Memahami Salafisme (Bagian ke-2)
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Apa yang dikenal sebagai gerakan Salafi saat ini—sesuai dengan paham Muhammad bin Abdul Wahab dan lainnya—sangat menekankan kemurnian akidah. Mereka ingin memastikan bahwa Muslim hanya menyembah Allah semata. Mereka menekankan monoteisme, yang tentu saja umum bagi kaum Muslimin. Kelompok Salafi menentang pemujaan atas apa yang disebut orang-orang mulia (semisal para wali), termasuk tempat, patung atau bangunan di mana tokoh-tokoh yang telah wafat diingat dan dihormati. Gerakan Salafi ditandai dengan pembongkaran banyak situs yang dianggap suci dan bersejarah oleh umat Islam. Oleh karenanya, banyak kelompok Muslim yang memberikan reaksi keras terhadap kelompok ini.
Gerakan Salafi sangat literal dalam pemahaman. Mereka cenderung mengambil atau memahami segala sesuatu secara harfiah, termasuk memahami Al-Qur’an dan hadits. Mereka menafsirkan kedua sumber hukum Islam ini seharfiah mungkin. Misalnya, ketika ayat Al-Qur’an menyebutkan tangan Tuhan, beberapa Muslim memahaminya sebagai kekuasaan Tuhan, bukan secara harfiah berarti tangan Tuhan.
Manakala Al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan naik ke `arasy (baca: singgasana), mayoritas Muslim tidak akan menganggapnya seperti cara manusia naik ke atas tahta, pelana atau semacamnya. Tetapi beberapa mufasir dari kalangan Salafi memilih mengartikannya secara harfiah. Mereka menganggap Tuhan memiliki sesuatu seperti tubuh manusia dan duduk di atas tahta, layaknya seorang raja yang menduduki tahtanya.
Mayoritas ulama dan mufasir sangat berhati-hati menafsirkan kata-kata literal. Sebab ini terkait dengan upaya penegasan kata-kata yang tepat dari ayat-ayat Kitabullah. Mereka tidak berpikir ketika Al-Qur’an menyebutkan tangan Tuhan maka seperti kita memikirkan tangan kita. Untuk hal-hal seperti ini, kita harus mengatakan tidak tahu, bilâ kaif— kita menegaskan pernyataan iman ini tanpa mengetahui bagaimana itu bisa terjadi.
Kita menyebutkan tangan, tetapi kita tidak tahu tangan seperti apa. Kita menyebutkan bahwa Tuhan naik ke arasy-Nya, tetapi kita tidak tahu tahta macam apa yang dimaksud. Sementara banyak ulama dan mufasir mengatakan ‘tidak’ dan memahami bahwa Tuhan mengendalikan tahta, sebaliknya kaum Salafi cenderung mengatakan bahwa Tuhan benar-benar naik takhta.
Semua Muslim dan empat madzhab menekankan pentingnya mengikuti sunnah—ucapan, tindakan dan persetujuan Nabi SAW. Lawannya adalah bid`ah. Secara linguistik, bid`ah bermakna sesuatu yang baru, tetapi sebagai istilah teknis dalam wacana Islam, bid`ah merujuk kepada sesuatu atau apapun yang ditemukan dan menjadi bagian dari ibadah yang tidak ada sebelumnya.
Jadi bid`ah sangat kontradiktif dengan sunnah. Dalam keyakinan Salafi, karena Anda mengikuti sunnah, maka tidak ada hal yang baru untuk Anda lakukan. Anda hanya melakukan hal-hal lama yang sama. Jika Anda melakukan sesuatu yang baru, itu berarti Anda tidak mengikuti sunnah. Alih-alih melakukan apa yang sunnah tetapkan, Anda justru melakukan sesuatu yang diada-adakan dan berbeda. Jadi bid`ah adalah sesuatu yang baru. Karenanya, inovasi sangat dijauhi dan dikritik dalam gerakan itu.
Para mahasiswa yang kembali dari Universitas Madinah pada tahun 1970-an dan selanjutnya berkeliling ke berbagai masjid. Mereka melihat apa yang dilakukan orang dan mulai mengidentifikasi mana yang sunnah dan mana yang bid`ah. Segala yang baru harus dibabat habis. Di anak benua India dan Asia Tenggara, khususnya, orang-orang mulai menyebut kelompok Salafi ini sebagai Wahabi. Julukan ini jelas menghina yang mengekspresikan dan memperlakukan kelompok ini di luar arus utama Islam.
Sebetulnya mereka bukan di luar Islam, tapi tumpang tindih dengan empat madzhab yang dikenal dalam Islam. Gerakan Salafi yang menoleh ke generasi awal Muslim pada saat yang sama juga kerap mengutip fikih empat madzhab. Mereka juga memasukkan gagasan dan pikiran kalangan empat madzhab itu ke dalam pemikiran dan praktik mereka.
Kelompk Salafi tidak hanya menafsirkan, tetapi juga untuk mengevaluasi keaslian hadits. Yang paling terkenal adalah Sheikh Nasiruddin Albani, yang secara harfiah mengambil hadits. Dia adalah ulama hadits paling terkenal di kalangan Salafi untuk mengotentifikasi hadits. Dia akan mengambil hadits baik di Shahih Bukhari atau salah satu kitab klasik koleksi hadits lainnya. Kemudian dia akan menimbang hadits-hadits itu satu per satu dan melihat ke rantai perawi.
Dia mengikuti cara berpikir literalistik tersebut. Sebuah hadits yang boleh jadi tidak rasional dan tidak ilmiah bisa saja sahih dan otentik baginya sepanjang dia menemukan ada rantai perawi yang memang diketahui, dihormati dan disegani yang mentransmisikan hadits ini dari satu orang ke orang lain tanpa putus. Kelompok Salafi cenderung mengikuti hadits-hadits seperti ini, yang mungkin saja dinilai tidak ilmiah asalkan hadits-hadits itu memiliki cap keaslian dari para ulama yang mereka hormati. Hadits-hadits ini lebih lanjut akan ditafsirkan secara literal tanpa mengandalkan perangkat-perangkat rasional-ilmiah. Mereka hanya akan mengikutinya secara harfiah.
Akhirnya, kita perlu mencatat bahwa ada hak-hal baik dan buruk di semua gerakan Islam, baik dan buruk di semua madzhab fikih Islam, baik dan buruk dalam berbagai pengikut dalam kelompok Muslim secara keseluruhan, termasuk baik dan buruk dalam gerakan Salafi. Umat Islam harus tetap berpikiran terbuka dan mengambil apa yang baik dari berbagai gerakan dan menggabungkan yang terbaik dari semuanya. Jika kita melakukan itu, kita akan muncul sebagai orang yang lebih baik dan sebagai masyarakat beriman. Kita harus muncul sebagai masyarakat yang toleran yang memahami dan menghormati keragaman dalam gerakan Islam yang lebih luas, bahkan di luar masyarakat Islam. Wallâhu a`lam.