Makian Dilihat dari Berbagai Perspektif

Immawan Wahyudi

Foto Istimewa

Makian Dilihat dari Berbagai Perspektif

Oleh : Immawan Wahyudi

Bolehkah Orang Memaki?

AKHIR-AKHIR dunia media kita banyak mengungkap kata-kata makian yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh maupun oleh rakyat biasa. Tulisan ini mencoba mengumpulkan berbagai pendangan dan penelitian tentang makian karena perlunya kita memahami sesuatu secara lebih komprehensif untuk menghindari klaim kebenaran sepihak. Bahkan sebenarnya memaki dilarang oleh agama (Islam).

Namun jika dengan alasan tertentu Allah Swt membolehkan ungkapan makian sebagaimana firman Allah (an-Nisa’: 148):  لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَــهْرَ بِا لسُّوْٓءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۗ وَكَا نَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا. Artinya; “Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Makna firman Allah Swt tersebut, menurut tafsir Ibnu Katsir, yang disandarkan kepada Ibnu Abbas adalah bahwa Allah tidak menyukai orang yang berdoa untuk kecelakaan orang lain. Akan tetapi jika ia merasa teraniaya itu adalah haknya, boleh melakukannya. Akan tetapi jika ia dapat menahan diri dan bersabar maka hal itu lebih baik.

Apa Untungnya Memaki?

Masyarakat pada umumnya   mengkategorikan makian sebagai hal negatif dan merugikan. Hal ini ternyata tidak sepenuhnya benar.  Menurut Timothy Jay, profesor emeritus psikologi di Massachusetts College of Liberal Arts, yang telah mempelajari ungkapan kasar selama lebih dari 40 tahun, mengatakan, “Ada banyak keuntungan dari mengutarakan kata-kata kasar.” Menurutnya dalam dua dekade belakangan baru terungkap manfaat dari kata-kata kasar.  “Manfaat mengutarakan kata-kata kasar baru muncul dalam dua dekade terakhir, sebagai hasil dari banyak penelitian tentang otak dan emosi, bersama dengan teknologi yang jauh lebih baik untuk mempelajari autonomi otak,” kata Timothy.

Timothy mengungkapkan terdapat lima keuntungan dari perilaku memaki sebagaimana penulis kutip dari Liputan6.com, sebagai berikut. Pertama, mengutarkan kata-kata kasar mungkin merupakan tanda kecerdasan. Dalam hal ini didasarkan pada  studi pada 2015 menemukan bahwa orang yang berpendidikan baik dengan banyak kosakata yang dapat mereka gunakan lebih baik dalam menghasilkan kata-kata yang berunsur makian daripada mereka yang kurang fasih secara verbal. Kedua,   mengutarkan kata-kata kasar mungkin tanda kejujuran. “Ketika Anda secara jujur mengekspresikan emosi Anda dengan kata-kata yang kuat, Anda akan terlihat lebih jujur,” kata Jay.

Ketiga, kata-kata kasar meningkatkan toleransi sakit. Menurut penelitian, jika Anda sedang melakukan olahraga intens, berkata kasar dapat membantu manambahkan kekuatan daripada jika anda menggunakan kata-kata “netral.” Keempat, mengutarkan kata-kata kasar adalah Tanda kreativitas. Hal ini didasarkan pada buku “Swearing Is Good for You” karya Emma Byrne, yang  mengutarkan bahwa kata-kata kasar tampaknya berpusat di sisi kanan otak yaitu bagian otak yang sering disebut “otak kreatif”.

“Kami tahu bahwa pasien yang mengalami stroke di sisi kanan cenderung menjadi kurang emosional, kurang dapat memahami dan menceritakan lelucon, dan mereka cenderung berhenti mengumpat meskipun sebelumnya mereka sering bersumpah.” Kelima,  melontarkan kata-kata kasar sebagai pengganti pukulan. Mungkin kami memilih untuk mengatakan kata-kata kasar untuk memberikan keuntungan evolusioner yang dapat melindungi kita dari bahaya fisik, ungkap Timothy.

Mengapa Makin Banyak Orang Memaki

Mencermati berbagai sebab mengapa orang memaki akan relefan kiranya jika memahami makna mendalam surat an-Nisa’ tersebut diatas. Namun kita perlu tahu, adakah sesuatu hak yang dilanggar oleh orang yang dimaki baik secara personal maupun secara kolektif? Ataukah makian itu sebagai ungkapan kesombongan atau tantangan. Dari dua motif ini akan memberi makna  dari makian, apakah itu makian yang dibolehkan ataukah makian yang dilarang. Berikut ini penulis kutipkan kesimpulan penelitian yang bagus Saudara Arfan Rauf dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar yang melakukan penelitian dengan tema “Dampak Psikologis Makian  Bahasa Indonesia  Ditinjau Dari  Strata Sosial Masyarakat Bahasa.”

Berdasarkan  penelitian Saudara Arfan Rauf,  makian digunakan pada dasarnya untuk keperluan mengintimidasi, menguasai, melindungi diri, menghina, melepas beban jiwa, mempererat persahabatan, identitas kelompok sosial, dan pengganti jeritan. Sedangkan, makian dilihat dari segi motivasi pemanfaatannya, maka kemunculan makian dalam komunikasi diklasifikasi sebagai berikut:

(1) ekspresi kepentingan yang tidak tercapai, (2) adanya tekanan psikologi yang kuat, dan (3) sekedar pelampiasan beban jiwa, atau sekedar bercanda. Adapun, bentuk-bentuk makian yang sering digunakan dalam berinteraksi sosial adalah (1) makian berbentuk kata, (2) makian berbentuk frase, dan (3) makian berbentuk klausa. Dilihat dari referensi atau rujukan kata-kata makian bahasa Indonesia, umumnya berasal dari: (1) keadaan, (2) binatang, (3) makhluk halus, (4) benda, (5) bagian tubuh, (6) kekerabatan, dan (7) profesi.

Secara psikologis, penggunaan makian dalam berkomunikasi tidak selamanya berdampak negatif, sekalipun pada umumnya efek makian berdampak negatif jauh lebih besar dibandingkan dengan efek makian yang berdampak positif. Efek makian dapat berdampak positif, jika makian tersebut digunakan sekedar untuk melepaskan beban jiwa yang mendera, atau sekedar untuk mengekspresikan kekaguman, keheranan, untuk identifikasi sosial, keakraban, atau hanya sekedar pengganti jeritan.

Bahkan, makian yang seperti ini dianggap dapat mengurangi beban psikologis (stress) seseorang. Sebaliknya, efek makian dapat berdampak negatif, apabila makian tersebut dimanfaatkan secara berlebihan. Efek negatif tersebut berpengaruh buruk, baik pada pelakunya maupun kepada individu yang senantiasa menerima makian. Efek negatif pada pelaku adalah, mencenderungkan individu berkarakter marah dan menyebabkan seseorang kehilangan kontrol emosi, yang berakhir pada jatuhnya martabat.

Selain itu, efek buruk makian lainnya pada pelaku adalah tercorengnya nama baik instansi, maupun identitas sosial pelaku dalam pandangan masyarakat umum. Efek buruk lainnya, adalah gejala dan sumber awal masuknya berbagai macam penyakit kronis. Sedangkan efek buruk yang didapatkan penerima makian adalah, terbentuknya karakter latah (sikap menyerah dan pesimis), atau hilangnya karakter produktivitas seseorang. Orang yang keseringan menerima makian, rasa kepercayaan pada dirinya menjadi hilang, mudah menyerah, bermental lemah, gelisah, dan umumnya merasa enggan untuk beriteraksi dengan orang di sekitarnya, atau lebih cenderung untuk menutup diri.

Memaki oleh Siapa, kepada Siapa, dan  Tujuannya Apa

Dilihat dari berbagai hasil penelitian diatas ternyata mengucapkan makian tidak bisa dilihat secara sederhana dan bersifat hitam putih baik dan buruk saja. Memaki akan menjadi berifat netral, jika diutarakan oleh orang yang terdzolimi sebagaimana penulis kutip dari surat an-Nia’ ayat 148. Memaki juga harus dihubungkan dengan siapa orang yang jadi obyek makian.

Maksudnya person-person yang telah banyak menimbulkna kerugian masyarakat akan sangat terbuka untuk dimaki karena perilaku buruknya. Sedangkan tujuan dari makian tidaklah sesimpel dari persepsi masyarakat selama ini yang bersifat tunggal yakni merendahkan orang yang dimaki. Sebab, ada juga alasan yang  mendasar mengapa seseorang mengucapkan makian.*

Dr. Drs. Immawan Wahyudi, MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (FH UAD)

Exit mobile version