YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M Nurul Yamin, menuturkan bahwa saat ini masih banyak kelompok masyarakat di Indonesia, khususnya kelompok tani yang termarjinalkan dan belum mendapat manfaat program pemberdayaan yang memadai.
Hal itu diungkapkan Yamin dalam Pembukaan Sekolah Kader Pemberdayaan Masyarakat (SEKAM) Seri Advokasi Tani yang diselenggarakan oleh MPM PP Muhammadiyah pada Jumat (21/7) di Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma).
“Maka diperlukan kebijakan dan program yang tepat sasaran dan efektif dalam memberdayakan kelompok masyarakat. Atas hal tersebut kelompok masyarakat dapat mengambil peran salah satunya dengan gerakan advokasi kebijakan publik,” tutur Yamin.
Dalam pandangan Islam pangan yang dikonsumsi manusia itu hendaknya yang halal dan thoyyib. Pangan juga memiliki nilai ekonomi tinggi dan strategis karena menjadi kebutuhan pokok utama manusia, maka tak terhingga orang tertarik pada usaha atau bisnis pangan.
Pangan juga bukan hanya persoalan isi perut, tetapi juga bisa dipergunakan untuk diplomasi budaya pangan. Lihat betapa maraknya budaya pangan dan cara makan hadir di tengah masyarakat menjadi gaya hidup tersendiri. Pangan pun mencerminkan kelas sosial karena dimana makan dan apa yang dimakan mencerminkan kelas sosial masyarakatnya.
“Jangan heran bila muncul istilah anak singkong, anak keju, maupun mental tempe, bahkan kelas angkringan dan kelas berbintang. Tentu, soal pangan juga berdimensi politik. Politik yang dimaknai segala hal yang berkaitan dengan warga negara termasuk urusan pangan menjadi santapan politisi untuk beragam kepentingan politik.” Ungkapnya.
Dalam konteks Indonesia, soko guru bangsa yaitu petani yang sekaligus produsen pangan masih belum membaik kesejahteraan, harkat dan martabatnya. Terkait itu Yamin menjelaskan beberapa penyebabnya.
Pertama, petani masih sering dijadikan objek politik daripada subjek politik. Sebagai obyek politik petani sering mendapatkan janji dan iming-iming politik yang jauh dari kenyataan.
Kedua, petani lebih menekankan sisi on farming dan mengabaikan sisi off farmingnya. Padahal sisi on farming lebih banyak ditentukan oleh sisi off farming. Ketiga, keterbatasan petani membaca. Membaca, menyadari problematika dan kompleksitas persoalan pangan. Akibatnya, petani terjebak dalam apatisme akan masa depannya sendiri.
Untuk itu acara Sekolah Kader Pemberdayaan Masyarakat Seri Advokasi Tani memiliki makna strategis membangun nalar kritis petani, sekaligus mengungkit dan mengangkat potensi petani. Dengan sekolah advokasi tani ini juga diharapkan petani mampu mengidentifikasi problem petani khususnya yang menyangkut kebijakan pertanian yang tidak berpihak kepada petani khususnya petani rakyat.
Kegiatan yang mengangkat tema “Berdaya dalam Memperjuangkan Hak-Hak Sipil Tani” ini dihadiri oleh 40 peserta yang merupakan perwakilan dari 15 Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di Jawa Tengah, dan kelompok petani dampingan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Unimma.
Melalui kolaborasi bersama MPM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Yamin juga menuturkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas advokasi kelompok masyarakat. “Penting kiranya juga memperhatikan perlindungan hak-hak masyarakat yang rentan. Maka SEKAM Seri Advokasi ini diharapkan dapat menjadi upaya untuk memberikan pelatihan advokasi yang berkualitas kepada kelompok masyarakat,” tambah Yamin.
Yamin juga menambahkan, secara spesifik kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat tentang keadilan sosial, akses keadilan dan cara pemenuhan hak-hak serta bantuan hukum. Serta terwujudnya kelompok masyarakat yang berkompeten dan berintegritas dalam memperjuangkan HAM dan demokrasi, secara mandiri, dengan membangun ekosistem advokasi.
SEKAM Seri Advokasi Tani ini merupakan kegiatan pelatihan khusus bagi pegiat pemberdayaan dan advokasi tani di wilayah atau daerah. Agenda ini diselenggarakan selama dua hari dari Jumat hingga Sabtu ini, turut menghadirkan tujuh pemateri meliputi: Iwan Satriawan, Bachtiar Dwi Kurniawan, Eko Prasetyo, Muhammad Fajrus Shodiq, Iwan Nurdin, dan Arief Ariyanto.
Melalui agenda ini, diharapkan peserta dapat lebih mandiri dan mampu memperjuangkan hak-haknya secara efektif. Melalui pelatihan advokasi, masyarakat dapat meningkatkan kesadaran akan hak-haknya dan memperoleh kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. (Aan)