Ali bin Abi Thalib dan Munculnya Syi`ah (Bagian ke-3)
Oleh: Donny Syofyan
Banyak yang menganggap mereka melakukan pemberontakan kepada pasukan Ali. Tapi sejatinya jauh lebih parah. Kelompok splinter ini membentuk kelompok sendiri bernama Khawarij. Kelompok ini menjadi gerakan anarkis yang pimpinannya menjadi subjek perdebatan yang tak pernah habis. Beberapa sumber menyebut kelompok ini memiliki banyak pemimpin dengan banyak nama dan gelar. Tapi yang pasti mereka adalah sekte pertama dalam Islam, sebuah kelompok yang meninggalkan arus utama dalam Islam. Itulah hakikat nama Khawarij yang sebenarnya, ‘orang yang keluar, berangkat atau meninggalkan.’
Pada masa itu belum banyak yang paham. Mereka bukan saja mewakili apa yang dimaksud dengan pemberontakan. Kemudian diketahui ternyata figur-figur utama dalam kelompok Khawarij ini adalah orang-orang yang sama yang kita kenal sebagai delegasi dari Mesir. Mereka adalah kelompok yang bertanggung jawab atas pemberontakan terhadap Utsman maupun terbunuhnya sang khalifah. Mengingat kelompok ini telah tersebar di banyak daerah di kekhalifahan, mereka menyusup ke dalam tentara sukarelawan Ali bin Abi Thalib.
Khawarij terlibat mengatur pertempuran yang melibatkan `A’isyah dan Mu`awiyah. Kelompok ini lebih jauh lagi nyatanya terlibat menjalankan ‘orkestrasi’ pelbagai peristiwa besar yang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam, seperti Perang Unta dan Perang Shiffin. Ia adalah konspirasi dalam konspirasi. Merekalah yang memberikan landasan atas apa yang kini kita kenal sebagai radikalisme Islam.
Khawarij percaya bahwa berbuat dosa sama artinya dengan tidak percaya (sin equals disbelief). Setiap pendosa adalah kafir. Sungguhpun ajaran kolompok ini kontradiktif dengan ajaran Rasulullah bahwa seorang yang berdosa bisa saja tetap Muslim, banyak anak-anak muda Muslim tergoda dengan doktrin ini. Di permukaan ini seolah tampak sebatas perdebatan filosofis biasa. Tapi ini kemudian berdampak pada perubahan makna jihad. Dalam pandangan Islam mainstream, jihad dalam konteks peperangan hanya berlaku untuk ‘daerah perang’ (dârul harb) saja, bukan dârul Islâm. Namun terkait doktrin jihad kaum Khawarij memperluas ‘daerah perang’ yang juga mencakup kaum Muslimin yang tidak seide, se-fikrah, atau satu pandangan dengan mereka. Artinya kaum Khawarij berperang dengan kaum Muslimin lainnya.
Ketika memisahkan diri dari Ali dan pasukannya, kaum Khawarij berhenti di kota bernama Nahrawan di selatan Baghdad. Mereka membunuh gubernur di daerah itu dan mendirikan negara sendiri. Dalam isolasi dan persembunyiannya, pengikut Khawarij mengubah dan memelintir pandangan mereka tentang Islam. Sebagai contoh, mereka bergabung dengan khalayak ramai di pasar sambil menyembunyikan pedang atau belati di belakang. Pengikut Khawarij ini tak segan-segan menghunjamkan pedangnya kepada warga yang dicurigai, membunuh hingga diri mereka sendiri terbunuh. Mereka adalah cikal bakal bom bunuh diri yang di zaman kini marak terjadi, sebuah model yang mau tak mau diakui sebagai akar terorisme Islam.
Dalam jangka waktu dua tahun kemudian, ideologi Khawarij berkembang. Mereka mulai merekrut para pengikut baru (kebanyakan dari anak-anak muda) dan mendorong anggota baru tersebut untuk pindah ke wilayah mereka. Prinsip dan taktik Khawarij paralel dengan kelompok-kelompok serupa di zaman modern, seperti ISIS, al-Qaeda, Boko Haram dan lain-lain. Karena alasan ini, kelompok Khawarij dianggap sebagai sumber primer dan inspirasi utama radikalisme Islam.
Khalifah Ali segera menyadari dalamnya konspirasi Khawarij dan bagaimana kelompok reaksioner ini—yang sebetulnya adalah delegasi Mesir yang juga kelompok yang sama yang memanipulasi dan bersekongkol atas terjadinya serangkaian perang saudara dalam Islam—menipu siapa pun sedari awal. Kini mereka sudah memiliki negara sendiri dan melancarkan sejumlah serangan teroris di seantero kekhalifahan. Khalifah Ali harus bertindak. Ia mendirikan pasukan baru dan pada tahun 659 ia bergerak menyerang jantung pertahanan Khawarij, yakni kota Nahrawan. Ali tampil sebagai pemenang tapi tidak semua komandan Khawarij terbunuh. Sebagian ada yang melarikan diri ke berbagai daerah di kekhalifahan untuk merancang langkah berikutnya.
Dua tahun kemudian pasca kekalahan kelompok Khawarij di Nahrawan, kaum Khawarij kini sudah siap dan siaga melancarkan aksi berikutnya. Mereka merencanakan pembunuhan tiga tokoh kunci yang bertanggung jawab atas kegagalan mereka, yakni khalifah Ali bin Abi Thalib, gubernur Mu`awiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash, sang mediator dalam perundingan antara perwakilan Ali dan perwakilan Mu`awiyah yang mengakhiri Perang Shiffîn. Ketiga upaya pembunuhan itu terjadi pada waktu yang sama karena ketiga pemimpin tersebut datang ke masjid dan mengimami shalat Subuh di lokasi masing-masing, yakni Kufah (Irak), Damaskus (Syria) dan Fusthat (Mesir).
Hari itu, arah peradaban dan identitas Islam berubah selamanya. Mu`awiyah berhasil lolos dari upaya pembunuhan dengan luka kecil. Amr bin Ash tidak datang ke mesjid karena sakit perut tapi wakilnya yang terbunuh. Sementara Ali, khalifah Islam yang ke-4, diserang ketika shalat Shubuh di mesjid raya Kufah oleh seorang agen Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Lukanya tidak parah tapi racun yang dihunjamkan oleh belati si pembunuh yang lebih ganas dan mematikan.
Ali meninggal dunia beberapa hari menjelang. Ia mewariskan ketimpangan kekuasaan, negara yang rapuh lagi genting dan dua orang putra, Hasan dan Husain. Tak lama setelah wafatnya Ali, para pengikutnya menoleh kepada putra tertuanya Hasan dan menamainya sebagai Imam Kedua. Hasan membawa amanat meneruskan warisan Nabi Muhammad dan Ali. Tetapi interaksi antara Mu`awiyah dan Hasan serta Husain telah menggerakkan perpecahan yang kian akut di kalangan umat—(Tamat).
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas