paragraf-paragraf ini menghasilkan sebuah tulisan yang memiliki suatu cerita atau bahasan. Ya, menulis itu menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan. Mencari atau menggali ide yang anak inginkan.
Menurut Dr. Joko Santoso (Perpustakaan Nasional RI), bahwa perilaku membaca masyarakat secara global berubah. Polarisasi para pembaca mengalami perubahan yang menarik. Pembaca dari generasi baby boomers ada 28 persen, generasi X sebanyak 31 persen, pembaca generasi Z menempati 34 persen dan generasi milenial sebanyak 40 persen.
Anak-anak berhak untuk berpartisipasi tidak terbatas dengan tempat, ruang dan waktu. Wujud partisipasi di mana saja, ketika berada di sekolah, kampus, keluarga, saat di masyarakat dan pada ruang digital. Dari literasi yang dikonsumsi, baik saat di rumah dan masyarakat mampu mengantarkan edukasi diri untuk menjalani kehidupannya. Berangkat dari situlah, bahwasanya ia telah belajar budaya dan interaksi sosial.
Mereka adalah generasi penerus bangsa yang berhak memperoleh literasi, entah siapa pun itu mesti cerdas dan produktif. Tidak memandang status sosial, jenis kelamin maupun agama dan suku.
Belajar dapat mengasah anak-anak untuk cerdas berpikir. Sedangkan membaca dan menganalisa adalah syarat mutlak terwujudnya kemampuan literasi. Sebagai jendela untuk mengantarkan mereka pada pembiasaan diri dalam berpikir dan bersikap.
Literasi seseorang sangat dipengaruhi dari apa yang mereka peroleh dari membaca, berdampak besar pada pola pikir, emosi dan tindakan. Referensi-referensi yang diperoleh anak menjadi narasi-narasi di kehidupan kini dan masa depannya. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Buya Hamka.
Teguh Pamungkas, Penyuluh Keluarga Berencana Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Selatan