Mengurai Islamofobia (Bagian 1)

islamofobia

Foto Ilustrasi

Mengurai Islamofobia (Bagian Kesatu)

Oleh: Donny Syofyan

Pemerintah Indonesia, bersama dengan negara-negara mayoritas Muslim lainnya, mengecam keras pembakaran Al-Qur’an di Swedia yang terjadi pada Hari Raya Idul Adha. Kementerian Luar Negeri menulis di Twitter bahwa tindakan itu “sangat menyakitkan” perasaan umat Islam di seluruh dunia dan tidak dapat dibenarkan. “Kebebasan berekspresi juga harus menghormati nilai-nilai dan kepercayaan agama-agama lain. Indonesia, bersama dengan negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OIC), sangat memprotes insiden ini”, demikian Twiter resmi Kementerian Luar Negeri pada Kamis malam.

Sementara itu, ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim, menyebut insiden ini sebagai tindakan Islamofobik. “Ini jelas-jelas anti Islam (Islamofobik). Dia dengan terang-terang menantang umat Islam sedunia dan dibiarkan oleh pemerintah Swedia atas nama kebebasan berekspresi” ungkapnya kepada wartawan, Jumat (30/6).

Seberapa sering kita mendengar kaum Muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama yang damai, Muslim adalah patriotik, wanita Muslim tidak tertindas? Pernyataan-pernyataan ini selain sudah sangat klise juga dinilai tidak berbahaya. Hal yang mengganggu banyak Muslim adalah pernyataan yang tidak terungkap karena umat Islam terjebak untuk terus mengulangi kalimat pembelaan diri bahwa mereka menjunjung tinggi kemanusiaan.

Latar belakang pernyataan ini tentu saja Islamofobia. Tentu kita akrab dengan istilah ini setelah peristiwa tragis 11 September 2001. Beberapa hari seusai tragedi itu, kaum Muslim dan mereka yang dianggap Muslim di Amerika Serikat (AS) menjadi korban kekerasan rasial. Rumah-rumah Muslim dan banyak masjid dirusak. Program-program pemerintah AS atas nama keamanan nasional menarget sidik jari, menahan, dan mendeportasi kaum Muslimin, bahkan menyasar orang-orang yang tidak pernah memiliki kaitan dengan terorisme.

Hari ini kaum Muslimah yang berhijab terus mengalami diskriminasi. Protes meletus ketika umat Islam berusaha membangun masjid buat beribadah. Di AS, para kandidat partai politik menerima tepuk tangan riuh ketika mereka menyerukan larangan imigran Muslim memasuki negara Paman Sam. Mari kita telaah bagaimana sejatinya Muslim mengalami kekerasan rasial dan diskriminasi.

Pada saat yang sama, banyak fakta yang tak terbantah bagaimana sejumlah masjid di AS menerima keranjang-keranjang hadiah dari kelompok-kelompok gereja. Para Muslimah berhijab yang mengaku didekati oleh orang-orang asing yang menyatakan simpati dan perhatian kepada mereka. Kita juga menyaksikan tak lama setelah peristiwa 9/11 George W Bush memberikan pidato di sebuah masjid, di sana dia mengatakan umat Islam memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi Amerika.

Apa artinya Obama menyampaikan pidato di Kairo dan mempresentasikan kesamaan prinsip-prinsip antara Islam di Barat? Apa maknanya ketika majalah Newsweek menerbitkan sampul berjudul American Dreamers menyoroti kisah sukses para profesional Muslim Amerika. Dengan kata lain, apa yang kita kenal sebagai Islamofobia juga disertai dengan apa yang disebut Islamofilia yang sulit diabaikan.

Untuk memahaminya, kita perlu mengerti tentang strategi perpecahan dan penaklukan yang sangat penting dalam penciptaan ras, yang menarik garis pembatas antara baik dan buruk. Orang-orang kulit berwarna telah menjadi sasaran rasial dari sejarah sejak isu ras diciptakan. Kerangka ini dapat digunakan untuk secara kritis membedah Islamofilia—politik Muslim yang baik sebagai antitesis dari Islamofobia yang sudah diketahui banyak orang.

Dalam banyak hal, kita banyak menemukan bahwa juru bicara dan perwakilan Muslim di AS adalah bagian yang relatif istimewa dari populasi Muslim Amerika. Mereka sering membenarkan statistik ini, termasuk tentang seberapa baik menjadi Muslim di Amerika. Muslim di sana memiliki pendapatan per kapita dan tingkat pendidikan lebih tinggi. Statistik ini kerapkali ditegaskan berulang-ulang dengan bangga seolah-olah banyak pihak untuk memperlihatkan bahwa Muslim nyaman dan membela AS.

Pakar rasialisme menyebut ini sebagai politik kehormatan (respectability politics). Politik kehormatan tegak ketika kaum minoritas menunjukkan bahwa mereka bisa bergaul dan menyesuiakan diri dengan tatanan yang ada. Namun demikian, ketika mereka melakukan ini, alih-alih mengatasi ketidaksetaraan yang dibangun di atas tatanan tersebut, masalah lain muncul; kaum minoritas ditekan untuk melakukan adaptasi ketimbang mengatasi hal-hal yang menciptakan dan melanggengkan ketidaksetaraan. Nazia Kazi, seorang associate professor antropologi di Stockton University, menulis adanya perbedaan antara apa yang disebutnya attitudinal Islamophobia (Islamofobia sikap) dan systemic Islamophobia (Islamofobia sistemik).

Islamofobia sikap merujuk kepada prasangka atau persepsi orang-orang tentang Muslim, misalnya mereka percaya bahwa wanita Muslim tertindas atau Muslim adalah ekstremis. Dengan kata lain, Islamofobia sikap hidup di hati dan pikiran orang. Faktanya, tokoh-tokoh Muslim sebenarnya sangat aktif dalam memerangi Islamofobia sikap; menyelenggarakan dialog antaragama, pekan solidaritas jilbab, dan program-program penyadaran dan kesadaran tentang agama Islam dan umat Islam.

Semua dilakukan dengan harapan masyarakat bakal memahami Muslim secara lebih baik sehingga mengikis Islamofobia. Tetapi hal-hal itu tetap saja tak menutup fakta bahwa banyak Muslim di AS memiliki kekhawatiran mendalam. Mereka merasakan kehilangan kebebasan sipil pasca 9/11 dan khawatir tentang kehadiran militer AS di dunia Muslim. Apa yang mereka lihat adalah praktik-praktik kebijakan luar negeri anti-demokratis dari negara-negara Barat yang berkuasa—Bersambung.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version