YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Abdul Mu’ti, MEd menghadiri kegiatan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Peminaan Kesejahteraan Sosial (MPKS) PP Muhammadiyah. Kegiatan tersebut dilaksanakan Jumat (11/8) bertempat di SM Tower and Convention Yogyakarta.
Mu’ti menyampaikan bahwa Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang membawa misi Amar Makruf Nahi Mungkar. Menurut Mu’ti, pemahaman banyak orang mengenai Muhammadiyah terhenti pada substansi tersebut.
Padahal, merujuk Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab II Pasal 4 secara eksplisit diterangkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Muhammadiyah berasas Islam.
“Karena itu dalam kita bermuhammadiyah, harus ada Tajdid (pembaruan). Kesemuanya itu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,” katanya.
Satu hal yang penting menurut Mu’ti ihwal tajdid berupa melakukan pembaruan pemikiran di Muhammadiyah. Hal ini sangat penting di dalam memahami agama, memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan meningkatkan wawasan dan perspektif dalam memahami berbagai persoalan kehidupan. Mu’ti memberi contoh berupa persoalan anak yatim di mana terbentang di dalam QS al-Maun sebagai ajaran amal.
Menurut Mu’ti, Yatim berarti keberadaan atau ketiadaan orang tua. Sementara, yatim bisa berarti keadaan di mana seorang yang lemah. “Yatim secara luas seorang yang renta atau dalam bahasa umumnya sebagai kelompok yang dha’if (lemah), orang-orang atau komunitas yang lemah,” ujarnya.
Menyikapi hal tersebut, Mu’ti mengajak perluasan untuk memahami ajaran agama. Yakni ajaran di seluruh aspek kehidupan, yang ini menjadi sangat penting dalam menghadapi transformasi zaman yang supercepat. “Pengertian di dalam banyak aspek ajaran agama perlu dikaji ulang, dan kontekstualisasikan dalam realitas kehidupan sehari-hari,” ucapnya.
Mu’ti mencontohkan surat Al-Balad ayat 16. Au miskīnan żā matrabah, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Menurutnya, redaksi ayat ini orang-orang miskin yang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap (homeless people). Jika dikorelasikan dengan kondisi sosial kontemporer, maka muncul pemahaman ajaran saling ta’awun, yakni membantu orang yang tidak punya tempat tinggal secara tetap.
Kemudian, pada QS al-Balad ayat 15, Yatīman żā maqrabah. Yakni (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. Menurut Mu’ti, redaksi ini merepresentasikan orang yang lebih dekat dengan anak yatim. Sebab banyak ditemukan anak yatim secara ikatan keluarga sangat dekat, tetapi tidak mau memperhatikan kehidupannya.
“Banyak mereka (anak yatim) yang secara family masih keluarga, tetapi tidak mengurusi. Dan inilah yang menurut saya perlu terus dikembangkan di Muhammadiyah,” tutur Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. (Cris)