Menghidupkan Wawasan Tajdid
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah dan tajdid. Dakwah dan tajdid merupakan satu kesatuan dari identitas Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam. Muhammadiyah tanpa dakwah dan tajdid akan kehilangan jatidirinya. Karenanya anggota, kader, dan pimpinan Muhammdiyah di seluruh tingkatan dan institusi organisasi penting memahami karakter utama Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid agar selalu berpijak, berbingkai, berpandangan, berorientasi, dan berpraksis dakwah dan tajdid dalam menggerakkan Muhammadiyah.
Hal ihwal dakwah banyak dibahas tentang gerakan Muhammadiyah. Kini penting terus digelorakan misi tajdid Muhammadiyah sebagai sayap dari dua sayap gerakan. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah tanpa misi tajdid ibarat pesawat yang mehilangan salah satu sayapnya yang akan kehilangan keseimbangan. Karenanya penting pemahaman dan reprientasi gerakan tajdid di tubuh Persyarikatan Muhammadiyah agar gerakan Islam ini mampu berkembang di tengah gelombang zaman tanpa gagap. Misi dakwah bahkan memerlukan tajdid atau pembaruan sehingga berjalan di tempat alias mandeg.
Dasar Tajdid
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan tajdid atau gerakan pembaruan. Jika dirujuk pada kelahirannya, karakter dan predikat gerakan tajdid pada Muhammadiyah sangatlah kuat. Penamaan Muhammadiyah sebagai gerakan modernis dan reformis sejatinya melekat dengan gerakan tajdid itu sendiri, karena dari Muhammadiyah lahir orientasi pembaruan Islam yang berwawasan modern dan reformasi. Pemikiran tajdid dalam Muhammadiyah tentu berpijak seutuhnya pada ajaran Islam, sehingga memperoleh landasan yang kokoh.
Pemikiran tentang tajdid atau pembaruan dalam Islam atau “tajdid fil-Islam” memperoleh pijakan penting dari hadis Nabi sebagai berikut. Dari Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka” (HR Abu Dawud no. 4291, Dishahihkan oleh as-Sakhawi di al-Maqâshid al-Hasanah (149) dan al-Albani di as-Silsilah ash-Shahîhah no. 599).
At-Tajdîd berasal dari kata jaddada (جَدَّدَ) dan jadîd (جَدِيْدٌ). Kata jadîd sering digunakan dalam Al-Qur`ân dan assunnah, juga sering dipakai oleh para Ulama. at-Tajdîd, menurut bahasa, maknanya berkisar pada menghidupkan (الإِحْيَاء), membangkitkan ( البعْثُ) dan mengembalikan (الإِعَادَةُ). Makna-makna ini memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan sesuatu (وُجُوْد كَوْنِيَة) kemudian hancur atau hilang (بَلَى أو دُرُوْس) kemudian dihidupkan dan dikembalikan (الإِحْيَاء أو الإعَادَة). Hadits Abdullah bin Amru bin al-Ash yang artinya: “Sesungguhnya iman yang ada dalam hati salah seorang kalian bisa rusak sebagaimana baju bisa rusak, maka mohonlah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’alaagar Dia memperbaharui iman dalam kalbu kalian.”.
Jika membahas dan melekatkan kata “tajdid” dalam suatu pemikiran dan gerakan maka haruslah mencakup keseluruhan dari mata itu yang mengandung makna dan aspek mengembalikan, menghidupkan, membangkitkan, dan memperbarui atau membangun. Tajdid menjadi sempit jika dimaknai dan dicakupkan pada “mengembalikan sesuatu pada tempatnya”, yang sering diartikam “pemurnian” sebagaimana sering disebutkan atau dilekatkan pada gerakan-gerakan pembaru sebagai gerakan permurnian Islam.
Kata “tajdid” atau “jadid” terdapat dalam Al-Quran dalam istilah “khalqi jadid” (kejadian yang baru) sebagaimana firman Allah yang artinya “Dan mereka berkata: “Sesudah kami sesat di bumi, apakah kami akan berada di kejadian yang baru, bahkan mereka bertemu dengan tuhan mereka dalam keadaan kafir” (QS Al-Sajdah: 10). Demikian juga dalam ayat dalam istilah yang sama “khalqa jadid” yang artinya “Dan mereka berkata: “Apakah kita sudah jadi tulang dan barang yang rapuh, maka kita akan dibangkitkan sebagai kejadian yang baru.” (QS Al-Isra: 49).
Tajdid dalam perspektif Al-Quran berkaitan dengan perubahan ke arah kemajuan sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’du: 11). Secara substansi tentu tajdid sebagai bagian dari kegiatan berpikir esensinya terkait dengan ijtihad, tafakur, tadabur, tanadhar, iqra, dan istilah lainnya. Tajdid dalam kaitan pelaku pembaruan atau mujaddid, melekat dengan peran “Ar-Rasihuna fil-‘Ilm”, “Ulil Albab” atau “Ulul Albab”, “Ulama”, “Khalifat fil-Ardh”, dan istilah sejenis yang bersentuhan dengan orang yang menggunakan ilmu, pemikiran, dan akal yang bertebaran dalam Al-Quran maupun hadis Nabi.
