Shalat untuk Menjemput Rahmat (18)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi
Cukup banyak keutamaan shalat berjamaah yang sudah disebutkan pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (17). Orang yang sudah mengamalkan shalat berjamaah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tentu dapat menyebutkan lebih banyak lagi.
Ada beberapa hal penting yang perlu kita perhatikan kembali sebagai penguatan. Beberapa hal itu adalah berpakaian bagus ketika ke masjid.
Dalam hubungan ini, perlu kita ingat kembali Allah Subḥānu wa Taʻāla berfirman di dalam surat al-Aʻraf (7): 31
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Wahai, anak Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid; makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.”
Berpakaian yang bagus untuk shalat tentu berbeda dari berpakaian bagus, misalnya, untuk berolahraga, bekerja di sawah, bekerja di bengkel, atau bekerja di dapur. Di dalam kenyataan masih ada di antara muslim yang berpakaian bagus ketika menghadiri berbagai resepsi, tetapi berpakaian “seadanya” ketika shalat.
Ada fenomena pada sebagian muslimah, mukena bagus justru disimpan dan hanya digunakan ketika shalat ‘idain. Ada juga laki-laki muslim yang berpakaian bagus ketika shalat ‘idain dan shalat Jumat.
Dalam hal berpakaian, muslim yang shalat sendirian di rumah mungkin lebih tidak memperhatikan lagi pakaian yang bagus. Ada di antara mereka yang berpakaian sekadar suci dan menutup aurat. Bahkan, mungkin pakaian-dalam yang dikenakan untuk tidur malam hari pun digunakan untuk shalat, padahal mungkin lebih sekali dalam semalam ke toilet.
Sementara itu, ada fenomena pada muslim yang telah istikamah melaksanakan perintah Allah Subḥānu wa Taʻāla dan Rasul-Nya, jarak dari rumah ke masjid yang cukup jauh, untuk shalat berjamaah di masjid bukan alangan. Mereka justru merasa memperoleh kesempatan untuk beramal saleh lebih banyak misalnya berzikir lebih banyak ketika berjalan menuju ke masjid. Pahala yang diperolehnya dari amalan demikian tidak diperolehnya jika shalat di rumah meskipun berjamaah.
Ketika menuju ke masjid dan bertemu dengan sesama muslim, terjadi saling sapa dan berucap salam. Tentu ada pahala yang diperolehnya dari amalan tersebut. Bahkan, karena amalan itu sekaligus merupakan syiar Islam, pahala pun diperolehnya.
Ketika berangkat ke dan pulang dari masjid bersama istri, suami, anak, dan/atau cucu kebahagiaan tak ternilai dapat dirasakan. Orang lain yang melihatnya pun ikut merasakannya. Malahan, amalan itu dapat pula menginspirasi. Jika shalat di rumah, meskipun berjamaah, pahala dari amalan yang demikian tidak diperolehnya.
Amalan itu pun bernilai syiar. Jadi, berpahala pula tentunya. Apakah jika shalat di rumah, kita memperolehnya? Tidak!
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (18) ini diuraikan lagi beberapa keutamaan shalat berjamaah di masjid/musala. Bagi muslim yang shalat berjamaah di masjid, Allah Subḥānahu wa Taʻāla telah menyediakan pahala yang berlipat ganda. Tinggal bagaimana kita: mau dan dapat mengambilnya atau tidak.
Keutamaan Ṣaf Pertama
Pada ṣaf pertama terdapat para malaikat. Di dalam HR Muslim hal itu dijelaskan, yang artinya
“Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami lalu beliau bersabda, Tidakkah kalian ber-ṣaf sebagaimana para malaikat ber-ṣaf di sisi Rabb-nya? Kami bertanya, Wahai Rasūlullah, bagaimana para malaikat ber-ṣaf di sisi Tuhan mereka? Beliau bersabda, Mereka menyempurnakan ṣaf-ṣaf yang pertama dan merapatkan barisan.”
Berdasarkan hadis tersebut, makmum yang berada pada ṣaf pertama dan merapatkan barisan berarti mereka shalat bersama para malaikat. Satu baris dengan para malaikat tentu sangat mulia.
Berkenaan dengan itu, di dalam HR Muttafaq ‘alaih dijelaskan bahwa seandainya orang-orang mengetahui keutamaan ṣaf dan merapatkan barisan, mereka pun mau melakukan undian untuk mendapatkannya. Hal itu dijelaskan di dalam hadis tersebut, yang artinya
“Seandainya orang-orang mengetahui keutamaan yang ada pada azan dan ṣaf pertama, kemudian mereka tidak dapat memperolehnya, kecuali dengan melakukan undian, niscaya mereka melakukan undian.”
Jadi, betapa sayangnya jika ada muslim yang baru berangkat ke masjid ketika iqamat, apalagi, hadir ketika shalat sudah dimulai. Lebih disayangkan lagi, jika mereka sampai tertinggal satu rakaat; atau tiba di masjid ketika shalat berjamaah sudah pada posisi tahiyat akhir.
Makmum yang berada pada ṣaf pertama tidak ditentukan berdasarkan pangkat, jabatan, atau status sosial. Namun, mereka yang berada pada posisi paling dekat dengan imam adalah orang yang (1) dapat mengingatkan imam jika lupa ayat yang dibacanya atau rakaat shalat dan (2) dapat menggantikan imam manakala terjadi suatu hal yang mengharuskan penggantian imam.
Sementara itu, kita dapat pula memetik pelajaran penting lainnya penataan ṣaf yang demikian. Ketika rukuk, kepala makmum yang berada di belakang imam berada pada posisi dekat dengan pantat imam. Kepala makmum pada ṣaf kedua berada posisi dengan pantat makmum pada ṣaf pertama. Demikian seterusnya.
Pada waktu sujud, kepala makmum pada ṣaf kedua berada pada posisi dekat dengan telapak kaki makmum pada ṣaf pertama. Kepala makmum pada ṣaf kedua berada pada posisi dekat dengan telapak kaki makmum pada ṣaf kedua. Demikian seterusnya.
Shalat berjamaah benar-benar mendidik kita agar menyadari bahwa di hadapan Allah Subḥānahu wa Taʻāla kita sama. Yang membedakan adalah kualitas takwa kita.
Keutamaan Meluruskan dan Merapatkan Ṣaf
Meluruskan ṣaf merupakan kesempurnaan shalat berjamaah sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muttafaq ‘alaih, yang artinya,
“Luruskanlah ṣaf kalian karena meluruskan ṣaf termasuk kesempurnaan shalat.”
Hadis tersebut berisi perintah imam kepada makmum agar meluruskan ṣaf. Perintah itu pun ditaati oleh makmum.
Dengan meluruskan ṣaf, shalat menjadi sempurna. Kesempurnaan shalat tentu berkaitan dengan kesempurnaan pahala.
Ada pelajaran penting dari tindakan imam dan makmum tersebut. Jika amalan di dalam shalat berjamaah yang demikian diamalkan di dalam kehidupan keluarga dan masyarakat yang lingkup yang paling kecil sampai lingkup paling besar, kehidupan yang teratur dan tertib dapat diwujudkan.
Jadi, tepat sekali pendapat Hamka di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. hlm. 1398-1399) bahwa shalat berjamaah seperti perang. Perang dipimpin oleh komando.
Di dalam perang, komando bertugas memimpin pasukan. Di dalam shalat berjamaah, imam bertugas memimpin jamaah (makmum).
Keutamaan merapatkan ṣaf dijelaskan di dalam HR Abū Dawud, yang maknanya sebagai berikut.
“Dari Abdullah Ibn ‘Umar bahwa Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Tegakkanlah ṣaf karena engkau ber-ṣaf dengan ṣaf- ṣafnya malaikat. Rapatkanlah di antara bahu. Penuhilah tempat yang terluang. Dan berlunak-lunaklah di samping saudaramu. Janganlah engkau sisakan celah untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung ṣaf, Allah menyambungkannya. Dan barangsiapa memotong ṣaf, Allah memotongnya.”
Keutamaan Mengucapkan Āmīn Bersama Imam
Berikut ini dikemukakan kutipan makna HR al-Bukhari yang berisi keutamaan mengucapk FCan āmīn bersama imam.
“Diriwayatkan dari sahabat Abū Hurairaḥ raḍiyallahu ‘anhu, bahwa Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Jika imam membaca,
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ
maka ucapkanlah āmīn. Sesungguhnya, malaikat membaca āmīn bersama-sama dengan imam membaca āmīn. Barangsiapa membaca āmīn bersamaan dengan malaikat,.niscaya dia diampuni atas dosa-dosanya yang telah lalu.”
Sementara itu, di dalam HR. Muslim dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari raḍiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, yang maknanya,
“Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah kepada kita, lalu menjelaskan kepada kita sunnah-sunnahnya, dan mengajarkan kepada kita tentang shalat kita. Beliau bersabda, Apabila kalian shalat, luruskanlah ṣaf-ṣaf kalian. Kemudian, hendaklah salah seorang dari kalian mengimami kalian. Apabila dia bertakbir, bertakbirlah kalian. Dan apabila dia mengucapkan,
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ
(Bukan jalan orang yang dimurkai dan tidak pula jalan orang yang sesat), katakanlah, āmīn. Niscaya Allah mengabulkan doa kalian.”
Keutamaan yang demikian tidak diperoleh jika kita shalat sendirian. Jika tidak mengamalkannya, apakah tidak berarti bahwa kita mengabaikan tuntunan Rasūlullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Jika mengabaikannya, bagaimana mungkin shalat kita dapat menjadi penjemput rahmat?
Allahu aʻlam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota
Nif’an Nazudi, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo