Paradoks Tradisi
Oleh: Muhammad Qorib
Lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Adagium ini sudah demikian lekat di telinga kita. Meskipun lawas, namun maknanya kontekstual dan tak tergerus waktu.
Sebuah Paradoks
Tuhan telah mencipta bahwa setiap tradisi senantiasa berbeda. Keberadaannya membawa ciri khas masing-masing. Inilah keunikan alamiah dengan segala kelebihan dan kekurangannnya.
Eksistensi sebuah tradisi bersifat saling melengkapi, saling mengisi, bukan unjuk kekuatan kemudian saling menafikan. Dalam terminologi para ulama, ini disebut interkoneksi dan kolaborasi.
Jika kabut penglihatan kita dibersihkan, maka terlihat jelas deretan tradisi yang bersifat paradoksal. Hal positif dan hal negatif bersenyawa dalam raga yang sama. Satu sisi menampilkan kebaikan, disisi lain keburukan dipertontonkan.
Dalam tradisi tertentu terdapat pemuja kenikmatan. Humanisme dan hedonisme seperti diberhalakan. Dunia menjadi taman surgawi yang mesti dinikmati. Hidup dapat dilakukan secara bebas tanpa basa-basi. Kehidupan akhirat dianggap halusinasi.
Banyak keanehan terjadi. Satu ibu dengan lima anak dari ayah yang berbeda adalah fakta. Termasuk pernikahan seseorang dengan boneka dan hewan kesayangannya. Hal tersebut tak usah dipertanyakan. Apapun bisa dilakukan sejauh taat kesepakatan dan tidak mengusik ketenangan.
Sedihnya, agama dirasa sebagai candu yang mesti dienyahkan. Simbol dan warna agama adalah cerita masa lalu. Jika muncul kini dan ke depan maka segera dikucilkan. Ia tak boleh mempengaruhi apalagi mendominasi ruang publik.
Tapi pada tradisi yang sama, kebersihan lingkungan sangat terjaga. Orang bisa minum air dari keran tanpa dimasak terlebih dahulu. Aliran sungai berfungsi sebagai sumber penghidupan, juga sebagai alat transportasi dan sarana rekreasi.
Sulit menemukan tumpukan sampah di berbagai tempat. Kejujuran dijunjung tinggi. Uang yang hilang di jalan dapat kembali kepada pemiliknya. Korupsi dan kolusi tak pernah mendapat panggung. Jika pun ada, jumlahnya tak membuat mulut menganga.
Kendaraan berjalan rapi. Lampu lalu lintas dipatuhi. Bapak dan ibu polisi tidak terlalu menguras energi. Jalanan jarang yang berlubang. Pajak dikembalikan untuk pembangunan dan kemakmuran.
Banyak pegawai penjara yang di-PHK, karena kekurangan nara pidana. Kriminalitas menjadi aib sosial. Pencurian dan perampokan dipandang sebagai kekejian.
Jangankan kepada manusia, menelantarkan anjing dan kucing akan berkonsekuensi petaka. Hukum ditegakkan. Implementasinya tidak tebang pilih. Tak tumpul ke atas tak tajam ke bawah. Kaya dan miskin didudukkan pada derajat yang sama.
Dalam tradisi lain berbeda pula karakteristiknya. Identitas agama menjadi penentu apa saja. Kelahiran, perkawinan dan kematian, didasari simbol agama.
Rumah ibadah tersebar dimana-mana. Jumlahnya ribuan sampai jutaan. Tentu saja jumlah itu mengagetkan Raja Salman. Seruan agama ditampilkan setiap waktu. Dengan menggunakan cara sederhana, sampai media canggih yang luar biasa.
Diatas kartu identitas, kolom agama tak dapat diusik. Menghapusnya akan berhadapan dengan gelombang massa. Demikian dominannya peran agama, hingga lahir institusi yang mengurusnya.
Kemajuan tanpa semangat agama adalah capaian yang sia-sia. Demikian rumusan dari para pendiri bangsa. Rumusan itu dapat dilihat pada falsafah bangsa dan tertuang rapi dalam bermacam-macam regulasi.
Tradisi ini meniscayakan sebuah bangsa yang makmur, sejahtera lahir batin, di bawah naungan Tuhan Yang Maha Pengampun. Kelihatan jelas, tradisi ini dibangun dengan semangat spiritualitas yang kental.
Tradisi ini juga menyimpan ironi. Kejahatan individual dan komunal tersusun rapi. Sumpah jabatan dibawah kitab suci. Banyak yang loyal tak sedikit yang membual.
Korupsi adalah aktifitas yang dimafhumi. Semakin dibasmi semakin menjadi. Korupsi terjadi tak hanya pada urusan dunia, tapi pada persoalan mark up pencetakan Kitab Suci.
Kebersihan tak terimplementasi. Sampah bertaburan di sana-sini. Pemandangan itu dianggap wajar. Menerabas lampu lalu lintas adalah hal biasa. Tak mengapa pelakunya menggunakan identitas agama.
Peraturan dan hukum bersifat situasional. Implementasinya juga kontekstual. Hukum sangat lentur dan daya tampungnya sangat longgar. Alat ini dapat dibawa kemana saja sesuai kekuatan negosiasi dan jampi-jampi pemesannya.
Kejujuran mahal harganya. Ia seperti barang mewah yang sulit dipunyai. Harga diri mudah dibeli. Dipasar lobi ditawarkan. Kebaikan tertera dalam untaian lisan. Tapi ditinggalkan dalam perbuatan.
Dalam tradisi ini yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Ibadah berbiaya mahal jadi rebutan. Tak jarang dipamerkan. Tawa di tengah ribuan tangis, harta dan tahta di tengah derita. Ada pula yang hari ini makan siapa dan proyek apa. Ada yang sedang berpikir mesti mengais rezeki darimana untuk susu dan berobat anaknya.
Jamaah penjara kian bertambah. Beragam kejahatan penyebabnya. Dari kejahatan ikan teri sampai ikan tuna. Dari yang sekuler sampai yang memakai jubah agama. Tingkat pendidikannya juga bermacam-macam. Mulai dari yang sangat awam sampai yang matang di sekolahan.
New narapidana menjadi selebritis gaya baru. Berbaju orange yg sangat mahal. Diberitakan di berbagai media. Bahkan melempar senyum dan melambaikan tangan di depan kamera.
Setan dan manusia dalam konteks ini sering bersaing dan menabur pengaruh. Anehnya, manusia sering sebagai pemenangnya. Karena selain sebagai penggoda manusia juga merangkap praktisi. Inilah yang menyebabkan setan melakukan evaluasi. Tetap sebagai penggoda atau memilih pensiun dini. Karena tugas dan pekerjaanya telah dicopy. Kepada Tuhan ia tak dapat memenuhi janji. Tak sedikit setan yang kini menjadi pengangguran.
Saling Mengisi
Timur dan barat kepunyaan Tuhan. Timur begitu juga barat memiliki keunggulan dan kelemahan. Saling belajar dan saling mengisi akan memberikan kekuatan. Hentikan sikap saling menafikan. Jangan saling mencerca. Sebaik-baik tradisi adalah bagaimana Tuhan diyakini dan kebaikan kemanusiaan terimplementasi. Interkoneksi dan kolaborasi adalah kata kuncinya.
Muhammad Qorib, Bendahara PWM Sumut dan Dekan FAI UMSU