Tajdid secara khusus menjadi perhatian penting Nabi bagi kemajuan umat Islam dan masa depan umat Islam sebagaimana hadis dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka” (HR Abu Dawud). Tajdid juga berlaku dalam dimensi iman, sebagaimana hadis Nabi dari Abdullah bin Amru bin al-Ash yang artinya, “Sesungguhnya iman yang ada dalam hati salah seorang kalian bisa rusak sebagaimana baju bisa rusak, maka mohonlah kepada Allâh agar Dia memperbaharui iman dalam kalbu kalian.”. Demikian pula pesan Nabi kepada sahabat Mu’ad bin Jabal ketika mengutusnya agar berpedoman dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi serta berijtihad dengan ra’yu.
Tajdid Muhammadiyah
Bagaimana dengan tajdid dalam Muhammadiyah? Selama ini di sebagian kalangan Muhammadiyah tertanam kuat makna tajdid berarti “pemurnian” sehingga Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid disebut gerakan pemurnian Islam. Buku-buku tentang Kemuhammadiyahan yang selama ini ditulis banyak merujuk makna tajdid dengan pemurnian. Pengertian tajdid seperti itu melekatkan gerakan tajdid pada “Revivalisme Islam” atau “al-Bu’uts al-Islami” atau “al-Sahwa al-Islami”. Jargon utamanya “ar-Ruju’ ila al-Quran wa as-Sunnah”.
Sering dikaitkan dengan gerakan pemurnian akidah dan ibadah dalam melawan syirk, bid’ah, dan khurafat (TBC). Karakter tajdid pemurnian lebih bercorak pada gerakan salaf, yaitu gerakan yang ingin mengembalikan Islam pada kemurniannya di zaman Nabi dan tiga generasi sesudahnya yang dipandang sebagai era utama atau ideal dalam sejarah dan praktik pengamalan Islam.
Pemaknaan tajdid dalam arti pemurnian tersebut tidak salah atau keliru, tetapi sifatnya hanya satu sisi yakni “al-‘iadat asy-syai kal-mubtada” atau mengembalikan sesuatu pada tempatnya, yakni mengembalikan Islam pada sumber al-Quran dan Sunnah Nabi. Tetapi aspek al-ihya (menghidupkan), al-ba’ats atau al-sahwa (kebangkitan), dan lebih jauh al-ishlah yakni memperbaiki dan membangun atau rekonstruksi tidak tercakup dari makna tajir yang bersifat pemurnian tersebut. Karenanya perlu pembaruan makna tajdid tersebut dalam empat cakupan yang saling terkait haitu mengembalikan, menghidupkan, membangkitkan, dan merekonstruksi.
Tajdid atau pembaruan sasaran atau maksudnya menurut Djindar Tamimy adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya. Pertama, berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya, bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap atau tidak berubah-ubah. Kedua, berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai masalah seperti metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu (Tamimy, t.t.).
Keputusan Muktamar Tarjih XXII di Malang, tahun 1989, merumuskan konsep tajdid dalam dua makna yang mengandung empat aspek cakupan arti kata dasar dari tajdid. Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni pertama pemurnian; yang kedua peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya. Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah.
Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Tajdid dengan dua aspek saling terkait itu melekat dengan nama Majelis Tarjih dan Tajdid dalam Muhammadiyah sejak Muktamar Malang tahun 2005 dengan agenda dan rencana programnya yang bersifat pemurnian atau purifikasi dan pengembangan atau dinamisasi. Pada periode sebelumnya Majelis ini bahkan bernama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki rencana strategis untuk: Menghidupkan tarjih, tajdid, dan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang kritis-dinamis dalam kehidupan masyarakat dan proaktif dalam menjalankan problem dan tantangan perkembangan sosial budaya dan kehidupan pada umumnya sehingga Islam selalu menjadi sumber pemikiran, moral, dan praksis sosial di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sangat kompleks.
Berdasarkan garis besar program, Majelis mempunyai tugas pokok, yaitu (1) Mengembangkan dan menyegarkan pemahaman dan pengalaman ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat yang multikultural dan kompleks; (2) Mensistematisasi metodologi pemikiran dan pengalaman Islam sebagai prinsip gerakan tajdid dalam gerakan Muhammadiyah; (3) Mengoptimalkan peran kelembagaan bidang tajdid, tarjih dan pemikiran Islam untuk selalu proaktif dalam menjawab masalah riil masyarakat yang sedang berkembang; (4) Mensosialisasikan produk-produk tajdid, tarjih dan pemikiran keislaman Muhammadiyah ke seluruh lapisan masyarakat; (5) Membentuk dan mengembangkan pusat penelitian, kajian, dan informasi bidang tajdid pemikiran Islam yang terpadu dengan bidang lain (PP Muhammadiyah, 2010).
Karenanya penting memahami kembali secara mendalam dan luas tentang tajdid secara utuh dan lengkap di tubuh Persyarikatan sehingga menampilkan Gerakan Tajdid Muhammadiyah yang menyeluruh tidak terbatas pada pemurnian. Inilah tajdid yang komprehensif dan menjadi bagian dari pandangan atau ideologi Islam berkemajuan. Karenanya seluruh anggota, lebih-lebih para kader dan pimpinan Muhammadiyah termasuk di lingkungan Majelis, Lembaga, Ortom, dan Amal Usaha meletakkan tajdid sebagai satu jiwa dengan dakwah dari gerakan Muhammadiyah. Jangan sampai anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah jumud, konservatif, dan alergi pembaruan karena tidak memahami hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid!.
Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2022