Apakah Kekuasaan Hak Orang-Orang Kaya?

Immawan Wahyudi

Foto Istimewa

Apakah Kekuasaan Hak Orang-Orang Kaya?

Oleh: Dr Immawan Wahyudi, MH

BELUM ini lama tersebar tulisan yang angat bagus dan sangat merebut simpati. Tulisan itu tentang Pejabat Jepang mengenang jasa mantan Perdana Menteri Indonesia almarhum H. Muhammad Natsir. Pada intinya tulisan itu menguraikan ketika Jepang dalam masa yang sangat kritis karena diembargo minyak oleh Pemerintah AS. Pemerintah Jepang merasa sangat dibantu oleh HM Natsir dalam mengatasi problem besar ini. Secara singkat, bagian utama dan terpenting dari kisah yang ditulis oleh Agus Maksum, Aktivis DDII Jawa Timur adalah bahwa melalui utusan bernama Nakajima San Pemerintah Jepang mohon bantuan kepada Pak Natsir agar Pemerintah Arab Saudi bisa membantu ekspor minyak ke Jepang. Ketika ditemui utusan Pemerintah Jepang HM Natsir sedang menjalani hukuman penjara karena berseberangan sikap politik dengan Pemerintah RI.

Dalam pertemuan singkat utusan Pemerintah Jepang dengan HM Natsir, hasilnya adalah HM Natsir berkenan menulis surat kepada Raja Arab Saudi, Raja Faisal. Berbekal surat dari HM Natsir, Nakajima San disambut baik oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Setelah membaca surat dari Pak Natsir Raja Faisal langsung memenuhi permintaan HM Natsir untuk mengirim minyak ke Jepang melalui Indonesia. Momentum ini menyelamatkan industri Jepang dari kebangkrutan. Selanjutnya Industri Jepang bangkit dan berbagai industri otomotif Jepang merajai pasar dunia.

Atas jasa baik itu, Pemerintah Jepang sangat ingin memberikan hadiah kepada HM Natsir. Namun tidak ada satupun hadiah dari pemerintah Jepang yang diterima oleh HM Natsir. Semua hadiah di kembalikan. Pemerintah Jepang sangat kesulitan untuk bisa memberikan imbal jasa pada Pak Natsir karena HM Natsir telah berpesan pada keluarga untuk tidak menerima apapun pemberian dari pemerintah Japan. Sebab itulah Pemerintah dan Bangsa Jepang sangat berduka ketika mendengar wafatnya HM Natsir. Bagi mereka berita wafatnya HM Natsir diibaratkan oleh mereka merasakan adanya ledakan Bom atom ke 3 yang di jatuhkan tepat di kota Tokyo.

Integritas Moral Dalam Kekuasaan

Mengapa kita perlu flash back melihat kekuasaan di masa lalu sebagaimana kisah HM Natsir? Penulis hanya dapat merasakan, betapa kisah-kisah kekuasaan yang diamanatkan kepada para Pendiri Bangsa Indonesia, khususnya Tokoh-Tokoh Muslim telah demikian jauh ditinggalkan oleh perasaan dan pandangan hidup politik pada masa kini. Tema penting politik kekusaan saat ini kurang lebih adalah kemewahan harta dan kemewahan kekuasaan. Mungkin saja masih terdapat person-person yang bisa terhindar dari tema kekuasaan semacam ini. Tapi orang-orang itu akan dicap sebagai naif (untuk memberi gambaran minimalnya) atau bahkan sebagai orang bodoh. Saya tidak berani menggunakan istilah yang sedang heboh.

Akibat cara pandang politik kekuasaan yang demikian ini maka imbasnya adalah money politics sebagi intrumen taktis pemenangan. Money politics sudah tidak lagi dianggap sebagai barang haram. Dalam praktiknya, amat sangat jarang ada orang atau partai dilaporkan kepada Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu: Bawaslu-Kepolisian dan Kejaksaan) pada saat Pemilu Legislatif, Pilpres maupun Pilkada. Padahal realitanya, semua hajatan politik itu selalu marak dengan money politics yang mungkin saja sudah dipandang sebagai keharusan. Retorika pembenarnya menggunakan adagium “kalau Anda akan berkuasa maka Anda harus bergelimang harta.”

Bolehkah Orang Miskin Memiliki Kekuasaan

Jawaban atas pertanyaan ini penulis ambil dari kisah nyata dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 247 Allah Swt berfirman yang artinya; “Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Talut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu darinya dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi) menjawab, “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.” Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui” (QS. 2: 247).

Logika politik atau malah sudah menjadi tradisi politik saat ini ibarat pepatah Jawa yang kurang lebih isinya menyatakan: “Golek Banyu Nggowo Banyu – Golek Geni Nggawa Geni.”. Sebagai pepatah, tentu ini bukan panduan berpikir apalagi bertindak. Tetapi saat ini praktik itulah yang betul-betul terjadi dalam dunia politik kekuasaan. Jika seseorang akan maju menjalani jihad politik (karena tidak punya harta yang cukup) maka peluangnya 9 : 1. Sembilan kemungkinan tidak jadi. Satu kemungkinan jadi, yakni ketika Allah Swt menakdirkan dia memperoleh amanat kekuasaan, menjadi pejabat publik. Sebab itu, orang miskin bisa berkuasa atu-satunya jalan itu Kuasa Allah Swt,

Analisis terhadap situasi politik sebagaimana tergambarkan diatas ada beberapa hal. Pertama, mengapa money politics begitu massif adalah karena jabatan sudah tidak lagi dilihat sebagai area suci perjuangan yang dalam bahasa canggih sebagai mission sacre. Kedua, akibat dari situasi ini maka pejabat yang memperoleh amanat dari kekuatan harta, cenderung tidak, atau paling tidak kurang, memikirkan kesejahteraan rakyat. Hal yang terus dipikirkan adalah kemewahan dirinya dan “kesejahteraan” relawannya. Ketiga, tradisi money politics cenderung melestarikan kemiskinan. Karena dari kondisi masyarakat miskin, yang tergantung kepada ekonomi kucuran dari para calon pejabat publik, maka dukungan publik diperoleh dengan mudah. Tidak ada debat. Tidak ada pemikiran. Wallahu a’lamu.

Dr Immawan Wahyudi, MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (FH UAD)

Exit mobile version