Pemimpin Virtual

Pemimpin Virtual

Pemimpin Virtual

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi

Usai menonton Film Mission: Impossible – Dead Reckoning Part One yang dibintangi oleh Tom Cruise dan Hayley Atwell, saya bercerita kepada para kawan sebaya. Mereka juga terpaksa menonton karena harus menemani anak-anak dan istri. Saya memulai obrolan dengan apresiasi terhadap Film itu yang menjadikan peran perempuan sebagai ”pemeran utama” dalam keseluruhan cerita.

”Lakon” dalam film ini adalah Ethan Hunt, yang diperankan oleh Tom Cruise. Tampilannya menjadi luar biasa karena ada peran penyeimbang dari dua sosok Perempuan; Ilsa (Rebecca Ferguson) dan Grace (Hayley Atwell). Keduanya menjadi partner yang memiliki kehebatan dan kecerdasan setara dengan Hunt (Tom Cruise). Mereka bukan pemanis, apalagi sekedar menjadi objek seksual.

Perdebatan

Film ini menyajikan aksi heroik para parempuan dengan karakter masing-masing. Kemampuan Ilsa Faust (Rebecca Ferguson) sebagai agen senior sangat handal. Juga Grace (Hayley Atwell), perempuan misterius, cerdik, pintar dan trampil itu sangat memukau. Paris (Pom Klementieff), perempuan berdarah blasteran Korea-Rusia ini sangat handal menggunakan senjata. Dia kejam, terampil dan sangat pemberani. Terakhir adalah Vanessa Kirby. Ia memerankan sosok Alanna Mitsopolis, seorang penyelundup senjata dengan nama White Widow.

Teman saya memprotes pujian dan apresiasi saya terhadap peran perempuan dalam Film itu. Menurutnya, Film itu telah menyalahi kodrat manusia. Baginnya, Film itu kurang masuk akal. Seharusnya orang yang berperan sebagai jago berantem itu laki-laki. ”Mana ada perempuan bisa seberani itu. Jago berkelehi, pemberani, terampil menggunakan senjata. Gak bener tuh Film”.  Tegasnya, sambil menghisap rokok dalam-dalam.

Teman yang lain menyanggah. “Itu kan hanya sebuah cerita fiksi yang digambarkan dalam Film. Jangan dibahas terlalu serius lah. Kamu kok seperti orang yang mudah bersikap atas dasar potongan video di Medsos. Udah keburu senang atau marah banget, eh ternyata pemicunya penggalan video dari group WA. Cermat sedikit deh…”. Ujarnya.

Mereka berdebat serius sekali. Energi keduanya habis terkuras untuk membenarkan dan menyalahkan lakon dalam sebuah Film yang nyata-nyata dibuat untuk tujuan hiburan. Sebuah fantasi. Meski begitu, perdebatan itu sengit sekali. Seolah-olah apa yang terjadi di dalam film itu bisa berpengaruh nyata di dalam kehidupan keseharian mereka.

Pemimpin Virtual

Dari perdebatan kedua teman usai menonton Film itu, pikiran saya bergeser pada ruang imajinasi lain. Saat ini, ruang virtual saya tengah dipenuhi oleh tampilan berbagai agenda propaganda dari para politisi. Mereka sedang gigih berjuang meraih kemenangan untuk menjadi; Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, hingga penduduk kursi Dewan Perwakilan Rakyat di 2024 nanti.

Dalam poster poster yang semarak dipasang di sepanjang jalan, wajah-wajah para politisi dipoles bagus. Mungkin, itu diniatkan untuk mengesankan diri, bahwa secara fisik, tampilan mereka menarik, hingga layak dipilih. Di luar perkara fisik, propaganda mereka juga digarap dalam berbagai media. Ada penggalan pernyataan dan tindakan yang dipersepsi baik, lalu diviralkan dalam bentuk video. Ada yang bernada protes, hingga ajakan berbuat kebaikan, sarat cinta kasih yang lekat dengan tuntunan agama.

Bagi yang sudah atau sedang duduk di kursi kekuasaan, perilaku dan kebijakan sekecil apapun yang dipersepsi baik itu akan diviralkan. Sebaliknya, segala bentuk ucapan, perilaku dan kebijakan sekecil apapun yang dipersepsi buruk dan tidak menguntungkan, juga akan diviralkan oleh kubu lawan. Media sosial penuh dengan propaganda baik dan buruk secara bersamaan.

Kebaikan dan keburukan seseorang menjadi absurd. Sebagai awam, saya sulit menemukan informasi objektif. Tergantung dari versi mana informasi itu diproduksi. Persepsi baik akan datang dari para pendukung. Sebaliknya, persepsi buruk, akan datang dari kubu yang berkebalikan. Semua hanyalah persepsi. Tidak ada yang benar-benar mutlak. Karena semua yang muncul di ruang virtual adalah hasil produksi.

Saya harus lebih tekun belajar agar bisa lebih cermat dalam memilah dan memilih informasi. Standar apapun yang akan saya gunakan untuk menilai, tidak akan mudah. Karena setiap informasi yang tersebar, belum tentu bersumber pada fakta. Apa yang tersaji di ruang virtual, adalah hasil rekayasa yang diproduksi secara bebas oleh manusia.

Semoga saya terhindar dari perjumpaan dengan seorang pemimpin terpilih yang ternyata hanya baik, jujur dan amanah secara virtual belaka. Semoga kebenaran itu tetap ada di dalam hati, meski sangat sulit dikenali.

Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso

Exit mobile version