Jalan Kepanduan Menuju Muktamar HW ke-4
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Malang, ratusan kilometer sebelah timur Yogyakarta, suatu pagi di akhir bulan Juli. Jam berukuran besar di stasiun Lempuyangan menunjukkan pukul 06.20 ketika kereta jurusan akhir Blitar perlahan bergerak meninggalkan tempat pemberhentiannya. Tak lama, kereta bertenaga batu bara itu melesat cepat melewati hamparan persawahan, dan perlahan menghilang di batas pengelihatan.
Di luar jendela, gambaran tentang persawahan dan perkotaan terlihat mulai menunjukkan geliat kesibukannya. Petani ke sawah, orang tua mengantar anaknya ke sekolah, pegawai kantoran berangkat pagi untuk menghindari kemacetan, lalu lalang driver ojol yang mengejar target penumpang dan berbagai kesibukan lain seperti menggeser-geser layar hp yang tak jelas apa tujuannya. Pada posisi ini, di tengah laju kereta yang begitu cepat, pandangan terhadap sesuatu di luar obyek yang bergerak cepat terlihat kabur, tak jelas. Matahari kuning dan hangat pun mulai merambat ke kaca jendela, seperti ingin menampakkan pesonanya pagi itu sebelum ditelan waktu.
Dalam kepungan suasana tersebut saya duduk di dekat jendela berlawanan dengan arah laju kereta nomor perjalanan 238. Di karcis elektronik yang saya miliki tertera tipe penumpang UMUM dengan nomor kursi EKO-1/10E. Itu berarti saya berada di gerbong kelas ekonomi pertama dekat masinis melakukan tugasnya.
Dalam perjalanan, saya lebih banyak diam. Sekali-kali menyapa dan selebihnya hanya mendengar obrolan penumpang lain. Jarak usia yang terpaut cukup jauh mengurungkan niat saya terlibat dalam obrolan. Merasa diri anak bau kencur, diam untuk mendengar adalah pilihan paling bijak. Dari sudut pandang ini saya mengambil kesimpulan bahwa muda dan tua bukan sebuah perlombaan, tapi lebih pada hubungan tata krama yang romantis.
Perjalan ke timur terus berlanjut. Panas di luar gerbong tak menginvasi peran pendingin ruang gerbong kereta kelas ekonomi. Ular baja pun kian trengginas. Perjalanan masih menyisakan 2 jam untuk sampai di pemberhentian awal, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan dengan eksekutif lokal, Blitar — Malang jam 13.20.
Jika mayoritas orang lebih nyaman menggunakan istilah jalan ninja untuk menggambarkan pengelanaan mereka. Saya menyebut perjalanan ini sebagai jalan kepanduan. Dengan catatan, tak seperti jalan kepanduan yang pernah ditempuh oleh Jenderal besar Sudirman. Melakukan misi pembebasan sebuah bangsa dengan bergerilya masuk—keluar hutan, berjalan kaki. Tapi saya berbeda dan terkesan manja.
Tapi era memang sudah berubah. Bukan waktunya lagi berjalan kaki untuk melakukan perpindahan. Efisiensi tentu menjadi ciri kemajuan yang terus digaungkan oleh organisasi Islam modern terbesar seperti Muhammadiyah. Walau dunia berubah, ada hal yang harus tetap berada di tempatnya, tak boleh berubah. Warisan nilai luhur, semangat serta mentalitas seorang pejuang harus terus kita rawat untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Jalan kepanduan ini bukan untuk mencari kitab suci yang hilang, melainkan untuk menghadiri agenda akbar kepanduan Hizbul Wathan (HW) yang akan berlangsung di Malang mulai tanggal 26-29 Juli 2023. Perjalanan yang bisa dibilang cukup mudah karena beragam fasilitas layanan transportasi telah tersedia.
Seketika pikiran pun mengembara. Meraba jauh ke arah sejarah. Mencari latar dan waktu yang sangat berbeda. Tentang perjuang para pandu yang ditempa menjadi pemimpin masa depan. Para manusia didikan alam yang tak takut dengan terik panas matahari. (diko)
*Catatan singkat perjalanan menuju Muktamar HW ke-4 di Malang, Jawa Timur.