JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam orasi ilmiah pada acara pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H., menyampaikan bahwa dalam ilmu hukum tata negara, umumnya pembatasan kekuasaan di dalam konstitusi kerap dipadankan dengan doktrin pemisahan kekuasaan. Doktrin ini menjadi ajaran yang penting untuk dipahami, khususnya apabila dikaitkan dengan studi konstitusi, karena dalam kenyataannya format dan bentuk pemisahan kekuasaan diterapkan ke dalam konstitusi di berbagai negara.
“Dalam bidang hukum tata negara, konstitusi memiliki peran yang signifikan sebagai medium penataan dan pengelolaan kekuasaan. Berbagai sarjana seperti Jhon Locke, Montesquieu, Van Vollen Hoven, dan Frank Goodnow cenderung memilih untuk fokus pada kekuasaan yang bersumber dari negara untuk untuk dilakukan pemisahan, pembagian ,maupun memfragmentasi fungsi kekuasaan,” tutur Ibnu dalam acara yang digelar di Auditorium dr. Syafri Guricci FKK UMJ pada Rabu (26/07/2023).
Prof. Ibnu juga menyampaikan bahwa berbagai pola model pemisahan kekuasaan tergantung pada sistem negara masing-masing. Ini menunjukkan bagaimana konstitusi difungsikan sebagai sarana penataan kekuasaan negara dengan memisahkan, membagi, menyebarkan atau bahkan meletakkan titik konsentrasinya.
Lebih lanjut, Beliau menjelaskan bahwa berdasarkan praktik yang ada, maka dapat diketahui beberapa model pemisahan kekuasaan diaktualisasikan, yaitu model pemisahan kekuasaan eksternal dan model pemisahan kekuasaan internal.
”Saat ini, kecenderungan pemisahan kekuasaan yang dilakukan secara hukum melalui konstitusi menghadapi kecenderungan pembaharuan dengan kekuasaan yang sesungguhnya. Hal ini disadari ketika banyak sarjana yang melakukan redefinisi kekuasaan dalam pemaknaan trias politica yang dipadankan dengan kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif kini mengalami redefinisi menjadi negara (state), masyarakat (civil society) dan pasar (market). Redefinisi ini disebabkan pendekatan motivasi ekonomi yang memandang perlu dipisahkan dari segmentasi politik,” papar Ibnu.
Tiga abad doktrin pemisahan kekuasaan cenderung fokus pada format pemisahan kekuasaannya dibandingkan orientasi kepada tujuannya. Pemisahan cabang kekuasaan negara dengan cenderung lebih memfokuskan kepada siapa dan apa yang harus dipisahkan, sedangkan alasan mengapa dan bagaimana untuk mencapai tujuan pemisahannya kerap belum terlalu diperhatikan.
Sebagai akibatnya kekuasaan sesungguhnya di dalam masyarakat dapat menjadi variabel yang tidak diperhitungkan dalam konsep pemisahan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi.
“UUD 1945 merupakan naskah konsensus mendirikan negara yang di dalamnya tidak hanya menyangkut tata negara melainkan harus mampu bersedia juga menjadi tata etika bernegara,” tegas ibnu.
Diangkat dalam jabatan fungsional sebagai Guru Besar dalam Bidang Hukum Tata Negara terhitung pada 1 April 2023 melalui Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia di usia yang ke 33 tahun, Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H. merupakan rekor baru di kalangan akademisi hukum Indonesia sebagai Guru Besar termuda Indonesia sejak 25 tahun masa reformasi.
Dalam acara pengukuhan Guru Besar ini hadir sejumlah tokoh nasional, di antaranya Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum., Prof. Agus Setyo Muntohar, S.T., M.Eng.Sc., Ph.D., Prof. Dr. Tongat, S.H.,M.H. Selain itu hadir juga beberapa Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA), dan segenap civitas akademika UMJ. (KSU/Riz)