Qiyam Ramadhan dalam Sunnah Nabi saw

Qiyam Ramadhan

Foto Ilustrasi

Qiyam Ramadhan dalam Sunnah Nabi saw

Oleh: Prof Dr Syamsul Anwar, MA

Masalah qiyam Ramadhan sering menjadi pertanyaan masyarakat, terutama saat-saat jelang Ramada, meskipun sudah banyak penjelasan dikemukakan. Hal itu wajar karena ibadah tersebut merupakan salah satu ruang ekspresi spiritual yang penting dan karenanya masyarakat merasa perlu untuk memahami tuntunannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw.

Penulis pernah ditanya oleh seorang ibu yang menyatakan bahwa dia sejak kecil menjalankan qiyam Ramadhan sebelas rakaat. Tetapi kemudian dia menjadi ragu karena para ustaz yang sering ia dengar dan juga terdapat di youtube mengemukakan beragam pendapat yang membuatnya bertanya-tanya sebetulnya cara mengerjakan qiyam Ramadhan yang lebih sesuai dengan Sunnah Nabi saw itu bagaimana, terutama jumlah rakaatnya berapa?

Masyarakat memang berhak untuk mendapat informasi yang jelas mengenai hal tersebut. Dalam tulisan ini akan diberi penjelasan singkat agar pembaca dapat memahami duduk masalahnya.

Qiyam Ramadhan merupakan ibadah penting sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi saw,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [رواه البخاري ومسلم وغيره].

Dari Abū Hurairah r.a. [diriwayatkan] bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa melakukan qiyam Ramadhan atas dasar iman dan harapan [pahala dari Allah], maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu [HR al-Bukhārī, Muslim, dan hali-ahli hadis lainnya].

Menurut Imam an-Nawawī (w.676/1277), qiyam Ramadhan dalam hadis di atas adalah shalat Tarawih (Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ an-Nawawī, VI: 59). Istilah “Tarawih” belum dikenal di zaman Nabi saw, bahkan dalam kitab al-Umm karya Imam asy-Syāfiʻī (w. 204/820) istilah ini juga belum dikenal. Beliau menyebutnya “qiyam bulan Ramadhan” (al-Umm, II: 150).

Berapa jumlah rakaat rakaat Tarawih yang dikerjakan Nabi saw? Berdasarkan hadis-hadis yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan otentisitas sanadnya, Nabi saw mengerjakan qiyam Ramadhan adalah 11 (sebelas) rakaat dan beliau tidak pernah mengerjakannya lebih dari jumlah tersebut. Bahkan shalat malam di luar Ramadhan pun juga tidak pernh beliau kerjakan lebih dari 11 rakaat. Hal ini dapat difahami dari beberapa hadis dan asar berikut,

عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِىَ الله عَنْهاَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا … [رواه الجماعة إلا ابن ماجه].

Dari Abū Salamah Ibn ‘Abd ar-Raḥmān [diriwayatkan] bahwa dia bertanya kepada ‘Ā’isyah tentang bagaimana shalat Rasulullah saw di [bulan] Ramadhan. ‘Ā’isyah menjawab: Beliau shalat di bulan Ramadhan –dan di bulan lainnya– tidak lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan engkau tanya tentang baik dan lamanya. Kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, maka jangan engkau tanya baik dan lamanya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat … [HR al-Bukhārī, Muslim, dan sejumlah ahli hadis lainnya].

Ada pendapat bahwa hadis ‘Ā’isyah ini adalah tentang shalat witir. Pendapat ini hanyalah sebuah takwil yang bisa dikoreksi. Hal itu, pertama,  karena apa yang ditanyakan Abū Salamah (w. 94/713), murid ‘Ā’isyah dan kemudian menjadi hakim kota Madinah, kepada gurunya ‘Ā’isyah adalah tentang shalat Tarawih (shalat bulan Ramadhan), bukan tentang shalat witir. Kedua, al-Bukhārī menempatkan hadis ini dalam kumpulan hadis-hadis tentang Tarawih dalam “Kitab Puasa”, dan tidak menempatkannya dalam kumpulan hadis-hadis tentang witir dalam “Kitab Shalat”. Ini berarti menurut al-Bukhārī hadis ini adalah hadis shalat Tarawih.

Hadis lainnya adalah,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَأَوْتَرَ ، فَلَمَّا كَانَتِ الْقَابِلَةُ اجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ فَلَمْ نَزَلْ فِيهِ حَتَّى أَصْبَحْنَا ثُمَّ دَخَلْنَا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ اجْتَمَعْنَا الْبَارِحَةَ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ تُصَلِّيَ بِنَا فَقَالَ إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ لاَ يُرْوَىْ عَنْ جاَبِرِ بْنِ عَبْدِ الله إلاَّ بِهَذاَ الإسْناَدِ تَفَرَّدَ بِهِ يَعْقُوْبُ وَهُوَ ثِقَةٌ [رواه ابن حبان وابن خزيمة وأبو يعلى والطبراني والمروزي].

Dari Jābir Ibn ‘Abdillāh r.a., ia berkata, “Rasulullah saw shalat bersama kami di bulan Ramadhan delapan rakaat dan melakukan witir. Lalu pada malam berikutnya kami berkumpul di masjid dan mengharapkan beliau keluar [tetapi beliau tidak keluar]. Kami tetap menunggu di masjid hingga tiba waktu subuh. Kemudian kami masuk [menemui Rasulullah saw] dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid dan berharap engkau shalat mengimami kami.’ Lalu beliau menjawab, ‘Saya khawatir kalau-kalau hal itu menjadi wajib atasmu.’’’ [HR Ibn Ḥibbān, Ibn Khuzaimah, Abū Ya‘lā, aṭ-Ṭabarānī, dan al-Marważī].

Hadis ini hasan menurut Ibn Ḥajar dan pertengahan menurut aż-Żahabī. An-Nīmawī menyatakannya sedikit daif. Tetapi pendaifan oleh an-Nīmawī ini dikoreksi oleh al-Mubārakfūrī yang memandangnya hasan. Hadis ini dikuatkan oleh hadis ‘Ā’isyah terdahulu dan dikuatkan pula oleh asar ‘Umar Ibn al-Khaṭṭāb di bawah ini.

عَنْ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِىَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً [رواه مالك والنسائي والمروزي].

Dari Mālik, dari Muḥammad Ibn Yūsuf, dari as-Sā’ib Ibn Yazīd bahwa ia berkata: Umar Ibn al-Khaṭṭāb memerintahkan Ubayy Ibn Ka‘b dan Tamīm ad-Dārī agar mengimami orang banyak melakukan qiyam Ramadhan sebelas rakaat [HR Mālik, an-Nasā’ī, dan al-Marwazī].

Asar ini sahih dan, menurut as-Subkī (w. 756/1355) dan as-Sayūṭī (w. 911/1505), asar ini menduduki puncak kesahihan. Asar ini berkaitan dengan kebijakan ‘Umar pada tahun 14 H / 635 M yang menertibkan pelaksanaan shalat Tarawih di Masjid Nabawi yang sebelumnya dilaksanakan sporadis, tanpa ada imam yang tetap. Praktiknya begitu beberapa orang tiba di masjid, mereka lalu shalat Isya dan tarawih tanpa menunggu yang lain. Kemudian beberapa orang lain tiba kemudian mereka shalat Isya dan melakukan Tarawih dalam kelompok sendiri, tidak mengikuti yang telah shalat lebih dahulu. Akibatnya terjadi ketidakteraturan.

‘Umar kemudian melakukan penertiban dan mengangkat dua imam tetap, yaitu Ubayy Ibn Kaʻb (w. 22/643) dan Tamīm ad-Dārī (w. 40/660). Beliau memerintahkan kedua imam itu untuk melaksanakan Tarawih dengan 11 (sebelas) rakaat. Perintah ‘Umar kepada dua imam tersebut supaya melaksanakan qiyam Ramadhan 11 rakaat tentulah sebagai kelanjutan dari dan berdasarkan pengetahuan beliau tentang praktik yang telah berlaku sebelumnya sejak zaman Nabi saw. Al-Bājī (w. 474/1081) menegaskan bahwa ‘Umar mengambil sebelas rakaat itu dari Nabi saw, sesuai dengan  riwayat yang bersumber kepada ‘Ā’isyah” (Syarḥ az-Zurqānī, I: 335).

