Oleh: Donny Syofyan
Umat bingung karena masing-masing pihak mengklaim berjuang demi keadilan dan Islam dan kini dua pasukan Muslim melangkah menuju medan laga. Tatkala Ali membawa pasukannya menuju utara, banyak suku bergabung dengannya sepanjang perjalanan. Ini menjadikan pasukan Ali makin besar. Mengingat baik pasukan Ali maupun `A’isyah sama-sama dibentuk oleh sukarelawan, mereka gampang diinfiltrasi oleh massa, termasuk oleh bekas-bekas delegasi Mesir yang telah menyebar ke banyak daerah.
Manakala khalifah Ali dan pasukannya sampai di Bashrah, ia mengutus seorang jendral terbaik dan paling dipercayainya untuk berdialog dengan pasukan `A’isyah untuk gencatan senjata. Tanpa diduga, upaya ini berhasil. `A’isyah mengakui bahwa ia tak percaya dengan keterlibatan Ali dalam pembunuhan Utsman. Lebih lanjut `A’isyah juga mengakui ikut andil memperparah situasi yang memang sudah tegang. `A’isyah meletakkan senjatanya dan bergabung dengan pasukan Ali. Mereka sepakat untuk mendiskusikan syarat-syarat gencatan senjata esoknya. Pasukan kedua belah pihak menerima dan merayakan berita ini.
Titik sejarah ini menjadi semacam pengakuan bagi kedua tokoh. Terlepas dari ketegangan yang ada, keduanya sama-sama berkepala dingin dan beranjak mengambil kesepakatan. Namun demikian, mengingat kedua belah pasukan sudah disusupi oleh massa lain termasuk dari bekas delegasi Mesir sebelumnya, penyusup bersekongkol dan memprovokasi pasukan kedua belah pihak. Akibatnya, masing-masing berupaya menyeberang dan menyerang tenda pasukan lawan. Mereka mulai membakar tenda dan melakukan serangan secara mendadak. Para prajurit masing-masing kubu merasa dikhianati oleh kubu sebelah.
Sebelum Ali dan `A’isyah turun, pertempuran sudah all-out. Di tengah pertempuran itu, `A’isyah menerobos ke medan laga dengan mengendarai onta dan memandu pasukannya. Sejak itu, pertempuran itu dinamakan Perang Unta (معرکة الجمل, ma`rakatul jamal). Sekitar 10.000 orang pasukan kedua belah pihak meregang nyawa dalam pertempuran itu. Di akhir pertempuran, `A’isyah ditangkap dan Ali tampil sebagai pemenang. Ujungnya Ali dan `A’isyah membicarakan peristiwa yang telah berlaku dan berdamai satu sama lain. `A’isyah kembali ke Madinah dan kemudian menjadi salah satu tokoh paling terkenal dan paling dihormati dalam Islam.
Hal yang berbeda terjadi bagi Ali. Ia tidak bisa rehat dan tinggal di Madinah sebab ia masih harus menghadapi pasukan Mu`awiyah di Damaskus. Perlu dicatat bahwa di saat itu penduduk Syria berbeda dengan penduduk Mesopotamia. Sebelum kekhalifahan Islam, kawasan Levant dan Mesopotamia adalah masyarakat yang membenci satu sama lain (sworn enemy) karena warga Damaskus atau Levant dahulunya adalah bagian kekaisaran Bizantium. Ali memindahkan ibukota ke Kufah sebagai reward bagi masyarakat setempat yang menyokong Ali. Ini mendatangkan kemarahan bagi masyarakat di kawasan Levant yang masih melihat daerah-daerah bekas jajahan Persia sebagai musuh historis mereka. Garis pembatas antara Ali dan Mu`awiyah terpisah sepanjang garis daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Bizantium dan Persia.
Mu`awiyah sebagai gubernur Damaskus yang merupakan kawasan Lavant memanfaatkan dan memanipulasi hal ini. Lewat dukungan masyarakat, Mu`awiyah memobilisasi dan mengirimkan pasukannya dan menghadapi pasukan Ali di medan pertempuran. Enam bulan setelah Perang Unta, tepatnya pada tahun 657M, pasukan Ali dan Mu`awiyah berhadap-hadapan di pinggir sungai Eufrat. Pasukan Ali menguasai daerah pinggir sungai. Ada kebuntuan lebih kurang sebulan terlepas adanya sejumlah pertempuran kecil meletus.
Masing-masing pihak menahan diri untuk tidak menyerang besar-besaran demi mencegahnya pertumpahan darah. Tapi ini tak bertahan lama, dan akhirnya pembunuhan massal tak dapat dihindari. Pertempuran ini berlangsung selama empat hari dan merenggut nyawa 70.000 orang di kedua kubu. Pada pertempuran terakhir, pasukan Ali mengintensifkan serangannya dan memenangkan pertempuran. Pasukan Ali menghancurkan barisan tentara Mu`awiyah. Peristiwa ini dikenal sebagai Perang Shiffîn (صفين).
Dalam keputusasaan untuk membalikkan keadaan, Mu`awiyah melancarkan strategi baru. Ia menyuruh beberapa anggota pasukannya mengangkat lembaran-lembaran Al Qur’an dan melakukan pawai ke arah pasukan Ali. Pembawa lembaran-lembaran Al Qur’an ini diikuti oleh orang-orang yang membaca ayat-ayat suci ini dibelakangnya. Strategi intimidatif ini berjalan dengan baik. Pasukan Ali menurunkan senjatanya begitu menyaksikan pasukan Mu`awiyah mengangkat Al Qur’an. Sejumlah anggota pasukan bahkan mengancam Ali untuk mengadakan negosiasi. Taktik ini berhasil meredam Ali untuk membatalkan serangan dan mediasi/arbitrasi pun terjadi. Banyak pihak berharap Mu`awiyah akan menyerah dengan sejumlah jaminan.
Apa yang justru terjadi Mu`awiyah mengusulkan ia tetap menjadi penguasa Damaskus dan Mesir dan Ali memerintah selebihnya. Mengetahui bahwa ia sudah berada di ujung kemenangan, bagi Ali apa yang dinyatakan Mu`awiyah ini adalah usulan bodoh. Ia tegas menolaknya. Namun Mu`awiyah adalah seorang penguasa dan politisi yang membangun kursi dan kekayaannya dengan akalnya. Yang menjadi tujuan utama bukanlah usulan tapi negosiasi.
Dengan menyetujui berunding dengan Mu`awiyah, maka sesungguhnya Ali bin Abi Thalib tanpa sengaja telah menjatuhkan statusnya sebagai khalifah yang sah dan meningkatkan posisi tawar serta klaim Mu`awiyah atas Syria dan Mesir. Bagi Mu`awiyah, apa pun hasilnya tidak lah begitu penting sebab secara de facto Mu`awiyah tetap sebagai penguasa Syria dan Mesir. Secara politik itulah yang terjadi, seorang gubernur telah menskakmati (checkmate) sang khalifah.
Ketika Ali dan pengikutnya kembali ke ibukota baru Kufah, sekelompok besar pasukan (lebih kurang 12.000 orang) memisahkan diri dari pasukan utama. Mereka adalah kelompok orang yang sama yang pernah mengancam Ali untuk mengadakan negosiasi dengan Mu`awiyah. Kelompok ini cekcok dengan Ali dan menuduh Ali telah berkhianat kepada Islam dengan menyetujui gencatan senjata dengan Mu`awiyah. Komandan kelompok ini berdalih bahwa mereka menentang Mu`awiyah sebab mereka percaya bahwa Ali adalah khalifah yang sah. Kini mereka juga menentang Ali karena menyerahkan otoritasnya yang sah kepada perundingan—(bersambung).
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas