Al-Qur’an Mengajak Berpikir
Oleh: Donny Syofyan
Al-Qur’an mengajak kita untuk berpikir, merenung, dan melakukan kajian. Banyak umat Islam menjadi antusias tentang gagasan bahwa Al-Qur’an benar-benar mengambil sikap itu dan mendorong umat Islam untuk berpikir dan merenung. Jika mencermati agama-agama lain secara lebih luas, kita akan mengetahui banyak orang masih berjuang mengatasi konflik antara akal dan wahyu. Di satu sisi, mereka memegang keimanan, keyakinan, dan dogma tertentu yang seharusnya mereka percayai.
Namun mereka mengalami kesulitan untuk memegang kepercayaan mereka. Kenapa? Karena keyakinan ini ternyata kontradiktif dan sulit dipahami. Misalnya, siapa sebenarnya Tuhan? Bagaimana Tuhan mengampuni dosa? Semua hal ini kadang-kadang ditemukan sangat berbeda dari apa yang mungkin disimpulkan oleh orang-orang yang berakal.
Apa yang Anda lakukan ketika Anda menghadapi konflik batin antara apa yang dituntut oleh keimanan dengan akal atau rasionalitas? Mereka yang terjebak dalam dikotomi beralih menolak agama sama sekali. Saat mereka diperkenalkan tentang Islam, pada awalnya mereka berpikir, “Oh, kami sudah mendengar agama ini sebelumnya. Kami tahu seperti apa agama itu. Ia tak lain doktrin-doktrin yang tidak dapat dipahami dan kontradiktif.” Tetapi yang perlu ditekankan bahwa Al-Qur’an sebenarnya mengundang manusia untuk menggunakan akalnya untuk berpikir, merenung dan meneliti.
Sebagai misal, Al-Qur’an menjelaskan orang-orang sebelum kita yang tidak menggunakan akal mereka, “Mengapa kalian menganjurkan orang lain untuk berbuat baik, sedangkan kalian melupakan diri sendiri, padahal kalian membaca kitab suci? Tidakkah kalian berpikir? (QS 2: 44). Ketika akan dimasukan ke neraka, mereka mengakui ini karena mereka tidak menggunakan akalnya, “Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS 67: 10). Itu berarti bahwa menggunakan akal menjadi salah satu cara untuk mencegah seseorang dihukum masuk neraka.
Demikian pula, Al-Qur’an mendorong kita bepergian sebab kegiatan ini membuat hati dan pikiran terbuka sehingga lebih mudah memahami segala sesuatu, “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (QS 22: 46). Jadi semua ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an menekankan kita untuk berpikir dan merenung.
Kata `aql, yang berarti kecerdasan, terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 50 kali dalam pelbagai surah yang berbeda. Dalam surah Al-Baqarah, kata `aql juga ditemukan beberapa kali, dan begitu juga pada banyak tempat dalam Al-Qur’an. Pada surah Ali Imran, kita bisa menemukan kata ûlul albâb, yang bermakna orang-orang yang berpikir dalam. Sebenarnya kata ini juga dijumpai dalam surah Al-Baqarah, “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS 2: 269).
Ûlul albâb adalah orang-orang yang memiliki pikiran dalam dan mereka beroleh manfaat besar dari Tuhan. Dan kembali ke surah Ali Imran, Allah berfirman, “Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal” (QS 3: 7).
Al-Qur’an itu sendiri menyebut dirinya sebagai kitab kebijaksanaan. Surah ke-36 Al-Qur’an dimulai, “Yâsîn. Wal Qur’ânul hakîm.” (Yasin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah QS 36: 2). Jadi Al-Qur’an menyebut dirinya kitab yang penuh hikmah. Hikmah di sini adalah kebijaksanaan. Dalam surah yang sama, Al-Qur’an menanyakan orang-orang yang akhirnya masuk neraka mengapa tidak menggunakan akalnya, “Dan sungguh, ia (setan itu) telah menyesatkan sebagian besar di antara kamu. Maka apakah kamu tidak mengerti?” (QS 36: 62). Begitu juga pada ayat lain ketika Al-Qur’an mencatat, “Dan barangsiapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada awal kejadian(nya). Maka mengapa mereka tidak mengerti?” (QS 36: 68). Dan seterusnya.
Al-Qur’an memerintahkan kita melakukan apa yang disebut tadabbur—berpikir dengan hati-hati dan seksama tentang Al-Qur’an. Al-Qur’an menyebut,”Maka tidakkah mereka menghayati (tadabbur) Al-Qur’an?” (QS 4: 82). Al-Qur’an menuntut kita untuk berpikir dan merenungkan Kitabullah itu sendiri, dan begitu juga pada penciptaan langit dan bumi, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi” (QS 3: 191).
Gagasan bahwa Al-Qur’an menyuruh kita untuk berpikir, melakukan refleksi, merenung, dan belajar akan memberdayakan umat Islam untuk mengadakan perjalanan ke berbagai tempat di muka bumi. Ini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Dengan berpikir kita belajar lebih banyak, bepergian, berinteraksi dengan orang lain, berbagi ide, belajar lebih banyak, dan juga mengajar orang lain.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas