Islamofobia dan Tragedi Srebrenitsa 1995
Oleh: Jelang Ramadhan
Pasca serangan September 11 (9/11) di Amerika Serikat berimbas buruk kepada umat Islam, tidak hanya di Amerika tetapi juga seluruh dunia seiring dengan agresi mikro dan meningkatnya tekanan dari berbagai dimensi mencakup pelanggaran hak, rasisme, sentimen anti-Muslim, bahkan generalisasi serta atribusi teroris, seakan tiap Muslim bertanggung-jawab atas fenomena yang terjadi.
Sentimen dan sikap buruk, penghinaan, permusuhan dan marjinalisasi terhadap Muslim tidak hanya identik akibat kejadian 9/11, namun telah mengakar dalam sejarah manusia dan peradaban. Fenomena kebencian yang mengarah kepada Muslim ataupun Islam diidentifikasi sebagai Islamofobia yang muncul dan dipantik ke permukaan untuk melegitimasi dengan mudah rasisme anti-Muslim di masyarakat, utamanya di Barat. Menurut Arthur Buehler, Islamofobia adalah sisi gelap yang lahir dari Dunia Barat semenjak bersinggungannya dua peradaban di abad Pertengahan.
Apabila merujuk kepada definisi oleh Erik Bleich, Islamofobia sebagai sikap atau emosi negatif yang mendiskriminasi serta ditujukan kepada Islam atau Muslim, maka komentar buruk berisi kebencian yang dilakukan hanya satu waktu merupakan tingkat terendah manifestasinya sementara pada tingkat tertingginya adalah ekspresi teguh pada permusuhan terhadap Islam atau Muslim.
Jelasnya, kejadian yang terjadi di Quebec tahun 2017 atau di Christchurch tahun 2019 menunjukkan manifestasi Islamofobia pada tingkat tertinggi yang dilakukan oleh perseorangan, sedangkan apa yang terjadi secara terorganisir oleh aktor negara seperti di Rohingya dan Xinjiang sejak tahun 2017, begitu pula Srebrenitsa di tahun 1995 yaitu pembantaian umat Muslim. Kejadian itu mengarah kepada genosida yang memperlihatkan manifestasi Islamofobia serupa secara lebih masif dan terstruktur. Ekspresi kebencian diwujudkan dalam bentuk aksi pembunuhan dan genosida yang ditunjukkan oleh sebagian individu atau organisasi, yang diarahkan kepada orang-orang dengan identitas Muslim yang dilatari kebencian rasial serta permusuhan tak berdasar.
Perang Saudara di Bosnia-Herzegovina
Sejarah telah mencatat kebencian dan permusuhan tak berdasar kepada etnis tertentu seperti Muslim Bosnia mencapai puncaknya dalam bentuk pembantaian. Kejadian antara 11 hingga 22 Juli 1995 bukan disebabkan kebencian sesaat yang mengakibatkan hilangnya ribuan nyawa manusia, namun telah dipupuk puluhan bahkan ratusan tahun ke belakang. Hal ini bisa dikilas balik ke sejarah masyarakat Serbia yang dulunya berada di bawah kuasa Negara Usmaniyah (Daulah Usmaniyah) dalam tempo yang cukup lama sejak abad ke 15, sehingga muncul sentimen negatif terhadap etnis Turki yang diatribusikan dengan Muslim atau Islam.
Sentimen tersebut dipelihara untuk tujuan politik kekuasaan, walau pada saat itu masyarakat Negara Usmaniyah relatif damai. Namun, perbedaan identitas keagamaan menjadi tajam dan meruncing setelah menguatnya nasionalisme berlatar etnis dan pecahnya wilayah kekuasaan Usmaniyah di Eropa Timur atau Balkan pada abad ke 19. Negara Usmaniyah semakin terpuruk sejak koalisinya kalah di Perang Dunia Pertama yang menyebabkan muncul negara-negara baru, salah satunya Yugoslavia di tahun 1918. Setelah kematian Josip Broz Tito pada 1980 menyebabkan keretakan pada bangsa Yugoslavia, hingga keruntuhan Uni Soviet membuat perpecahan semakin nyata.
Muslim Bosnia yang telah lama mengakar di Eropa Timur mengikrarkan kemerdekaan negara Bosnia Herzegovina pada 1992 dan dianggap sebagai penghianat atas gagasan jayanya bangsa Slav dan penghalang bersatunya etnis Serbia, sehingga sentimen kebencian menyeruak serta menyasar identitas keagamaan. Perang saudara berlangsung dan menumpahkan darah serta permusuhan terhadap etnis dan agama tertentu menjadi ‘santapan’ para politisi dan jenderal untuk melanggengkan kuasanya untuk mencapai mimpi Serbia Raya. Tak ayal kebencian dan permusuhan yang selama ini tersimpan, kemudian muncul ke permukaan dan dihembuskan oleh ide-ide politik tanpa mengindahkan peri kemanusiaan. Pembantaian Muslim Bosnia terjadi karena atribusi etnis Turki dengan agama Islam sehingga kebenciannya bercampur baur tak berdasar memunculkan permusuhan dan antagonisasi.
Muslim Bosnia mengalami proses antagonisasi di tanah kelahiran mereka sendiri dan menjadi sebuah manifesto Islamofobia di tangan aktor militer. Lingkungan yang berlandaskan kebencian dan permusuhan telah merusak mental serta menciptakan monster yang dikenal dengan nama, Radovan Karadzic dan Ratko Mladic. Mereka dan tentaranya bertanggung jawab atas kematian ribuan Muslim Bosnia. Cukup aneh karena buron hampir 13 tahun dan baru tertangkap di tahun 2008 di Serbia, negara yang tidak terlalu luas dan padat.
Radovan Karadzic dan Ratko Mladic adalah simbol kejahatan kemanusiaan yang harus ditangani oleh hukum yang adil agar menjadi pelajaran bagi umat manusia untuk tidak terulang kejadian serupa di kemudian hari. Tidak hanya itu, tentara Belanda yang termasuk dalam pasukan penjaga kedamaian PBB turut bersalah karena ketidakmampuan mereka melaksanakan tugas melindungi pengungsi hingga menyebabkan total 8372 orang meninggal dan hilang dalam tempo satu pekan sejak 11 Juli 1995 di desa kecil bernama Srebrenitsa.
Mengenang 26 tahun Srebrenitsa
Keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991 menimbulkan ancaman konflik antar masyarakat di berbagai negara termasuk kepada persatuan bangsa Yugoslavia yang pada waktu itu terdiri dari 6 republik sosial. Bosnia Herzegovina memerdekakan diri, setelah sebelumnya didahului oleh Kroasia, yang lalu menyulut perang Bosnia pada tahun 1992. Perang Saudara yang tak terelakkan menuntut PBB untuk mengambil tindakan agar hukum internasional dan hak asasi manusia tetap terjaga dengan menurunkan pasukan penjaga perdamaian, walaupun aksi mereka terbatas oleh mandat kemanusiaan.
Seiring berlarutnya Perang Saudara di tahun 1995, Pasukan Pelindung PBB (UNPROFOR) dengan 20.000 orang tentaranya tidak berdaya di bawah intimidasi pasukan Bosnia beretnis Serbia yang memiliki strategi sederhana, yaitu mengakhiri perang sebelum musim dingin dan menerapkan strategi “pembersihan etnis” yang menyasar Muslim.
Segala upaya PBB tidak mampu menghentikan perang, hingga akhirnya NATO melakukan intervensi serangan udara yang menentukan guna memukul mundur pasukan agresor Bosnia Serbia. Itupun terdorong oleh kengerian akibat pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Bosnia beretnis Serbia di bawah komando Ratko Mladic pada 11-22 Juli 1995 di Srebrenitsa, dekat dengan perbatasan timur Serbia dimana 60.000 orang Muslim Bosnia berada dalam wilayah perlindungan PBB. Meski UNPROFOR ada untuk memberikan keamanan pada warga sipil, serangan pasukan Bosnia Serbia pada 11 Juli 1995 tidak menemukan hambatan kecil dari tentara PBB. Dalam 10 hari, puluhan ribu orang kembali lari dan membanjiri tempat terdekat seperti Tuzla guna menghindari serangan tersebut.
Namun naas, 8372 orang tertinggal dan terbunuh oleh pembantaian Srebrenitsa, yang mana mereka semua adalah Muslim Bosnia. Dalam laporan Brooking Institute oleh Ivo Daalder, pembantaian sebesar dan secepat ini belum pernah ditemukan dalam sejarah Eropa, utamanya setelah Perang Dunia Kedua. Srebrenitsa akan terus menjadi catatan kelam di tengah kedigdayaan negara-negara Eropa untuk tetap belajar dan mengambil hikmah dalam penegakan hak asasi manusia di benua sendiri.
Apalagi dalam sebuah laporan di tahun 2002, pemerintah Belanda dan militernya yang terlibat dalam pasukan penjaga perdamaian turut bertanggung jawab atas ratusan kematian sebagai akibat pembiaran yang mereka lakukan di Srebrenitsa. Belanda dan militernya sejak zaman kolonialisme hingga era modern rupanya memang sering terlibat dalam berbagai upaya genosida dan pelanggaran hak asasi manusia, tidak hanya di wilayah Nusantara, tetapi juga di Eropa sebagaimana yang terjadi di Bosnia Herzegovina pada tahun 1995.
Srebrenitsa akan terus dikenang dalam catatan buruk sejarah penegakan hak asasi manusia oleh bangsa Eropa yang harus mereka kenang sepanjang masa hingga akhir zaman. Umat Islam dan Muslim telah banyak menjadi korban tindakan rasisme, sentimen negatif, sikap permusuhan, tuduhan dan ketakutan tak berdasar yang termanifestasi dalam Islamofobia di berbagai tingkat. Semoga umat manusia dapat mengambil pelajaran penting tentang penghargaan terhadap nyawa makhluk agar kejadian serupa Srebrenitsa tak akan pernah terulang lagi dimanapun. Kenanglah, Srebrenitsa.
Jelang Ramadhan, Peneliti ANKASAM dan Kandidat Doktor Bursa Uludag University – Turki
Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2021