Bermuhammadiyah: Berkarakter ‘Ibad ar-Rahman
Oleh: Syahbana Daulay
Setiap warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani, berupa tauhid kepada Allah swt yang bernar, ikhlas, dan penuh ketundukan sehingga terpancar sebagai ‘ibad ar-Rahman yang menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim, muttaqin, dan muhsin yang paripurna.
Pedoman di atas terdapat pada Bagian Ketiga, Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah, pada Sub Bagian A. Kehidupan Pribadi, 1. Dalam Aqidah. Paragrap di atas menerangkan bagaimana warga Muhammadiyah harus memiliki pondasi keimanan berupa tauhid yang kokoh kepada Allah, sehingga terpancar dari setiap pribadi karakter ‘ibad ar-Rahman yang mencerminkan perilaku bukan hanya sebagai seorang mukmin, tapi bahkan seorang muhsin.
Menarik untuk melirik bagaimana hakikat karakter ‘ibad ar-Rahman yang tersurat dalam al-Quran surat al-Furqan/25: 63-77. Termaktub ada delapan karakter ‘ibad ar-Rahman yang disebutkan dalam surat al-Furqan tersebut.
Pertama, mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa, mereka respon dengan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS. Al-Furqan: 63)
Pada karakter pertama ini diterangkan sifat ibad ar-Rahman yang tenang dan berwibawa, tidak sombong. Tawadhu’ dan santun kepada siapa pun. Apabila orang-orang yang kurang ilmunya menampakkan sikap dan melontarkan ucapan kejahilan, tidak lantas membuat mereka emosi, tidak membalas kejahilan dengan kejahilan. Mereka memaafkan dan berlaku ihsan, dan tidak berdebat dalam kejahilan (tarkul jawab ‘alal jahil jawabun). Tentu karakter seperti ini membuat mereka semakin terpuji, bermartabat dan disukai.
Kesombongan dan keangkuhan hanya melahirkan kebencian dan perpecahan, membuat orang menjauh. Warga Muhammadiyah harus menampilkan dakwah berciri hikmah dan mau’izhah hasanah.
Kedua, mereka yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (QS. Al-Furqan: 64)
Ibad ar-Rahman istikomah mengerjakan shalat malam, bangun malam dan menjauh dari ranjang yang empuk, tatajaafa junubuhum ‘anil madhaji’ (QS. As-Sajdah : 16). untuk mendekat kepada yang Memiliki Kemualiaan dan Keagungan, Allah swt. Pelaku shalat malam (tahajjud) disiapkan tempat terpuji dari Allah swt (maqam mahmud).
Maka seyogyanya warga Muhammadiyah berkarakter mutahajjidun (suka shalat malam) untuk mampu meraih kedudukan mulia tadi, baik di dunia sampai akhirat.
Ketiga, mereka yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan kami dari azab jahannam, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. (QS. Al-Furqan : 65-66)
Ibad ar-Rahman adalah mereka yang berdo’a kepada Allah supaya dijauhkan dari siksa neraka. Bagaimanapun neraka jahannam adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman (sa’at mustaqarra wa muqama). Untuk itu perlu kehati-hatian, menjaga diri dan keluarga dari perilaku maksiat, tidak dikendalikan nafsu; tidak terpesona dengan fatamorgana dunia (zahrat al-hayah ad-dunya); dan segala hal yang memikat hati.
Keempat, dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir. (QS. Al-Furqan : 67)
Ibad ar-Rahman adalah orang yang gemar berinfak di jalan Allah, namun tidak boros dan tidak pula bakhil. Boros dalam arti tidak berlebihan, tidak berlebih dalam kebutuhan sekunder, apalagi tersier. Berlebihan berarti tabzir yang dilarang agama.
Sebaliknya, tidak pula bersikap bakhil baik untuk diri pribadi, keluarga, maupun orang lain. Allah dan Rasul-Nya tidak menyukai sifat bakhil, apalagi untuk keperluan di jalan Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ
“Jauhilah sifat pelit, karena sesungguhnya yang membinasakan orang sebelum kalian adalah sifat pelit.” (HR. Abu Dawud)
Oleh karenanya, dalam berinfak diperlukan sikap pertengahan (qawama), balance dalam membelanjakan harta, yakni tidak berlebih dan tidak pula bakhil.
Kelima, mereka yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. (QS. Al-Furqan : 68).
Ibad ar-Rahman adalah orang-orang yang hanya menyembah kepada Allah saja (bertauhid), mengikhlaskan agama dan ketaatan untuk-Nya. Menjauhi segala bentuk kesyirikan. Menghadapkan segenap jiwa dan raga hanya kepada Allah serta memalingkan ketergantungan hati dari segala sesuatu selain kepada-Nya (inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara as-samawati wa al-‘ardh).
Rasulullah saw pernah ditanya tentang dosa yang paling besar. Beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia lah yang menciptakanmu”. Orang itu bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, “Engkau membunuh anakmu karena khawatir dia ikut makan bersamamu” Orang itu bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Selanjutnya, ibad ar-Rahman adalah mereka yang membenci dan tidak melakukan pembunuhan. Membunuh termasuk dosa besar. Allah menyukai sifat sayang menyayangi dan saling melindungi. Barang siapa membunuh satu orang tanpa sebab, maka seolah-olah ia telah membunuh seluruh manusia. Sebaliknya siapa yang menjaga jiwa satu orang dengan penuh kasih sayang, maka seolah-olah ia telah menghidupkan manusia seluruhnya. (QS. Al Maidah: 32).
Kemudian karakter yang ketiga dalam ayat ini adalah menghindari perbuatan zina. Jangankan berzina, mendekatinya dengan melakukan perbuatan yang menyeret kepada zina pun dilarang. (QS. Al-Isra’: 32). Sebagai antisipasi, agama menuntun umatnya agar merendahkan pandangan (ghadhdh al-bashar), melarang berdua-duaan dengan yang bukan muhrim (khalwat), bahkan bercampur antara beberapa laki-laki dan perempuan (ikhtilath) yang sekarang banyak kita lihat di berbagai tempat.
Keenam, mereka yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
Persaksian palsu termasuk kategori dosa besar. Dengannya hak-hak menjadi hilang, saling memakan harta manusia dengan cara yang batil, bahkan berakibat saling menumpahkan darah. Bersaksi palsu berarti berbohong dan melakukan kedzaliman kepada orang lain.
Pada poin yang keenam ini, termasuk karakter ibad ar-Rahman adalah menjaga kemuliaan dirinya dari hal yang tidak bermanfaat. Menghindari pembicaraan sia-sia yang menjauhkan dari mengingat Allah. Pembicaraan yang berisi senda gurau, ketawa, dan menggunjing orang lain. Dalam hadits Rasulullah disebutkan:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ. )رَوَاهُ التِّرْمِذِي(
“Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
Ketujuh, mereka yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (QS. Al-Furqan: 73)
Karakter ke tujuh ini menggambarkan bahwa Ibad ar-Rahman adalah orang-orang yang tidak berpaling dari peringatan ayat-ayat Allah. Tidak menutup telinga, mata, dan hati saat mendengarnya. tapi menyimak, percaya, dan mengamalkannya. “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong”. (QS. As-Sajdah : 15).
Mereka menerima ayat-ayat itu dengan rasa butuh. Mereka tunduk dan pasrah, mendengar dengan telinga dan hati, bahkan bertambah iman mereka. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal : 2)
Kedelapan, mereka yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang yang bertakwa“. (QS. Al-Furqan : 74-77)
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim menjelaskan, “Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah supaya mengeluarkan dari tulang sulbi dan anak keturunan mereka orang-orang yang taat dan menyembah-Nya saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun.”
Karakter ke delapan ini menunjukkan ketinggian cita-cita dan kedudukan ibad ar-Rahman. Mereka mendambakan ketentraman hati dengan ketaatan dan kepatuhan keturunan mereka kepada Allah.
Mereka juga berdo’a: “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. Menjadi “imam” dalam arti menjadi pemimpin yang patut diteladani dalam kebaikan.
Ibad ar-Rahman senantiasa memohon supaya bisa meraih derajat yang tinggi, derajat para shiddiqiin dan hamba-hamba yang saleh. Menjadi teladan bagi orang-orang yang bertakwa, baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Warga Muhammadiyah yang mampu berkarakter sebagaimana digambarkan dalam surat al-Furqan di atas akan mendapatkan martabat yang tinggi (furqan) di syurga. Mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Semua itu karena kesabaran mereka dalam bergerak berdakwah, beramar makruf nahi munkar dengan manampilkan Islam yang berkemajuan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab