Memerdekakan Hati sebagai Refleksi Substansial Hari Kemerdekaan
Oleh: Agusliadi Masssere
Berbagai kegiatan, diskusi maupun tulisan dihadirkan sebagai refleksi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. Tanpa kecuali tulisan-tulisan yang berbentuk “status” di akun media sosial masing-masing anak negeri, yang tentu saja, ini adalah percikan kecintaan kepada bangsa dan negaranya.
Hal di atas menjadi penting, minimal sebagai upaya untuk meng-upgrade dan meng-update semangat atau spirit kemerdekaan, yang harapan mulianya mampu menjadi jalan atau minimal pemantik untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik ,dan lebih maju pada masa yang akan datang. Tema besar yang diusung kali ini adalah “Terus Melaju untuk Indonesia Maju”.
Bagi saya, berbagai refleksi yang ada tanpa kecuali tema yang sedang diusung kali ini atau tema-tema HUT Kemerdekaan yang telah berlalu, dan sejatinya menjadi tonggak untuk melanjutkan langkah selanjutnya dalam mengisi kemerdekaan, tidak akan pernah cukup—untuk tidak mengatakan akan selalu gagal—tanpa terlebih dahulu memerdekakan hati.
Idealnya “Memerdekakan hati” atau upaya memerdekan hati adalah refleksi substansial setiap Hari-Kemerdekaan. Pernyataan dan argumentasi ini memiliki beberapa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan jika merujuk pada pandangan dan pemikiran yang otoritatif.
Secara konstitusional, modal ideologis, modal sosial, modal teologis, dan bahkan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa dan negara Indonesia, sudah lebih dari cukup untuk mewujudkan bangsa dan negara yang bisa menjadi kiblat peradaban bagi bangsa-bangsa dan negara lain. Secara historis pun—yang sejatinya memberikan efek psikologis yang positif, produktuf, dan konstruktif—kemerdekaan Indonesia adalah buah dari perjuangan melawan penjajah, bukan “hadiah” atau “pemberian” dari dari bangsa dan negara lain. Berbeda dengan beberapa bangsa dan negara lain, kemerdekaannya diperoleh dari hasil “pemberian” atau “hadiah”, dan ada pula “mengusir” penduduk asli.
Namun, kenyataannya bangsa dan negara kita, Indonesia masih diwarnai persoalan kolosal yang krusial dan berpotensi menggerogoti harapan masa depan. Ini sangat paradoksnya dengan berbagai modal yang dimiliki sebagaimana disebutkan di atas. Sebagaimana telah pernah disebutkan oleh Hajriyanto Y. Thohari (2015), bangsa kita mengalami apa yang disebut dengan cultural lag dan cultural shortage.
Bahkan jika memahami salah satu pandangan atau percikan pemikiran Yudi Latif, kemudian kita mengonfirmasi dalam kehidupan empirik atau realitas sosial, sepertinya akan ditemukan penyebab “Mengapa nilai-nilai Pancasila sulit tumbuh subur”—padahal ini adalah modal ideologis yang kokoh dan dahsyat bahkan Soekarno menyebutnya ideologi par excellence—karena “the love of power” (cinta kekuasaan) masih lebih mendominasi ketimbang “the power of love” (kekuatan cinta).
Ketika “cinta kekuasaan” (the love of power) merusak berbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk merusak modal-modal besar yang dimiliki Indonesia, di sinilah ruang relevansi dan urgensi “memerdekakan hati” atau “kemerdekaan hati”. Anak negeri baik secara personal maupun secara kolektif harus merivitalisasi dan mengkristalisasi Kemerdekaan-Hati.
Ajaran Islam telah menegaskan “Sesungguhnya pada diri manusia itu ada segumpal daging (mudhghah) yang apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak niscaya akan rusak pula seluruhnya”. Yang dimaksud berpotensi akan baik atau rusak di sini termasuk pula sikap dan perilakunya. Ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Fungsional dan implikasi besar dari modal-modal yang telah disebutkan pada uraian awal di atas, saya yakin para sahabat pembaca menyadari bahwa itu sangat ditentukan oleh dimensi humanware, dimensi manusianya. Mengelola bangsa dan negara tidak cukup dengan mengandalkan modal di luar dimensi manusia, termasuk secanggih apapun perkembangan teknologi informasi dan digital—tanpa kecuali dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence)—hari ini.
Manusia, orang-orang, warga atau masyarakat yang hidup dalam suatu bangsa dan negara masih menjadi pengendali utama. Yang lainnya, hanya bersifat instrumen atau lebih tinggi maqamnya sebagai hal paradigmatik. Hal ini pun secara tidak langsung menegaskan bahwa sikap dan perilaku manusia yang akan menentukan seperti apa bangsa dan negara tersebut.
Di sinilah ditemukan garis relevansinya dengan apa yang pernah diungkapkan oleh John C. Maxwell bahwa “Masa depan suatu bangsa dan negara, sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku generasi mudanya”. Berbagai keruasakan adalah buah dari perbuatan. Perbuatan penggerak utamanya adalah sikap. Sikap adalah kecenderungan hati.
Hati, pada hakikatnya memercikkan suara ilahiah. Hanya saja banyak hati yang tidak merdeka, mengalami belenggu, sehingga suara kebenaran, suara kebaikan, suara ilahiah tidak mampu lagi didengar atau pun suara yang didengar darinya telah mengalami bias dari belenggu yang menutupinya: kepentngan pribadi, prinsip hidup yang keliru, literatur yang salah, sudut pandang yang sempit, dan beberapa belenggu hati lainnya.
Ketika para elit bangsa menyuarakan pentingnya pembanguann karakter, maka yang harus disadarinya bahwa membangun karakter itu harus bermula dari menata hati, atau menyucikan hati dari belenggu yang menutupinya. Dr. Asep Zaenal Ausip, M.Ag pun—penulis buku Islamic Character Building (2014)—bahwa “Karakter adalah kecenderungan hati (sikap) yang diikuti oleh perilaku (behavior).
Jika kita menyadari dan mau jujur mengakui, masih banyak elit bangsa dan negara kita yang belum mampu “memerdekakan hati”-nya. Bukan berarti mereka mengalami ketertindasan lalu dimaknai tidak mengalami kemerdekaan hati, tetapi jika mereka menindas rakyatnya, itu sesungguhnya jika memahami hakikatnya belum mampu memerdekakan hatinya.
Masih banyak elit bangsa yang the love of power (cinta kekuasaan)-nya yang lebih mendominasi dalam dirinya. Mereka berkuasa dengan gaya antitesa dari “Berkuasa dengan Benar”. Termasuk pula jika segala kebijakannya hanya diorientasikan pada kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya.
Ada banyak yang berkuasa, yang melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggungjawabnya dengan melanggar prinsip-prinsip, kode etik yang mengikat kelembagaan dan personalnya. Termasuk, dan ini yang lebih parah, adalah melanggar sumpah dan janji jabatannya. Apatah lagi keberadaan dan amanah negara yang diembannya di dalamnya terpatri mandat kedaulatan dari rakyat.
Berpegang teguh atau tidak pada prinsip-prinsip dan kode etik yang mengikat secara kelembagaan dan personal dalam sebuah amanah negara, termasuk pada kekokohan mengkristalisasi sumpah dan janji jabatan, sebenarnya ini berada dalam mekanisme kerja “hati”. Artinya jika dijalankan dengan benar, baik dan patut, berarti fungsi hati, suara kebenaran, suara kebaikan, dan suara ilahiah dari hatinya masih mampu didengar dengan baik. Dan sebaliknya, saya yakin para sahabat pembaca mampu memaknainya.
Sama halnya, ketika korupsi menjadi persoalan besar dan salah satu perusak utama dan dahsyat dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia, sesunguhnya pemicu utamanya karena hati pelakunya sedang bermasalah. Sedang terbelenggu, sehingga suara kebenaran, kebaikan dan ilahiar darinya tidak mampu lagi didengar dengan baik atau mengalami bias.
Yakin saja, jika hati kita mengalami kemerdekaan maka suara kebenaran, kebaikan, dan ilahiah darinya mampu didengar. Dan ketika suara-suara ini mampu didengar maka yakin saja, tidak akan ada lagi yang berkuasa dengan cara yang tidak benar. Tidak ada lagi oknum-oknum yang dengan sadar dan sengaja melakukan pengingkaran dan pelanggaran atas prinsip-prinsip dan kode etik yang mengikat kelembagaan dan personalnya. Apatah lagi, tidak akan ada yang mau melanggar sumpah dan janji jabatannya dalam menjalankan amanah rakyat dan amanah negara.
Demi kemajuan bangsa dan negara kita, marilah kita terlebih dahulu masing-masing secara personal memerdekakan hati kita. Setelah itu semoga kita semua sebagai wujud kecintaan kepada bangsa dan negara Indonesia akan merasakan kemerdekaan hati secara kolektif. Ingat penindas, atau para pelaku “kekuasaan” yang tidak benar adalah orang-orang yang tidak mengalami kemerdekaan hati. Hatinya terbelenggu, minimal oleh kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan. Hatinya terbelenggu prinsip hidup yang keliru, sesaat, hedonis, pragmatis dan duniawi.
Hatinya terbelenggu oleh sudut pandang yang sangat sempit. Hatinya terbelenggu oleh literatur yang merusak hatinya sendiri.
Agusliadi Masssere, Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng Periode 2014-2018. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023