Oleh: Donny Syofyan
Reformasi keagamaan juga dilancarkan Umar. Bila khalifah Abu Bakar menegakkan Islam bukan sekadar agama tapi juga sistem sosial-politik, maka khalifah Umar memformalisasikan hukum-hukum Islam yang kemudian dikenal sebagai hukum syariah. Bila ia tidak menemukan jawaban dalam Al Qur`an tentang suatu perkara, maka Umar akan berkonsultasi dengan para sahabat tentang apa yang Rasulullah katakan atau lakukan pada situasi yang sama. Di sini Umar memulai proses sortir di mana Kitabullah dan hadits Nabi menjani proses check, double-check bahkan triple-check. Begitu juga sumber-sumbernya menjalani proses check, double-check dan triple-check. Akhirnya tulisan-tulisan ini dikumpulkan menjadi sebuah koleksi yang komprehensif.
Dari praktik ini, khalifah Umar memulai pembentukan institusi dengan satu tujuan; mempelajari Al Qur’an dan ucapan serta perbuatan Rasulullah Muhammad SAW. Kelompok ilmuwan yang melakukan peran ini dinamakan ulama, salah satu institusi sosial yang utama dalam Islam. Kelompok ulama yang menggarap jurisprudensi Islam (fiqh) dinamakan faqih. Semenjak itu, para faqih menggunakan Al Qur`an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Pada awalnya semuanya berjalan baik-baik saja. Tapi seiring dengan banyaknya pertanyaan dan persoalan yang tidak dicakup secara tegas oleh Al Qur`an dan Sunnah, maka para faqih harus menemukan cara-cara untuk menyahut banyaknya persoalan. Para faqih menarik kesimpulan dengan pelbagai metode. Pertama adalah ijma’, yakni konsensus para ulama dan kedua adalah qiyâs, yaitu melakukan analogi suatu hukum terhadap hukum lain. Sampai sekarang dua metode ini masih terpakai.
Umar memberikan ruang publik yang lebih besar bagi kaum Hawa, walaupun misalnya ia berpendapat salat wanita lebih baik di rumah. Selama masa kekhalifahannya, Umar menunjuk dua wanita—Samra Binti Nuhayk dan Shifa Binti Abdullah—untuk mengawasi pasar. Mereka berpatroli di pasar untuk memastikan jalannya praktik bisnis yang adil dan terjaganya perilaku Islam. Di masa Umar wanita bahkan ikut bertempur, baik sebagai pekerja yang memberi bantuan kemanusiaan (relief worker) maupun sebagai penempur. Umar sering berdebat tidak cuma dengan laki-laki tapi juga wanita dalam ruang publik.
Tapi memang belum bisa hilang di zaman Umar adalah isu perbudakan. Pada abad ke-7, perbudakan adalah praktik yang diterima masyarakat dan berkembang pesat di jazirah Arab. Sebelum akhirnya melarang, Al-Qur’an terlebih dahulu memberi batasan atas praktik-praktik perbudakan. Muslim tidak boleh menjadi budak. Perdagangan budak tidak boleh memisahkan keluarga. Jadi seseorang hanya boleh membeli atau menjual semua anggota keluarga. Seorang tuan atau majikan tidak boleh menganiaya atau menyalahgunakan budaknya. Seorang budak memiliki hak yang sama seperti manusia bebas. Sebagai contoh, seorang budak harus makan di atas meja atau meja makan dan mengonsumsi makanan yang sama seperti tuannya. Umar meninggal dibunuh oleh seorang budak dari Persia pada 25 Dzulhijah 23 H atau 3 November 644 M karena dibunuh oleh Abu Lu’luah (Fairuz) saat sedang melaksanakan salat subuh. Ia menikam Umar di perutnya. Satu sumber menyebut Fairuz berbuat demikian karena gangguan emosional. Sumber lain menyatakan bahwa peristiwa pembunuhan Umar adalah konspirasi balas dendam pihak Sasaniyah atas kekalahannya, yang saat itu menjadi negara adidaya, oleh pasukan Islam.
Di atas pembaringannya Umar mengeluarkan keputusan politik terakhir. Ia membentuk komite yang bernama Syûra dengan tujuan untuk memilih khalifah berikutnya dan meminta persetujuan umat atas pencalonan itu. Sekali lagi, sebuah lembaga demokratis berdiri untuk mempersiapkan khalifah berikutnya. Pilihan akhirnya mengerucut kepada dua orang, yakni Utsman bin Affan (seorang pedagang kaya raya yang berasal dari keluarga terpandang sekaligus sahabat Rasulullah) dan Ali bin Abi Thalib (menantu Rasulullah).
Keduanya diajukan pertanyaan yang sama, “Bila Engkau jadi khalifah, apakah Engkau dipandu oleh atau mengikuti Al Qur’an, Sunnah dan teladan yang ditinggalkan oleh Abu Bakar dan Umar?” Ali menjawab, “Aku akan mengikuti Al Qur’an dan Sunnah. Adapun menyangkut preseden yang ditinggalkan oleh Abu Bakar dan Umar, aku memiliki nurani sendiri dan akan mengikutinya.” Sebaliknya, Utsman menjawab, “Peranku adalah mengikuti apa yang telah ditetapkan dan digariskan pendahuluku. Aku bukanlah inovator.” Syura memutuskan Utsman sebagai khalifah selanjutnya dan umat menyetujuinya. Walau ada sementara pihak yang menyatakan bahwa Ali tidak percaya bahwa Utsman adalah orang yang tepat untuk amanah ini, namun bagi Ali persatuan di kalangan Muslimin jauh lebih penting daripada pencapaian personal. Maka Ali memberikan sumpah setia (bay`at) kepada Utsman bin Affan—Tamat
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas