Pemuda Episentrum Perubahan: Pemilu 2024 sebagai Momentum Strategis

Pemuda Episentrum Perubahan: Pemilu 2024 sebagai Momentum Strategis

Pemuda Episentrum Perubahan: Pemilu 2024 sebagai Momentum Strategis

Oleh: Agusliadi Massere

Dalam banyak catatan sejarah, pemuda seringkali digambarkan sebagai sosok yang memainkan peran strategis untuk perubahan dan bahkan kemerdekaan suatu bangsa dan negara. Dalam al-Qur’an pun melalui kisah Ashabul Kahfi, meskipun dengan model perjuangan yang berbeda dengan pemuda lainya dalam melawan status quo kekuasaan, menggambarkan sosok pemuda yang menjadi episentrum perubahan.

Dalam catatan sejarah perjuangan bangsa dan negara Indonesia pun, identik dengan perjuangan para pemuda. Miniatur utamanya, dan sekaligus sebagai rentetan momentum kebangkitan nasional, adalah lahirnya “Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928. Peristiwa Rangesdengklok pun, yang mengiringi memontum sakral detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para aktornya adalah pemuda.

Pemuda bukan hanya sebagai episentrum perubahan, tetapi DNA pemuda adalah perubahan itu sendiri. Tentunya, perubahan yang dimaksudkan di sini adalah perubahan yang positif, berkemajuan, konstruktif, produktif, dan memberikan kontribusi besar dan nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sesungguhnya, ketika suatu bangsa dan negara mengalami berbagai persoalan kolosal dan krusial (seperti korupsi), patut diduga DNA pemudanya sedang mengalami “off”—dalam pemahaman DNA secara harfiah, dikenal mekanisme on/off. Lalu bagaimana dengan pemuda Indonesia?

Indonesia sebagai bangsa dan negara memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Modal ideologis dan teologis yang kokoh dan kuat. Namun, jika diakui secara jujur masih mengalami—dalam pandangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2014)—kejumudan (stagnasi), penyimpangan (deviasi) dan peluruhan (distorsi). Hal ini menjadi paradoks dan/atau antitesa dari modal luar biasa yang telah dimiliki. Lalu, apakah ini berarti DNA-Perubahan pemudanya sedang off?

Dari beberapa fenomena dan rumor-rumor yang berseliwerang, tanpa kecuali realitas yang terjadi di media sosial, kini semakin menegaskan dan menguatkan kesimpulan bahwa DNA-Perubahan pemudanya sedang “off”. Atau, kita sebut saja redup sebagai pilihan diksi yang lebih halus, dan sekaligus menggambarkan bahwa bisa dipastikan tetap tidak mengedepankan perspektif nihilistik—yang memandang semua pemuda, DNA-Perubahannya “off”. Masih ada yang tetap merawat dan meng-on-kan DNAnya tersebut.

Dalam kondisi seperti ini, kita tetap tidak boleh pesimis. Harus tetap optimis. Apatah lagi dalam konsepsi “perubahan” Rhenald Kasali ditegaskan “Tak peduli berapa jauh jalan salah yang anda jalani, putar arah sekarang juga”. Jika masih banyak pemuda yang tertidur dalam zona nyamannya, ayo bangun, on-kan DNA-Perubahannya. Lakukan yang terbaik, positif, produktif, konstruktif, dan kontributif bagi bangsa dan negara Indonesia.

Apakah ajakan di atas untuk bangun, bangkit dan meng-on-kan DNA-Perubahan, dengan jalan revolusi? Dalam peta sosiologis, ruang konstitusional, dan dalam bingkai ideologis dan teologis kebangsaan Indonesia, bagi saya, revolusi bukanlah jalan terbaik. Lalu, apa yang terbaik?

Memahami konstruksi konstitusi negara Indonesia, Pemilu 2024 sebagai momentum strategis untuk kembali menunjukkan bahwa “Pemuda adalah episentrum perubahan”. Pemuda adalah sebagai titik pusat perubahan, di mana bangsa dan negara senantiasa membutuhkan eksistensinya sebagai revitalisasi dan kristalisasi DNA-Perubahan dalam dirinya, termasuk nilai-nilai yang mengalami proses internalisasi dan eksternalisasi pada dirinya, sejenis proses habitus dalam perspektif Pierre Bourdieau.

Kesimpulan di atas untuk menjadikan Pemilu 2024 sebagai momentum strategis bagi pemuda, bukan hanya diteropong dari lensa konstitusi. Bukan pula hanya dilihat dari analogi “Kapal-Kebangsaan” yang sering saya gunakan untuk menggambarkan Indonesia relasinya dengan Pemilu dan pemilihnya. Namun, ada fakta menarik. Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 yang ditetapkan secara nasional oleh KPU RI, sebanyak 52 persen adalah pemilih muda. Pemilih muda berarti masuk kategori Pemuda.

Angka 52 persen ini adalah kabar gembira dan peluang strategis. Selain pemilu digambarkan sebagai ruang memilih para “nakhoda” Kapal-Kebangsaan, termasuk pemilih tanpa kecuali pemuda memegang kendali penuh dalam mewujudkan kedaulatannya pada pelaksanaan pemilu. Prinsip one man one vote pun memperkuat posisi atau kedudukan pemuda.

Peran-peran yang bisa dimainkan oleh pemuda sebagai episentrum perubahan dalam Pemilu 2024 yang merupakan momentum strategis, ada banyak pilihan. Para pemuda bisa menjadi pemilih murni, bisa menjadi penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan bahkan bisa pula sebagai pemantau. Selain itu, menjalankan fungsi pengawasan partisipatif termasuk peran yang penting dan strategis untuk dipilih.

Mungkin ada di antara para sahabat pembaca berkata “Bukankah mereka sudah memainkan peran-peran tersebut selama ini”. Saya pun mengakui hal ini, tetapi yang menjadi persoalan apakah dalam menjalankan peran-peran tersebut, DNA-Perubahannya, jati diri dan nilai-nilai eksistensialnya selaku manusia tampak dalam realitas kehidupan. Saya yakin para sahabat pembaca tersentak di sini, apatah lagi jika memperhatikan fenomena yang sedang terjadi hari ini.

Pemuda dengan eksistensi kemanusiaannya, idealnya melalui akal, logika dan ilmunya harus mampu membedakan yang mana benar dan salah, lalu kemudian berpihak atau berorientasi pada yang benar atau kebenaran. Pemuda pun, idealnya melalui rasa, etika, dan imannya harus mampu membedakan yang mana baik dan buruk, kemudian berpihak atau berorientasi terhadap yang baik atau kebaikan.

Selain kedua dimensi akal dan rasa di atas, pemuda pun idealnya melalui perilaku, estetika dan amalnya mampu membedakan yang patut dan tidak patut, lalu berorientasi kepada sesuatu yang patut.

Melalui ilmu, iman, dan amalnya para pemuda memainkan peran dalam Pemilu 2024 dengan keberpihakan yang penuh kesadaran pada sesuatu yang benar/kebenaran, baik/kebaikan, dan patut/kepatutan. Pemuda yang menyadari tiga dimensi eksistensi kemanusiaannya ini, ketika menjadi pemilih maka bisa dipastikan tidak akan pernah menjual harga dirinya melalui transaksi politik uang. Tidak akan pernah terpengaruh dengan modus operandi kampanye SARA yang berpotensi merobek integrasi bangsa. Justru mereka akan tampil sebagai pemilih yang kritis, proaktif dan cerdas.

Pemuda yang menyadari eksistensi kemanusiaannya, melalui ilmu, iman, dan amal, tidak akan pernah menjadi penyelenggara pemilu dengan membiarkan merobek-robek dan menyandera integritasnya melalui kepentingan pribadi dan golongan atau pun melalui kepentingan partai tertentu. Apatah lagi menyerahkan kredibilitasnya dan ditukar atau deal kepentingan dengan aktor politik partai tertentu sebagai peserta pemilu. Padahal, dirinya adalah penyelenggara pemilu yang dituntut menegakkan asas, prinsip, dan sumpah/janji jabatanya,

Pemuda yang menyadari eksistensi kemanusiaannya melalui ilmu, iman dan amal, ketika menjadi peserta pemilu, tidak akan pernah mau memerankan politik uang, kampanye SARA, atau singkatnya menghalalkan berbagai cara. Mereka tidak akan pernah terjebak bahwa “jika tidak berpolitik uang maka sulit menang, sehingga mau tidak mau harus memainkan cara yang sama”.

Para pemuda ideal yang digambarkan di atas, tidak akan serta merta pun memberikan dukungan dan suaranya kepada aktor tertentu yang hanya bermodalkan uang, kehebatan dan kebesaran keluarga, tetapi dirinya sendiri masih sangat minim dalam berbagai potensi. Karena pemuda yang ideal ini, akan menyadari dan setuju dengan pendapat Yudi Latif, “Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin”.

Masih banyak nilai, prinsip, dan spirit yang terkandung dalam diri pemuda, dan belum terurai dalam tulisan ini. Yang pasti adalah pemuda sebagai episentrum perubahan. DNA pemuda adalah perubahan itu sendiri. Perubahan yang positif, berkemajuan, produktif, kontruktif, dan kontributif.

Agusliadi Massere, Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Periode 2014-2018, Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Exit mobile version