Menata Fuzzle Spirit Pengalaman Berhaji
Oleh: Yayan Suryana
Armuzna sebagai puncak haji telah selesai. Thawaf ifadhah dan sya’i sebagian besar jama’ah sudah selesai di tunaikan. Menandakan bahwa seluruh rangkaian ibadah haji telah tuntas. Lantas dimana kita menemukan kemabruran haji? Suatu predikat yang diidam-idamkan oleh setiap jama’ah.
Sejatinya, kemabruran haji seseorang berada pada seluruh landscape kehidupan dunia nyata yang dibingkai oleh nilai-nilai religius yang tinggi. Setiap orang yang telah menunaikan ibadah haji dituntut untuk menghadirkan Tuhan dalam diri dan kehidupannya.
Berhaji pada dasarnya mencelupkan diri dalam totalitas ibadah yang tidak hanya melibatkan lafal-lafal dalam doa, dan kekhusyukkan ibadah seperti dalam shalat, tetapi terkait juga dengan mobilitas yang sangat dinamis.
Ritual haji dan aktivitas sehari-hari berbaur menjadi satu dan hal ini menuntut kemampuan dalam menghidupkan kesadaran seorang yang sedang berhaji dalam memetakan ritual ibadah dengan aktivitas hidup sehari-hari. Sebab selama proses ibadah haji, atau bahkan selama tinggal di Tanah Suci, semuanya tidak bisa di pisahkan dari seseorang orang yang sedang berhaji.
Maka kemabruran berhaji, selain dilihat dari tahapan dan proses ibadah, juga berada pada seluruh aktivitas hidup seorang yang berhaji. Kesadaran ini tidak saja ketika berada ditanah suci namun juga harus terus dihidupkan dan dijaga sampai ke tanah air agar kemabruran menjadi nyata.
Perintah Allah terkait ibadah haji, tidak berhenti sampai prosesi manasik saja. Ketika prosesi manasik haji telah selesai, seorang yang menjalankan ibadah haji diminta untuk terus mengingat Allah. Hal itu diterangkan dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 200:
Apabila kamu telah menyelesaikan manasik (rangkaian ibadah) haji, berzikirlah kepada Allah sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu. Di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” sedangkan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun. (QS. Al-Baqarah: 200).
Ayat tersebut, mengkomparasikan mengingat Allah dengan mengingat peran dan jasa nenek moyang atau leluhur yang telah menjadikan suatu generasi menjadi lebih baik. Leluhur yang hebat akan mewariskan kehebatan-kehebatan yang kelak akan menjadi buah bibir bagi generasi sesudahnya. Menceritakan kehebatan nenek moyang merupakan hal yang wajar dan dilakukan oleh setiap kelompok manusia.
Bagi orang yang berhaji, mengingat Allah itu harus jauh lebih berkualitas, lebih sering, lebih banyak, dan lebih kuat dibandingkan dengan mengingat peran nenek moyang dahulu.
Kemampuan mengingat Allah ini merupakan salah satu indikator kemabruran.
Namun demikian, sesungguhnya masih banyak kepingan gambaran kecil dari indikator kemabruran dalam konteks dzikrullah ini. Kepingan-kepingan gambar itu masih harus terus dicari, ditata dan diletakan secara tepat sehingga bisa menunjukkan gambar besar dan utuh mengenai haji yang mabrur.
Proses pencarian nilai dan spirit dari pengalaman berhaji secara terus menerus dan mematrinya dalam kesadaran diri seorang yang telah berhaji, sesungguhnya merupakan dzikrullah itu sendiri.
Dalam doa yang dibacakan saat manasik, seharusnya direnungkan terus menerus kendati jarak waktu pelaksanaan ibadah telah jauh kita lewati. Di situ akan ada kepingan gambar dzikrullah yang otomatis menjadi penopang gambaran besar kemabruran.
Kepingan atau potongan gambar yang ditemukan dalam setiap pengalaman ibadah haji yang terus menerus kita kumpulkan, suatu saat nanti aka muncul gambaran besar tentang sosok haji mambrur yang diidam-idamkan itu.
Oleh karena itu, menjadikan diri mejadi haji mambrur adalah usaha sepanjang hayat, sejak kita menjalankan prosesi manasik di Tanah Suci sampai proses memunguti nilai-nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari perjalanan ibadah haji kita.
Sabar, ikhlas, dan menolong bukan saja menjadi kunci ketika kita menjalankan proses ibadah haji, tetapi juga menjadi kata kunci dalam mewujudkan kemabruran. Sabar dalam menemukan kepingan gambar yang berserakan, ikhlas dalam menjalankannya. Kepingan kecil kemabruran itu juga bisa ditemukan dalam kemurahan dan kerelaan hati dalam menolong orang lain.
Mendapatkan kemabruran bukan seperti membeli makanan instan atau makanan siap saji, tetapi dicari, temukan, lu petakan dan tata hingga menemukan gambaran utuhnya dalam kepribadian masing-masing. Jadi kemabruran itu seperti puzzle. Ketika sudah ditata dan ditemukan setiap sisi dan sudut gambarnya baru akan kelihatan gambar yang baik dan semurna.
Sebagaimana juga fuzzle, kalau gambaran besar belum terbentuk, maka potongan gambar punya nilai yang sama untuk menyempurnakan bentuk dari gambar besar secara utuh dan sempurna. Kesalahan menempatkan gambar atau hilang salah satu potongannya, maka gambaran sempurna dari fuzzle itu tidak akan didapatkan.
Demikian pula kemabruran haji, ada dalam kepingan-kepingan pengalaman, fisik, psikis, sosial, dan ritual haji yang terus dihidupkan sebagai proses dzikrullah. Tugas kita menyusunnya hingga kemabruran itu terekspresi dalam kepribadian kita.
Disampaikan Dalam Pengajian bersama jama’ah Aisyiyah DIY Senin 3 Juli 2023 Pukul 08.30-10.30 WAS
Kontributor : Sumarah, M.Pd.
Editor : Arief Hartanto.
Yayan Suryana, Wakil Ketua PWM DIY