Perpustakaan Penyangga Peradaban
Oleh: Asman
Keberadaan perpustakaan sudah sewajarnya dikelolah dengan baik, menghadirkan suasana yang nyaman dan penuh ketenangan dalam setiap waktunya. Bayangkan jika perpustakaan kita dibuat seperti pasar pada umumnya yang banyak aktifitas berseleweran. Banyak suara ibu-ibu yang sedang menawar barang, dan juga penjul yang sedang menawarkan barang dagangannya.
Kalua kita memperhatikan pasar, walaupun sudah disiapkan tempat (los) untuk berjualan, masih ada yang lebih memilih berada di luar tempat yang sudah ditentukan. Kurangnya kedisiplinan menjadikan pasar-pasar kita selain menjadi tempat menjual, juga menjadi tempat kumuh yang tidak teratur. Dampaknya, tidak semua kalangan mau ke pasar dengan keadaan seperti itu.
Berbicara kenyamanan memang setiap orang punya cara untuk mendapatkannya. Misalnya budaya pada sekolompok masyarakat tertentu. Mengapa budaya yang begitu sudah lama ada masih saja melekat dan menjadi kebiasaan masyarakat secara turun temurun? Karena demikian ada kenyamanan yang membatin dalam diri manusianya dalam melaksanakan ritual kebudyaan tersebut.
Clifford Greetz mengatakan bahwa kebudayaan dilihat sebagai teks yang berjalan. Dimana dalam kehidupan sosial, seseorang tidak hanya melihat fenomena berdasarkan teks tertulis saja melainkan mampu melihat makna tersirat di dalamnya. Kebudayaan hadir menjadi manifestasi rasa sebagai penghomatan kepada leluhur yang diyakini memberikan sumbangsi besar terhadap peradaban manusia.
Beberapa bulan terakhir, saya mencoba menyisipkan waktu dalam seminggu untuk berkunjung ke perpustakaan modern yang berada di daerah Kota Kendari Sulawesi tenggara. Perpustakaan dengan bangunan ala Gedung putih Amerika Serikat berjumlah 7 lantai itu, memiliki konsep wisata edukasi. Dimana selain datang membaca juga sekaligus berwisata.
Tempatnya sangat nyaman, bersih, walaupun sesekali terlihat berantakan dan masih banyak pengunjung yang tidak mengikuti aturan yang sudah di sampaikan oleh pengelolah. Mungkin tidak hanya di Kendari saja. Berdasarkan data Sensus Perpustakan Nasional hingga agustus 2022 masih ada sekitar 102.935 atau 90,66% perpustakaan yang belum terakreditasi atau berstandar nasional. Data ini tentunya sangat riskan sekali. butuh perbaikan dan pengelolaan manajemen yang baik dalam pengelolaannya. Baik system, maupun pengelolaannya.
Pasar dan kebudayaan secara konsep memang tidak bisa di samakan, namun pasar dan kebudayaan berbicara tentang kenyamanan seseorang dalam menjalaninya. Bagaimana kita ingin mengharapkan seseorang mampu melakukan sesuatu, tanpa adanya perintah dan dogma, jika keadaannya seperti itu.? Ini justru menyusahkan sebagaimana yang dikatakan oleh M Alfan Alfian bahwa mengoleksi dan memelihara sesuatu itu tidaklah mudah, tidak semua kalangan punya keterampilan menjaga sesuatu dengan konsisten jika keadaan menjadi tidak bersahabat.
Pengelolaan Yang Baik
Perpustakaan sejak dulu telah menjadi symbol kemajuan peradaban manusia. Kemajuan peradaban Islam saat itu, karena di topang dengan perpustakaan terbesar di Cordoba, Spanyol milik umat Islam. Orang-orang Eropa menjadi tercerahkan, bahkan dari penjuru dunia datang ke Cordoba untuk mempelajari banyak ilmu pengetahuan dan sampai menerjemahkan ke Bahasa masing-masing agar mudah dipelajari oleh generasi yang lain.
Perpustakaan milik umat Islam di Cordoba, bukan hanya sekadar tempat banyak buku-buku karya para intelektual muslim yang dipajang pada setiap lemari, namun lebih dari itu keberadaan perpustakaan umat Islam di Cordoba menunjukkan eksistensi bahwa perpustakaan mampu menjadi penyangga peradaban umat Islam saat itu.
Saya sedang menghabiskan salah satu judul buku yang ditulis oleh Muhammad Takdir seorang penulis yang menulis buku berjudul “seni mengelolah konflik ala Rasulullah”. Mengelolah konflik penting dilakukan agar tidak selamanya terjebak pada konflik yang ada. Sehingga mengelolah konflik menjadi lompatan-lompatan positif dalam hidup merupakan salah satu cara untuk bisa menjadi manusia yang hebat.
Mengelolah konflik menjadi sebuah kekuatan positif adalah sebuah keharusan, mengingat mengkonflik yang terus terjadi justru akan menghambat kemajuan seseorang dan orang banyak. Begitupun pada perpustakaan kita. Untuk meningkatkat kualitas perpustakaan kita, maka dibutuhkan manajemen yang sangat baik dan tepat. Mengingat keberadaan perpustakaan sebagai penyangga peradaban.
Namun siapa yang peduli dengan peradaban.? Siapa yang peduli dengan keberadaan perpustakaan.? Sekarang kita bisa mendapatkan pengajaran melalui internet dan sebagainya. Jadi untuk apa peduli.? Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat kita saat ini. Kita sangat sadar, gempuran globalisasi, budaya luar menjadikan masyarakat kita tidak peduli. Masyarakat biasa saja tidak peduli, apalagi mereka yang punya gaji, makan dari pekerjaan itu.
Perpustakaan bukanlah sekadar program kerja yang diwujudkan karena sudah mendapatkan persetujuan dari pemegang stemple. Lebih dari itu perpustakaan sebagaimana dituliskan oleh Nurlidiawati bahwa Indonesia sejak zaman kerajaan sampai pada era reformasi telah membangun peradabannya dengan meningkatkan kualitas perpustakaannya.
Keberadaan perpustakaan sama persis pentingnya lampu pelita di zaman dahulu. Ingatan saya pada masa kecil dahulu membawa saya kepada kesimpulan bahwa perpustakaan sama pentingnya dengan lampu pelita. Listrik yang belum masuk sampai ke pelosok Desa harus digantikan dengan lampu pelita yang terbuat dari kaleng susu maupun mangkuk sabun.
Untuk mempersiapkan lampu pelita yang baik dan tahan lama, maka dibutuhkan ketelitian dalam menggunakan bahan agar bisa bertahan lama. Setidaknya jika memilih kaleng, pilihlah kaleng yang tahan panas, sumbuhnya yang tidak pendek, agar tidak mudah terbakar habis. Begitupun dalam pengelolaan perpustakaan, memilih pengelolaah yang kompeten, paham tentang perpustakaan, dan punya kelebihan menjadi leader dalam membangun komunikasi.
Asman, Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan DPD IMM Sultra, Kepala Pusat Studi Pendidikan Islam dan Sosial (PUSPENDIS)