Tidak ditemukan riwayat yang sahih yang menyatakan bahwa praktik ini pernah diubah oleh ‘Umar ataupun khalifah Rasyidin sesudahnya. Memang ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa shalat qiyam Ramadhan di masa ‘Umar adalah 20 (dua puluh) rakaat. Riwayat-riwayat ini tidak sahih dan bertentangan dengan riwayat-riwayat di atas yang jelas kesahihannya. Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa shalat Tarawih (qiyam Ramadhan) sejak zaman Nabi saw dan selama masa Khulafa Rasyidin di Masjid Nabawi di Madinah dilaksanakan 11 (sebelas) rakaat. Perubahan-perubahan yang terjadi adalah sesudah zaman mereka ini.

Apakah shalat Tarawih dua puluh rakaat mempunyai dalil dari hadis Nabi atau asar? Terdapat sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw shalat Tarawih sendiri tanpa berjamaah dua puluh rakaat, yaitu,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ. تَفَرَّدَ بِهِ أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُثْمَانَ الْعَبْسِىُّ الْكُوفِىُّ. وَهُوَ ضَعِيفٌ [رواه البيهقي]

Dari Ibn ‘Abbās, ia berkata: Adalah Rasulullah saw shalat di bulan Ramadhan tanpa berjamaah dua puluh rakaat dan mengerjakan witir. Abū Syaibah Ibrāhīm Ibn ‘Usmān al-‘Absī al-Kūfī menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini, dan dia adalah rawi daif [HR al-Baihaqī].

Hadis ini daif sebagaimana ditegaskan oleh al-Baihaqī yang meriwayatkannya. Kedaifannya dikarenakan dalam rangkaian sanadnya terdapat rawi bernama Abū Syaibah Ibrāhīm Ibn ‘Uṡmān (w. 167/783). Tidak ada perbedaan pendapat tentang kedaifan Abū Syaibah, bahkan beberapa ulama menyatakan hadis-hadisnya sebagai mungkar. Ibn Ḥajar (w. 852/1449) menyatakan bahwa ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari al-Ḥakam (Tahżīb at-Tahżīb, I: 136). Al-Mizzī (w. 742/1341)  menyebutkan di antara hadis mungkarnya itu adalah hadis Ibn ‘Abbās tentang tarawih dua puluh rakaat di atas (Tahżīb al-Kamāl, II: 149). Oleh karena itu hadis Ibn ‘Abbās ini tidak dapat menjadi dasar syar’i.

Selain itu terdapat pula beberapa asar Sahabat yang menyatakan bahwa di zaman ‘Umar shalat Tarawih itu dilakukan 20 (dua puluh) rakaat yang juga semuanya daif. Di antaranya adalah asar as-Sā’ib (w. 91/710),

حَدَّثَنَا عَلِيٌّ أَناَ ابْنُ أَبِيْ ذِئْبٍ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ قاَلَ كاَنُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَإِنْ كاَنُوْا لَيَقْرَءُوْنَ بِاْلمِئِيْنَ مِنَ اْلقُرْآنِ [رَوَاهُ ابْنُ الْجَعْدِ وَالْبَيْهَقِيُّ وَالْفِرْياَبِيُّ وَالْمَرْوَزِيُّ]

[Al-Bagawī berkata]: Telah mewartakan kepada kami ‘Alī, [ia berkata]: Telah memberitakan kepada kami Ibn Abī Żi’b, dari Yazīd Ibn Khuṣaifah, dari as-Sā’ib Ibn Yazīd, ia berkata: Mereka melakukan qiyam Ramadhan di zaman ‘Umar pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat, dan sungguh-sungguh mereka membaca surat-surat dengan ratusan ayat [Asar riwayat Ibn al-Ja‘d, al-Baihaqī, al-Firyābī, dan al-Marwazī].

