Sejarah Tahun Hijriah

waktu

Ilustrasi Waktu

Sejarah Tahun Hijriah

Oleh: Donny Syofyan

Dari mana berasalnya Tahun Hijriah? Ia dimulai dari tahun 16 Hijriah. Waktu itu belum ada kalender Hijriah. Pada saat itu khalifah Umar bin Khattab harus menyelesaikan sengketa ada dua orang tentang sebuah kontrak. Dalam kontrak disebut bahwa utang dibayar bulan Sya`ban. Yang satu mengatakan ini dibayar Sya`ban tahun depan, sedangkan yang satu lagi menyebut ini seharusnya dibayar Sya`ban tahun lalu. Sengketa ini terjadi karena tidak adanya kalender. Umar lalu mengatakan bahwa kita perlu kalender, seperti yang dimiliki oleh masyarakat Persia dan Romawi. Ia sadar bahwa untuk masa-masa yang akan datang umat Islam perlu punya independensi dan realitas tersendiri yang tak bisa dihubungkan dengan peradaban lainnya.

Tapi itu adalah keniscayaan dari peradaban besar mana pun. Umat butuh kalender sendiri. Tiga puluh tahun kemudian, Abdul Malik bin Marwan mengatakan umat butuh mata uang sendiri. Kita tak bisa bekerja dan hidup dengan mata uang Romawi dan Persia. Sehingga Abdul Malik memulai membuat mata uang Umayyah. Intinya adalah umat Islam butuh peradaban mereka sendiri. Karenanya, Umar bin Khattab sadar umat Islam perlu kalender sendiri. Lalu Umar mengumpulkan sahabat dan bertanya, “Apa yang harus kita lakukan? Apa yang dilakukan suku Quraisy sebelum datangnya kalender Hijriah? Bagaimana mereka menandai tahun?”

Quraisy bukanlah sebuah komunitas global. Mereka hanyalah sebuah masyarakat persukuan yang kecil. Masyarakat Arab menandai tahun dengan sebuah peristiwa tertentu. Ketika ada kejadian besar, maka tahun itu mengikuti atau dinamai sesuai kejadian tersebut, misal tahun gajah (`âmul fîl) atau tahun perang Fijar (harbul fijâr). Kalau tak ada yang terjadi di tahun tertentu, maka disebut dua tahun sebelum harbul fijâr atau tiga tahun sebelum `âmul fîl. Begitulah kalender sebelum Islam.

Kini Islam sudah menjadi sebuah peradaban. Umat butuh kalander sendiri. Ketika Umar dan para sahabat berkumpul di mesjid Nabi di Madinah, mereka sepakat umat butuh kalender sendiri dan independen yang terlepas dari kalender lainnya. Lalu persoalan berikutnya, “Kapan kita mulai?” Berbagai usul muncul. Satu sahabat mengatakan dimulai dengan masa kelahiran Rasulullah. Sahabat lain berujar diawali dengan bermulanya dakwah Islam saat perintah Iqra turun. Kemudian Ali bin Abi Thalib berpendapat, “Kita seharusnya memulai dengan peristiwa hijrah karena inilah momen ketika hak dan batil dipisahkan. Inilah ketika `izzah umat dimanifestasikan.”

Umat menyahut, “Benar. Inilah masa kalender ini dimulai.” Hijrah memisahkan periode penindasan di Makkah dan kebangunan `izzah umat di Madinah. Sebuah pemisahan yang amat tegas. Di Makkah Muslim ditekan dan tak bisa go public, di Madinah kaum Muslimin menikmati kebebasan. Para sahabat akhirnya secara aklamasi sepakat dengan usulan Ali tersebut. Diskusi ini terjadi pada tahun ke-16 Hijriah dan awal kalender dimulai pada tahun ke-17 Hijriah. Artinya, tidak ada kalender selama 16 tahun seusai berlangsung peristiwa hijrah.

Satu keputusan sudah disepakati, yakni tahun dimulainya hijrah. Lalu bulan apa sebagai awal tahun Hijriah? Pada masyarakat Arab pra-Islam, tak ada sistem bulan awal dalam setahun. Yang terjadi gerakan 12 bulan secara terus menerus. Pada masa itu ada kebiasaan masyarakat Arab yang menukar-nukar bulan. Ketika mereka tak suka dengan Dzulhijjah pada suatu masa, sebagai contoh, mereka menggantinya dengan Shafar. Begitu juga pada bulan-bulan lainnya. Al Qur’an melarang kebiasaan ini. Setahun memang dua belas bulan tapi tak ada bulan pertama.

Ketika kalender disepakati, maka harus ada bulan pertama. Dalam diskusi tersebut, kandidat paling kuat sebagai bulan pertama adalah Ramadhan. Bahkan ada juga yang mengusulkan Rajab dan Rabiul Awal. Imam Malik bahkan berpendapat seharusnya bulan awal adalah Rabiul Awal. Bukan karena ini adalah bulan lahirnya Rasulullah tapi karena Rabiul Awal adalah bulannya peristiwa hijrah. Jadi miskonsepsi umum di kalangan Muslim bahwa hijrah terjadi di bulan Muharram. Ini adalah asumsi keliru. Buku-buku Ibn Hisyam, Ibn Ishaq atau Al-Waqili juga secara eksplisit memberikan testimoni bahwa hijrah berlangsung di bulan Rabiul Awal. Lagi-lagi pilihan tak jatuh kepada Rabiul Awal.

Lalu mengapa akhirnya Muharram ditetapkan sebagai awal tahun kalender hijriah? Umar berkata, usulan yang sama juga disampaikan Utsman yang akhirnya disetujui oleh semua sahabat, sebelum Muharram orang-orang Madinah menunaikan ibadah haji ke Mekah, yakni bulan Dzulhijjah. Dalam waktu dua minggu seusai haji mereka sudah pulang ke Madinah. Selang beberapa hari Muharram menjelang. Pasca haji seorang Muslim punya kesempatan untuk menjadi lebih baik, menghapus dosa dan memulai tahun dengan jiwa dan semangat baru. Sebab haji pada hakikatnya adalah kelahiran kembali (rebirth). Orang yang menunaikan ibadah haji adalah manusia baru yang terlahir kembali yang siap menghadapi tahun baru. Itulah kenapa Muharram (yang muncul setelah bulan haji) dipilih sebagai bulan awal kalender.

Al-Suhayli (1114 – 1185), salah seorang komentator terbaik sirah Ibn Hisyam, menyebut bahwa ia memiliki bukti dalam Al Qur’an bahwa keputusan Umar ini tepat, bahwa hijrah adalah awal dari kalender Islam. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 108,

لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ

(Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya). Latar ayat ini bahwa mesjid pertama yang dibangun setelah hijrah adalah mesjid Qubâ’. Lalu ada ketegangan antara mesjid Dhirar yang diinginkan kaum munafik dan mesjid Qubâ’. Allah lalu memilih mesjid Qubâ’ dan menegaskan bahwa mesjid yang harus digunakan oleh kaum Muslimin adalah mesjid yang pertama kali mereka bangun setelah hijrah. Pada ayat ini, Suhayli membangun argumentasi bahwa ungkapan مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ (sejak hari pertama) ini adalah sinyal diawalinya kalender hijrah.

Isu lain yang tak krusialnya berbicara peringatan Tahun Baru Hijriah adalah bagaimana hukum merayakan, menyampaikan ucapan selamat atau berdoa menyambut datangnya Tahun Baru Hijriah? Apakah ini sesuatu yang dianggap bid`ah atau diperbolehkan? Kalender Hijriah bukan dari sunnah. Jawabannya tergantung kepada bagaimana Anda mendefinisikan bid`ah. Sekelompok minoritas ulama yang selalu tiap tahun menganggap ini bid`ah; tak boleh menyebut ini hari pertama Muharram, tak boleh berdoa hari pertama bulan Muharram, tak boleh menyampaikan ucapan selama kepada sesama Muslim dalam rangka Muharram; jangan lakukan ini sebab bid`ah.

Kita hargai pendapat ini. Tapi tentu ada pendapat alternatif. Imam Suyuti (1445–1505) saat ditanya apakah kita harus menyampaikan ucapan selamat setiap awal tahun baru, seperti kita berdoa setiap awal tahun baru? Ia menjawab, “Memberikan ucapan selamat dan berdoa pada setiap awal tahun bukanlah sunnah dan juga bukan bid`ah, dan bukan bagian dari dîn atau ibadah. Ini adalah pendapat yang benar. Kenapa? Sebab ini tidak bisa menjadi sunnah sebab tak ada kalender hijriah di zaman Rasul, tapi ia juga bukan bid`ah. Sebab bid`ah adalah mengintrodusir sesuatu ritual yang kita harapkan menjadi bagian dari dîn atau ibadah dan Allah membalas atas apa yang kita dilakukan.

Apakah mendoakan seseorang dalam peristiwa apa pun termasuk bersifat ritual atau sesuatu yang generik? Teman Anda dapat pekerjaan, lalu kita ucapkan, “Semoga Allah memberkahimu dengan pekerjaan ini.” Seseorang dapat rumah baru, lalu Anda mengatakan, “Mudah-mudahan Allah menurunkan berkah-Nya kepadamu di rumah ini.” Apakah kita perlu bukti atau dalil untuk berdoa secara umum? Tidak. Tak ada yang salah membuat doa secara umum. Dengan demikian berdoa untuk pelbagai kebutuhan; lulus ujian, momong cucu, punya rumah baru, selesai kuliah, atau lulus ASN bukanlah sesuatu yang menyimpang.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version