MAKASSAR, Suara Muhammadiyah – Lazimnya, Pondok Pesantren dipimpin oleh seorang Kiyai atau ulama yang memiliki pengetahuan agama Islam yang dalam. Ataupun dipimpin oleh lulusan pondok pesantren dan alumni sarjana agama agama di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Selama satu hari penuh, kami melaksanakan rapat koordinasi LP2M PWM Sulsel dengan Mudir Pesantren Muhammadiyah dan Aisyiyah se-Sulawesi Selatan. Rakor ini membahas tentang upaya pengembangan pesantren Muhammadiyah, termasuk pondok tahfiz dan boarding school.
Kurang lebih seratus orang menghadiri rakor yang dilaksanakan di Aula Al Beer Unismuh Makassar. Peserta terdiri atas pimpinan pondok pesantren dan pengurus LP2M Sulawesi Selatan. Saya sendiri hadir sebagai Wakil Ketua LP2M PWM Sulsel.
Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Dr. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I. Dalam amanahnya, mengatakan bahwa pesantren Muhammadiyah harus lebih memberi arti bagi umat dan bangsa.
Ditambahkan oleh Ketua LP2M PWM Sulsel, K.H. Luqman Abdus Samad, Lc., bahwa pengelolaan Muhammadiyah harus lebih profesional dan terfokus. Tidak boleh lagi ditangani secara sambilan. Sebagai dicontohkan pondok pesantren Muhammadiyah di Jawa yang awalnya dikelola kader-kader Muhammadiyah. Sekarang sudah maju dan berkembang.
Mudir atau perwakilan pondok pesantren antusias mengikuti acara ini. Tampak Ustaz Amiruddin Bakri dari Luwu. Ada juga Ustaz Muhammad Adnan dari Banteng, serta utusan lainnya, yang sebagian besar adalah kader-kader tulen Muhammadiyah.
Di antara peserta yang hadir dalam rakor yang cukup mendapat perhatian adalah Prof. Dr. H. Syamsir Dewan, M.Sc. Dia merupakan pimpinan Muhammadiyah Boarding School Makassar. Jabatan sebagai pimpinan baru diterimanya dalam dua bulan terakhir.
Beliau adalah guru besar Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin. Menyelesaikan program doktoralnya di Jepang dan pernah terpilih sebagai dosen terbaik di Sulawesi Selatan.
Agak terasa aneh memang. Tapi itulah di Muhammadiyah dan boleh dikatakan sebagai salah satu pembeda dengan pondok pesantren lain. Dia bilang tak pernah terpikirkan akan menjadi mudir pesantren. Saya “dipaksa”, katanya.
Jangan tanyakan tentang honor atau pemasukan yang dia terima. Siswa dapat belajar dengan baik dan gurunya menerima honor, sudah lebih dari cukup.
Satu visinya sebagai mudir pesantren ini, sangat berbeda dengan pesantren lain. Beliau menargetkan dalam tahun ke depan akan mewujudkan pesantren internasional. Kerja sama sekolah di Jepang, Australia dan Eropa sedang dirancang. Santri pada satu dua semester akan dibawa keluar negeri belajar selama beberapa bulan. (Haidir Fitra Siagian)