Asar ini menerangkan bahwa di zaman ‘Umar shalat Tarawih dilaksanakan 20 rakaat. Isi hadis ini bertentangtan dengan isi hadis asar riwayat Mālik terdahulu yang menyatakan ‘Umar memerintahkan shalat Tarawih supaya dilaksanakan 11 rakaat. Kedua asar itu bersumber kepada satu rawi yang sama, yaitu as-Sā’ib Ibn Yazīd.

Para ahli hadis berselisih pendapat dalam menilai kualitas sanad hadis maukuf (asar) 20 rakaat ini. Sebagian menyatakannya sahih dan yang lain menyatakan daif. Yang menyatakan sahih antara lain adalah Ibn ‘Abd al-Barr, an-Nawawī, al-‘Ainī, an-Nīmawī, dan al-Anṣāri. Sementara yang menyatakan daif antara lain adalah al-Mubārakfūri, al-Albānī, as-Sindī, Ḥabīb ar-Raḥmān al-A‘ẓamī, dan al-Aṡarī. Mereka yang mendaifkannya beralasan bahwa di dalam jalur sanad asar ini terdapat raw-rawi majhul (tidak jelas identitasnya) dan terindikasi membawakan riwayat-riwayat mungkar dan tidak ada asal-usulnya dari Rasulullah saw.

Apabila asar 20 rakaat dari ‘Umar yang ini dihadapkan kepada asar dari ‘Umar yang menyatakan beliau memerintahkan Tarawih 11 rakaat, maka kita harus menarjih yang terakhir ini, yaitu asar 11 rakaat, karena asar 11 rakaat disepakati kesahihannya, bahkan merupakan puncak kesahihan seperti ditegaskan oleh as-Subkī dan as-Sayūṭī. Sementara asar 20 rakaat diperselisihkan kesahihannya. Selain itu asar 11 rakaat didukung oleh hadis ‘Ā’isyah dan hadis Jābir riwayat Ibn Ḥibbān yang telah dikutip terdahulu. Jadi dari sudut kritik hadis, asar 11 rakaat lebih kuat.

Para ulama dari zaman ke zaman juga telah menjelaskan bahwa shalat qiyam Ramadhan Rasulullah saw itu adalah 11 rakaat. Ibn al-‘Arabī (w. 543/1148), ahli tafsir dan ahli hadis dari mazhab Maliki, menjelaskan bahwa yang benar shalat Tarawih itu adalah 11 rakaat. Itulah shalat dan qiyamnya Nabi saw. Adapun bilangan rakaat lainnya tidak ada dasarnya. Dasar bilangan rakaat shalat Tarawih adalah bilangan rakaat yang dikerjakan oleh Nabi saw, yaitu tidak lebih dari sebelas rakaat (‘Āriḍat al-Aḥważī, IV: 19).

As-Sayūṭī (911/1505), seorang ulama Syafii terkemuka, membuat fatwa panjang sebagai jawaban atas pertanyaan apakah Nabi saw shalat Tarawih 20 rakaat seperti yang banyak dipraktikkan. Dengan tegas beliau menjawab: Tidak. Tetapi penanya tampak tidak merasa puas. Oleh karena itu as-Sayūṭī menjelaskan secara panjang lebar.

Ia menegaskan, “Tidak ada bukti bahwa Nabi saw shalat Tarawih 20 rakaat.” Ia menegaskan bahwa orang yang menganggap bahwa shalat Tarawih itu 20 rakaat berpegang kepada hadis Ibn ‘Abbās bahwa “Nabi saw shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan melakukan witir” [yang dikutip di atas]. As-Sayūṭī menegaskan bahwa hadis ini sangat daif, tidak dapat menjadi hujah (dasar hukum).

Beliau juga mengutip koreksi Ibn Ḥajar (w. 852/1449) terhadap ar-Rāfiʻī (w. 623/1226), seorang ulama Syafii, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw shalat 20 rakaat pada malam pertama dan  kedua, lalu pada malam ketiga beliau tidak keluar sementara para Sahabat menunggu-nunggu. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī.

Koreksi Ibn Ḥajar terhadap statemen ar-Rāfiʻī adalah bahwa dalam hadis-hadis tentang kasus tersebut yang diriwayatkan al-Bukhārī tidak disebutkan jumlah rakaat. Justru jumlah rakaat itu disebutkan dalam hadis Ibn Ḥibbān dari Jābir bahwa Rasulullah saw shalat pada malam pertama dan kedua itu 8 rakaat, kemudian witir.

Kemudian as-Sayūṭi menyimpulkan uraiannya, “Alhasil, shalat Tarawih dua puluh rakaat tidak terbukti dilakukan oleh Nabi saw. Hadis yang dinukil olehnya (Ibn Ḥajar) dari Saḥīḥ Ibn Ḥibbān sejalan dengan pendapat yang kami pegangi berdasarkan hadis yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhāri dari ‘Ā’isyah bahwa Nabi saw melakukan shalat di bulan Ramadhan dan di bulan lainnya tidak lebih dari sebelas rakaat. Hadis ‘Ā’isyah ini selaras dengan hadis Ibn Ḥibbān dalam hal bahwa beliau (Nabi saw) shalat Tarawih delapan rakaat dan melakukan witir tiga rakaat sehingga jumlahnya sebelas rakaat” (al-Ḥāwī li al-Fatāwā, I: 347-349).

As-Subkī menegaskan bahwa asar-asar shalat 20 rakaat itu dalam Sunan Saʻīd Ibn Manṣūr adalah sesudah zaman ‘Umar (al-Ibtihāj, h. 696). Menurut al-Mubārafūrī (w. 1353/1934) bahwa shalat Tarawih 20 rakaat tidak dikenal selama zaman Khulafa Rasyidin (Tuḥfat al-Aḥważī, III: 523, dan 527-528). Jadi shalat Tarawih 20 rakaat itu muncul sesudah masa Khulafa Rasyidin. Di Masjid Nabawi di Madinah sejak sebelum Perang al-Ḥarra (yang  terjadi tahun 63/683) shalat Tarawih telah dilaksanakan 39 rakaat termasuk witir (Kitāb Qiyām Ramaḍān, h. 57).

Lalu sejak awal zaman Muawiyah (w. 40/661) hingga beberapa waktu sebelum Perang al-Ḥarrah, berapa rakaat Tarawih di Masjid Nabawi? Tidak ditemukan bukti yang pasti. Ibn al-Mulaqqin (w. 804/1401), menyebutkan bahwa Muawiyah adalah orang yang mengubah shalat Tarawih menjadi 36 rakaat (di akhir pemerintahannya) (at-Tauḍīḥ, XIII: 558). Atas dasar ini masuk akal untuk memperkirakan bahwa kemungkinan beliau pula yang mengubahnya menjadi 20 rakaat di awal pemerintahannya (tahun 40/661).

Sejak sebelum tahun 63/683 hingga abad ke-4 H, shalat Tarawih di Masjid Nabawi di Madinah dilaksanakan 36 rakaat. Kemudian sejak abad ke-4 hingga abad ke-8 H, shalat Tarawih di Masjid Nabawi diubah menjadi 20 rakaat. Kemudian sejak abad ke-8 shalat Tarawih di Masjid Nabawi dikembalikan lagi menjadi 36 rakaat, oleh Imam al-‘Irāqī (w. 806/1404) ketika beliau menjabat Hakim Tinggi Madinah, di mana termasuk tugas seorang hakim tinggi di kota Rasul tersebut adalah menjadi imam Masjid Nabawi (Ṭarḥ at-Taṡrīb, III: 98). Sejak saat itu shalat Tarawih di Masjid Nabawi dilaksanakan 36 rakaat hingga abad ke-14 H (tahun 1344/1926). Sejak tahun 1344/1926, jumlah rakaat Tarawih di Masjid Nabawi itu diubah menjadi 23 rakaat termasuk witir hingga sekarang.

Sebagai catatan penutup, yang perlu diperhatikan adalah pesan Nabi saw bahwa dalam masalah ibadah, termasuk shalat secara umum dan shalat Tarawih juga, kita harus mengikuti praktik beliau sesuai sabdanya,

… … … وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى [رواه البخاري].

… … … dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat [HR al-Bukhārī].

Demikian, semoga bermanfaat. Amin.

Prof Dr Syamsul Anwar, MA, Ketua PP Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM Edisi 5-6 Tahun 2023

Exit mobile version