Q.S Al-Isra’ 86, Benarkah Al-Qur’an akan Benar-Benar Lenyap?
Oleh: Faiz Amanatullah
Sebagai manusia yang lahir di penghujung tahun 90-an, mungkin tidak berlebihan jika generasi ini memiliki pengalaman rohani yang cukup kuat dibanding dengan keadaan sekarang, hal ini dilihat bukan dari akhlak kami pribadi, namun dari angka tingkat kriminalitas dan dekadensi moral yang semakin merebak .
Kala itu, salah satu penguat diri untuk lebih giat beribadah dan bertaubat bagi yang merasa melampaui batas adalah karena bertebarnya komik-komik, dikenal dengan komik siksa kubur dan neraka.
Komik yang mulai punah ketika memasuki milenium baru itu meninggalkan kesan yang mendalam bagi para pembacanya. Pengajaran yang disampaikan dengan cara yang tak biasa ni disampaikan dengan hadirnya visualisasi siksaan neraka.
Komik itu bertebaran di berbagai lapak masjid, taman pendidikan Al-Qur’an bahkan hingga institusi sekolah baik perkotaan maupun pedesaan. Bagi anda yang belum pernah menyaksikan komik tersebut, komik-komik itu mampu menampilkan sekumpulan orang di neraka yang ditombak dari berbagai arah, digantung diatas genangan lahar neraka, disiram dengan timah panas bahkan dipotong anggota tubuhnya sebagai bentuk konsekuensi bagi mereka yang tak sempat bertaubat.
Tidak hanya selesai disitu. Komik itu terkadang include menampilkan berbagai peristiwa siksaan yang nyata sebelum diakhirat seperti banyak tubuh membengkak dan mengeluarkan belatung, kuburan yang tergenang oleh air, bahkan ironinya ada jenazah yang tak bisa diangkat oleh warga ketika hendak dikuburkan.
Pada masa kegemilangan komik tersebut, setidaknya kita bisa menilai bahwa nilai religius begitu lekat dengan kehidupan masyarakat kala itu. Belum lagi berbagai macam pantangan sangat sering keluar dari ucapan para orang tua yang membuat anak-anak semakin hati-hati dalam berprilaku.
Muaranya dengan pengalaman dan insight lingkungan seperti diatas membuat diri untuk lebih dekat dengan Allah Swt. agar mendapatkan perlindungan dan Rahmat-Nya. Walaupun memang dipancing oleh rasa takut. Namun sejatinya ketika berakhlak kepada Allah Swt. harusnya seimbang antara khauf (rasa takut kepada Allah) dan raja’ (rasa harap kepada Allah).
Pudarnya Nilai Al-Qur’an
Moment paling berkesan bagi generasi 80an – 90an selain dari komik diatas tadi adalah ramainya surau, mushola atau masjid terdapat para santri mengaji melingkar pada meja bundar yang legendaris itu, bisa jadi meja itu hampir seumuran dengan masjid.
Didikan guru yang cukup keras juga turut mewarnai nuansa pembentukan mental mereka dimasa kecil. Hingga tertanam dalam benak mereka apabila ada yang tak berangkat mengaji, layaklah disebut sebagai golongan setan atau manusia menjelang maghrib yang tak tahu waktu. Sebab kala itu permainan anak-anak tak akan berhenti hingga adzan maghrib berkumandang.
Satu hal lagi yang menghantui bagi mereka yang tak rajin mengaji adalah tentang salah satu tanda kiamat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an di kemudian hari akan menghilang begitu saja. Diakibatkan ummat muslim mulai meninggalkan nilai Al-Qur’an, apalagi mengamalkannya.
Allah berfirman dalam Q.S Al-Isra’: 86,
“Dan jika kami kehendaki niscaya Kami hilangkan apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau. Kemudian itu tidak akan engkau dapat perihal itu, terhadap Kami seorang penolong pun.”
Menurut Prof. Dr. Hamka, artinya bahwa jika Allah menghendaki bisa saja wahyu yang telah diturunkannya kepada kita itu dicabutnya kembali sehingga hilang saja laksana diterbangkan angin.
Sebetulnya fenomena itu sudah terjadi sebelumnya, banyak wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi yang terdahulu, namun tidak lengkap dan dikumpulkan lagi. Atau hilang terbakar aslinya dan dicatat kembali hafalan orang lain yang berbeda-beda. Sehingga kita dapati apa yang dinamai oleh agama Kristen sekarang Kitab Injil bukanlah Injil yang asli diturunkan kepada Isa al-Masih, melainkan catatan yang datang kemudian.
Bagaimana dengan Al-Qur’an?
Bagaimana jika hal seperti itu terjadi pada wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. adakah orang lain yang dapat menolong?
Sewaktu beliau masih hidup sudah ada yang mencatat wahyu di kulit hewan atau di pelepah kurma hingga di tulang unta. Bahkan setelah beliau wafat belum satu tahun, Al-Qur’an itu telah dibukukan atas perintah khalifah pertama Abu Bakar ash-Shiddiq, yang dikerjakan oleh suatu panitia yang ahli.
Berlanjut pada masa khalifah ketiga, Amirul Mu’minin Utsman bin Affan, sekali lagi disalin dan disebarkan melakukan pembakaran naskah yang berserakan lalu diresmikanlan mushaf al-Imam atau disebut juga mushaf Utsmani, mushaf Sayyidina Utsman.
Melihat perjalanan tersebut, bisa kita teliti bahwa berkat Rahmat Allah Swt. Al-Qur’an dapat terpelihara kemurniannya, apalagi setelah adanya praktik mencetak Al-Qur’an di zaman sekarang. Berjuta-juta Al-Qur’an telah tersebar kemana-mana.
Tetapi tidaklah mustahil pada akal akan kejadian apa yang diisyaratkan dalam (Q.S. Al-Isra’: 86). “jika kami kehendaki niscaya Kami hilangkan apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau. Kemudian itu tidak akan engkau dapat perihal itu, terhadap Kami seorang penolong pun.”
Bisakah ayat itu kejadian? Yaitu wahyu akan sirna begitu saja? Sehingga orang lupa padanya?
Tentu bisa! Mengapa tidak!
Al-Qur’an yang dicetak bagus itu bisa saja satu waktu hanya mengisi museum barang purbakala, namun isi dan kandungannya tidak bisa dipahami oleh orang lagi. Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud pernah berkata,
“Yang mula-mula akan hilang lenyap dari agamamu ialah amanah, dan yang akhir sekali akan habis sirna ialah sholat, dan sesungguhnya Al-Qur’an ini pun seakan-akan dicabut dari kamu sehingga pada pagi-pagi suatu hari kamu bangun, kamu dapati tidak ada lagi yang ada pada dirimu.
Maka bertanyalah seseorang, “Bagaimana bisa kejadian begitu, hai Abdurrahman? Padahal Al-Qur’an itu telah kami tanamkan teguh dalam hati kami, dan telah kami tetapkan di dalam mushaf kami, dan kami ajarkan kepada anak-anak kami, dan anak-anak kami mengajarkan pula pada anak-anaknya, turun temurun sampai kiamat.
Abdullah bin Mas’ud menjawab. “Dia akan hilang saja pada suatu malam; hilang yang ada du dalam mushaf itu dan hilang pula apa yang terkandung dan dihafal dalam hati, sehingga jadilah manusia seperti Binatang.”
Angin Segar Terpeliharanya Al-Qur’an
Ayat selanjutnya, Q.S Al-Isra’:87, menjadi angin segar bagi ummat Islam agar tidak berputus asa dalam meraih Rahmat-Nya agar selalu terhubung dengan Al-Qur’an.
“kecuali Rahmat dari Tuhan engkau. Sesungguhnya karunia-Nya atas engkau adalah besar.”
Percayalah, yang akan melepas kita dari bahaya terbangnya Al-Qur’an dari muka bumi itu ialah Rahmat Allah saja, yang lain tidak. Tegasnya pokok kepercayaan kepada Keesaan Ilahi masih ada tersisa di hati setengah orang. Kalau itu masih ada maka jalan untuk bangkit masih lebar terbuka. Tidak ada satu kekuatan yang dapat menghapuskan kepercayaan kepada keesaan Allah di permukaan bumi ini.
Fenomena diatas tentu sangat berlawanan dengan keadaan hari ini. Jangankan mengaji menjelang maghrib atau setelahnya, pasalnya di tempat publik pun seperti café atau tempat tongkrongan lainnya, semacam ada kesan tampak lebih nikmat apabila dikunjungi ketika dipenghujung sore.
Faiz Amanatullah, Alumni PAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta