Shalat untuk Menjemput Rahmat (16)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi
Di dalam kenyataan masih ada sebagian muslim yang belum melaksanakan shalat berjamaah sebagai bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari. Bahkan, ada keluarga yang shalat sendiri-sendiri di rumah dan mereka melakukannya di kamarnya masing-masing.
Ada yang tinggal di dekat musala atau masjid, tetapi memilih shalat di rumah, padahal tidak ada uzur syar’i. Di antara mereka ada yang beralasan mengamalkan hadis yang berisi penjelasan bahwa perempuan lebih utama shalat di rumah.
Sementara itu, ada pula yang sudah melaksanakan shalat berjamaah, baik di rumah, di musala, maupun di masjid, tetapi dalam hal gerakan dan/atau bacaannya kiranya perlu dikaji ulang agar sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam hal gerakan misalnya, masih ada makmum yang melakukannya pada saat yang bersamaam dengan imam, padahal yang seharusnya tidak demikian. Dalam hal membaca doa iktidal, ada makmum yang membaca Samiʻallahu liman ḥamidah, padahal seharusnya cukuplah makmum membaca doa iktidal
Rabbanā wa lakal-ḥamd atau rabbanā lakal ḥamd
atau doa iktidal yang lain sebagaimana diuraikan pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (9).
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (16) ini insya-Allah diuraikan perintah shalat berjamaah.
Perintah Shalat Berjamaah
Berikut ini dikemukakan Firman Allah Subhānahu wa Taʻāla dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Firman Allah Subhānahu wa Taʻāla di dalam al-Qurʻan Surat al-Baqarah (2): 43,
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ
“Dan dirikanlah shalat, bayarkanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.”
Ulama sependapat bahwa makna rukuklah bersama orang-orang rukuk di dalam ayat tersebut adalah perintah shalat berjamaah.
Firman Allah Subhānahu wa Taʻāla di dalam al-Qurʻan Surat an-Nisa (4): 102,
وَاِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلٰوةَ فَلْتَقُمْ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوْٓا اَسْلِحَتَهُمْ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) besertamu.”
Asbabunnuzul ayat tersebut di dalam Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci Al-Qurʻan (hlm. 185) terjemahan M. Abdul Mujieb AS dan Al-Qurʻanulkarim Miracle the Reference (hlm. 188) oleh Tim Penyusun Syaawil al-Qurʻan) dijelaskan sebagai berikut.
“Diriwayatkan oleh Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaki dan Ibnu Iyasy Az-Zarqi, dia berkata bahwasanya suatu saat di sebuah peperangan di Asfan kaum muslimin sedang mendirikan shalat źuhur bersama Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu pasukan musyrik yang dipimpin oleh Khalid bin Walid hendak menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukannya yang berada di hadapan mereka.
Sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa waktu yang terbaik untuk menyerang kaum muslimin adalah ketika mereka melaksanakan shalat asar yang sebentar lagi akan tiba karena mereka berpendapat bahwa kaum muslimin mencintai shalat asar melebihi cinta mereka terhadap nenek moyangnya. Dalam hal ini, tidak lama kemudian, Jibril turun memberitahukan dan mengajarkan pelaksanaan ayat ini yang intinya cara mendirikan shalat ketika dalam peperangan. Imam at-Tirmizi meriwayatkan hal yang sama melalui jalan Abū Hurairaḥ, begitu juga dengan Ibnu Jarir dan Jabir bin Abdullah dan Ibnu Abbas.”
Di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. 1398-1399) dijelaskan bahwa ayat tersebut berisi perintah kepada Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar shalat berjamaah dengan para sahabatnya ketika berperang juga. Hamka menjelaskannya pula bahwa shalat agar tetap dikerjakan dengan berjamaah, yang berarti dengan imam, sebagaimana berperang pun dengan komando.
Perintah shalat berjamaah tersebut tentu berlaku tidak hanya kepada Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, tetapi juga kepada seluruh muslim. Hal lain yang perlu kita pahami pula adalah bahwa di dalam situasi perang pun, muslim diperintah agar shalat berjamaah, apalagi dalam siatuasi aman.
Sementara itu, dari hadis-hadis berikut ini dapat kita ketahui perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat berjamaah.
Dari Abū Hurairaḥ Raḍiyallāhu ‘Anhu, dia berkata, yang artinya,
“Seorang laki-laki buta telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia brkata, Wahai, Rasūlullah, saya tidak memiliki penuntun yang bisa menuntun saya ke masjid. Dia memohon kepada Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau memberinya keringanan agar bisa shalat di rumahnya, maka beliau pun memberinya keringan. Namun, ketika orang itu akan pergi, beliau memanggilnya dan bertanya, Apakah kamu mendengar panggilan shalat? Dia menjawab, Ya. Beliau bersabda, Kalau begitu, penuhilah (panggilan tersebut).” (HR Muslim)
Dari Abdullāh di dalam HR Abū Dawud
“Wahai Rasūlullah, sesungguhnya kota Madinah ini banyak hewan berbisa dan hewan
buasnya. Rasūlullah bersabda, (Bukankah) kamu mendengar panggilan, Ḥayya ‘alash-shalah, ḥayya ‘alal falaḥ? Oleh karena itu, penuhilah (panggilan tersebut).”
Dari Aū Hurairaḥ Raḍiyallāhu ‘Anhu bahwa Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya,
“Demi Ẓat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh aku telah berkeinginan memerintah orang-orang agar mencari kayu bakar. Lalu, kayu bakar dikumpulkan. Kemudian, aku memerintahkan shalat sehingga aẓan dikumandangkan. Kemudian, aku memerintah seseorang agar mengimami orang-orang. Kemudian, aku akan pergi menuju orang-orang (yang tidak ikut shalat berjamaah di masjid). Lalu, aku aku bakar rumah-rumah mereka.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Ibnu Masʻud Raḍiyallāhu‘Anhu, beliau berkata, yang artinya
“Barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah Subhānahu wa Taʻāla besok (pada hari kiamat) dalam keadaan muslim, hendaknya menjaga shalat lima waktu itu yang aẓan dikumandangkan untuknya karena sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunah-sunah petunjuk untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan shalat berjamaah di masjid termasuk sunah-sunah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang sengaja shalat di rumahnya, maka ini berarti kalian meninggalkan sunah Nabi kalian, dan seandainya kalian meninggalkan sunah Nabi kalian, berarti kalian telah tersesat. Sungguh saya menyaksikan kami dahulu, tidak seorang pun orang yang sengaja meninggalkan shalat berjamaah, kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Sungguh, sesorang dari kami, bahkan, pernah dibawa ke masjid sambil dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan di shaf.” (HR Muslim)
HR Ahmad Ibn Hanbal, Nasaʻī, dan Abū Dawud dari Abū Darda, Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya,
“Tiap-tiap ada tiga orang di suatu kampung yang tidak mau aźan dan tidak mau mengadakan shalat (jamaah), tentulah ketiganya dikuasai oleh syetan. Oleh karenanya, hendaklah kamu selalu berjamaah sebab serigala hanya memakan kambing yang terpencil (sendirian).”
Perintah shalat berjamaah dapat kita ketahui pula dari HR Bukhari dan Muslim, dan Abū Hurairaḥ, lafal riwayat Muslim, yang artinya sebagai berikut.
“Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Shalat yang terberat bagi orang-orang munafik adalah shalat ‘isya dan shalat fajar, padahal apabila mereka mengerti akan keutamaan kedua shalat tersebut, niscaya mereka mendatanginya meskipun dengan merangkak. Mau aku rasanya menyuruh orang qamat untuk shalat. Lalu, aku menyuruh seorang menjadi imam bersama-sama shalat dengan orang banyak. Kemudian, aku pergi bersama-sama dengan beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu bakar untuk mendatangi mereka yang tidak ikut shalat dan membakar rumah-rumah mereka.”
Dari hadis lain dapat ketahui pula bahwa Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah seseorang yang sudah shalat sendirian di rumah agar ikut shalat berjamaah sebagaimana dijelaskan di dalam HR Abbdurrazaq, yang artinya sebagai berikut.
“Jika shalat didirikan, shalatlah kamu sekalipun kau telah shalat di perjalanan.”
Sababul wurud hadis tersebut dijelaskan di dalam buku Asbabul Wujud terjemahan Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim (hlm. 102-103) adalah sebagai berikut.
Dikisahkan di dalam Al Kabir dari Mahjan bin Al Adraʻ bahwa ia telah berkata, Setelah aku selesai melakukan shalat ẓuhur atau asar di rumahku, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku pun duduk di sisinya. Tidak lama kemudian, terdengarlah iqamat-shalat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat, sedangkan aku tidak. Setelah selesai, beliau bertanya, Apakah kamu muslim? Jawabku, Ya. Ujar beliau, Mengapa tidak shalat? Kataku, Sudah. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Jika shalat didirikan, shalatlah kamu sekalipun kau telah shalat di perjalanan.
Berdasarkan firman Allah Subhānahu wa Taʻāla dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, jelaslah bagi kita bahwa shalat berjamaah sangat ditekankan. Oleh karena itu, Imam Hanbali menghukuminya wajib. Namun, jika seseorang meninggalkannya dan dia mengerjakan shalat sendirian, dia berdosa, sedangkan shalatnya tetap sah.
Mahzab Hanafi dan sebagian besar ulama Syafi’i berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah adalah tidak wajib. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah adalah farḍu kifayah sebagaimana dijelaskan di dalam Tanya Jawab Agama Jilid 1 (hlm. 70) yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Namun, umumnya, ulama menghukuminya sunnah muakkadah, yakni sunah yang sangat dianjurkan/ditekankan.
Allahu aʻlam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota
Nif’an Nazudi, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo