Ali bin Abi Thalib dan Munculnya Syi`ah (Bagian ke-1)

Ali bin Abi Thalib dan Munculnya Syi`ah (Bagian ke-1)

Oleh: Donny Syofyan

Sejak perdebatan menyangkut suksesi pasca wafatnya Rasulullah tentang siapakah yang pantas jadi khalifah—antara Abu Bakar dan Ali bin Thalib—Ali mendapatkan pengikut dengan jumlah yang relatif besar. Terlepas dari fakta bahwa Ali tetap setiap dan mendukung tiga khalifah berikutnya, para penyokongnya tetap berkeyakinan bahwa Ali adalah satu-satunya penerus terpilih dan sah dari Nabi Muhammad SAW.

Menurut kaum Syi`ah, sepanjang masa pemerintahan tiga khalifah sebelumnya keluarga Ali ditekan dan hak miliknya dirampas. Ini semua berdampak kepada keguguran yang dialami bahkan wafatnya Fathimah. Kaum Sunni menyatakan bahwa tuduhan perampasan hak milik keluarga Ali ini dibuat-buat, sementara keguguran yang dialami bahkan wafatnya Fathimah karena kecelakaan.

Terlepas dari itu semua, Ali adalah pendukung utama ketiga khalifah dan tampil sebagai penasihat politik dan keagamaan yang cemerlang selama periode kepemimpinan khalifah-khalifah sebelumnya. Sebagai contoh, Ali adalah tokoh kunci yang mengusulkan bahwa penanggalan kalender Islam atau hijriah yang berdasarkan peredaran bulan diawali dengan peristiwa hijrahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah. Di sela-sela waktunya, Ali berkhotbah dan berceramah. Lambat laut pengikutnya bertambah banyak dan mereka menamai kelompok mereka sebagai partai, partisan  atau pengikut Ali, yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai Syi`ah.

Mereka menyebut Ali sebagai imam. Bila kelompok Sunni memiliki khalifah, kaum Syia`ah memiliki imam. Definisi imam ini berbeda antara kaum Sunni dan Syi`ah.

Ketika ditunjuk sebagai khalifah, ihwal pertama yang diperbuat oleh Ali adalah menyampaikan pidato di depan umat. Ia menerima mandat sebagai khalifah di masa sulit. Ia menyiratkan bakal mencari pembunuh Utsman dan mengadilinya. Tapi ia juga menandaskan bahwa ada hal lain yang sama pentingnya dengan menegakkan keadilan, yaitu stabilitas politik dan persatuan di kalangan umat. Sebelum mengusut pembunuh Utsman dari kalangan delegasi Mesir yang memprotes Utsman di ibukota Madinah, Ali menjelaskan bahwa delegasi Mesir itu sebelumnya adalah korban yang sahih dan protes mereka seputar korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, nepotisme, monopoli, dan aristokrasi telah berurat-berakar dalam tubuh pemerintahan.

Ali menyatakan bahwa ia hendak memprioritaskan menyudahi eksploitasi ekonomi, korupsi dan materialisme yang dipertontonkan atas nama Islam. Untuk membersihkan korupsi di tubuh pemerintahan, Ali perlu membalikkan atau membongkar semua kebijakan Utsman. Masalahnya selama dua belas tahun era kepemimpinan Utsman, kelas elit baru Muslim telah muncul. Mereka tak sudi kehilangan kekuasaan, kekayaan dan privilese yang telah dinikmati. Dalam perspektif elit Muslim, Ali adalah ancaman bagi kekuasaan dan gaya hidup mereka. Karenanya, tokoh-tokoh utama elit Muslim di Madinah menarik diri dari ibukota dan bergabung di bawah panji-panji kekuasaan gubernur Syria di Damaskus, Mu`awiyah. Ia adalah figur utama dari bani Umayyah. Karena Ali dianggap sebagai ancaman bagi elit Muslim, Mu`awiyah tampil menjadi patron atas kekayaan dan keselamatan mereka. Ini melahirkan persoalan baru dalam kekhalifahan.

Kisah yang berbeda tersebar di Damaskus. Sebagai politisi yang cekatan, Mu`awiyah berkhotbah dan mengadakan arak-arakan guna meraih dukungan buat kepentingannya. Secara terang-terangan ia meminta aksi balas dendam atas terbunuhnya khalifah Utsman. Ia menolak ber-bay`at kepada khalifah yang baru dipilih, Ali bin Abi Thalib. Ia meminta Ali mundur sebagai khalifah karena ketidakmampuannya mengembalikan keamanan. Padahal Mu`awiyah sadar bahwa aksi balas dendam ini tidak realistis karena tak seorang pun mengetahui siapa pembunuh Utsman dan siapa yang melepaskan anak panah pertama kali.

Persoalannya tidak sesederhana itu. Tidak ada pasukan di Madinah dan massa masih menguasai jalan-jalan di kota Madinah. Ali tidak menguasai keadaan dan tuntutan atas dirinya. Mu`awiyah memainkan apa yang menjadi plot klasik dalam politik: ajukan tuntutan yang rasional tapi susah dipenuhi oleh musuh Anda dengan tujuan untuk mempermalukannya di mata masyarakat. Segera sesudah dipilih, Ali melangkah ke depan memulai reformasi pemerintahan. Ia mengganti semua gubernur yang diangkat oleh Utsman dengan orang-orang baru. Sayangnya tak seorang pun dari gubernur itu yang mau turun. Desakan Mu`awiyah atas aksi pembalasan atas kematian Utsman begitu meyakinkan sehingga istri Rasulullah `A’isyah yang dikenal sebagai Ummul Mu’minîn (Ibunya Orang Beriman) berpidato di hadapan masyarakat di Mekah dan menuntut pembalasan atas darah Utsman demi membersihkan nama baik Islam.

Maksud dari pidato `A’isyah ini masih diperdebatkan hingga kini. Tapi sejarawan modern meyakini bahwa tujuan pidato ini adalah ajakan untuk perang. Pertanyaannya, kepada siapa? Dengan dukungan finansial dari Mu`awiyah, `A’isyah bergerak mengumpulkan pasukan dan mengadakan kampanye militer. Pada masa itu, delegasi Mesir yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman sudah menyebar ke mana-mana. Ada yang melarikan diri ke kota Bashrah, selatan Irak. Lalu pasukan `A’isyah bergerak menuju ke sana. Dengan mudah pasukan ini menghancurkan delegasi Mesir itu yang sudah bergabung dengan pemberontak lokal dan menaklukkan kota itu dalam waktu yang tidak lama. Keberadaan pasukan `A’isyah dan kedekatan `A’isyah dengan Mu`awiyah membuat orang percaya bahwa `A’isyah menuntut mundurnya Ali dari kursi kekuasaan atas nama keadilan untuk menuntut balas kematian Utsman.

Dalam waktu yang bersamaan, rumor beredar bahwa Ali telah berkonspirasi mendongkel Utsman dalam upayanya merebut kekuasaan. Bagi Ali ini adalah pukulan terakhir (final stroke). Tampaknya kekhalifahan akan kolaps dari dalam. Ia tak punya kontrol atas kekhalifahan. Wewenangnya diabaikan oleh kelompok elit. Desas-desus menyebar kencang bahwa dialah pembunuh khalifah Utsman sebenarnya. Berbagai pasukan dibentuk guna merebut kekuasaan di mana-mana. Menghadapi kesemrawutan suasana ini, Ali mau tak mau harus melakukan tindakan tegas, yaitu membentuk pasukan dan siap tempur menentang pasukan `A’isyah—(bersambung).

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version