Shabran 86: Setelah Tiga Dasawarsa (1)
Oleh: Mahli Zainuddin Tago
Jogja, Jumat 18 Agustus 2023. Aku kembali mengantar istri. Kali ini mengikuti Pembukaan Rakernas MPKS Pimpinan Pusat Aisyiah. Pukul 09.00 kami sudah sampai di UC-UGM lokasi acara. Setelah istriku masuk gedung aku rehat sejenak. Menikmati lagu melalui audio Si Raize. Tiba-tiba istriku muncul lagi. Ternyata dia salah jadwal. Rakernas baru dibuka besok pagi. Rupanya faktor umur mulai menampakkan tajinya. Kami mulai dihinggapi lupa. Dari UGM di Sleman kami lalu menuju Kampung Kadirojo pinggiran Kota Bantul. Aku bertamu ke rumah kang Asrowi. Ternyata sahabat karibku ini sudah memasuki masa pensiun setelah dua periode menjadi Kasek SMA Muhiba. Maka kesadaran diri tidak muda lagi makin menguat. Lalu tiga hari berturut-turut aku menemani beberapa teman kuliah yang tidak muda lagi. Kami angkatan 1986 Pondok Shabran-UMS. Disingkat Shabran 86. Tentang kami ini aku bercerita kali ini. Dimulai dengan Shabran 86 utusan Jogja.
Ketika kuliah di Shabran kami berasal dari latar belakang yang beragam. Beberapa berasal dari pulau Jawa. Antara lain Jogja. Sebagian dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Sebagian tamatan pondok pesantren sehingga memiliki bekal lebih baik untuk menjalani perkuliahan di Shabran maupun di Fakultas Ilmu Agama Islam UMS. Tetapi banyak juga yang tamatan sekolah umum. SMA mupun SMK, negeri maupun swasta. Kami juga berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang beragam. Sedikit dari keluarga berada, beberapa dari keluarga cukup, dan mayoritas dari keluarga pas-pasan. Bagi kelompok terakhir ini, aku salah satunya, tanpa Shabran rasanya perlu perjuangan lebih berat untuk bisa kuliah. Ketika kuliah sebagian kami menjadi aktivis kampus. Sebagian lainnya aktif membina jamaah di masjid-masjid kampung sekitar. Sebagian lagi tidak aktif dimana-mana.
Kini telah tiga dasawarsa lebih waktu berlalu. Kami tersebar dalam berbagai profesi dan beragam aktivitas. Pendidikan tinggi di Shabran telah menjadi anak tangga bagi mobilitas vertikal sebagain besar kami. Tentu faktor individual dan keberuntungan juga ikut bermain. Beberapa dari kami menjadi pegawai, negeri maupun swasta. Banyak dari kami menjadi guru atau dosen. Sebagian menjadi karyawan. Sebagian lainnya pengusaha. Dalam lingkungan Muhammadiyah tentu sebagian besar kami terlibat aktif. Dengan level masing-masing. Ada yang di Ranting, sebagian di Cabang atau Daerah, dan sebagian lagi di Wilayah bahkan di Pusat. Maka acara-acara Persyarikatan sering mempertemukan kami. Dalam tiga hari terakhir ini dua Rakernas mempertemukan kami. Pertemuan yang menimbulkan kesadaran bahwa diri tidak lagi muda. Sebagian kami memang masih aktif berdinas. Tetapi sebagian memasuki usia pensiun. Salah satunya adalah Kang Asrowi.
Kang Asrowi putra asli Kadirojo Bantul. Perkenalanku dengan beliau pertama kali sebagai sesama mahasantri di Shabran pada 1986. Kami sesama mahasiswa baru Shabran utusan Jogja. Sebagaimana mahasiswa Shabran utusan Jogja lainnya, kami berasal dari lapisan sosial bawah. Aku sendiri setamat dari SMA Muhi Jogja pada 1985 harus bekerja setahun sebelum masuk Shabran pada 1986. Kang Asrowi sebagai utusan PDM Bantul memerlukan waktu empat tahun sebelum bisa kuliah. Si Mbok ibunda Kang Asrowi seorang bakul kecil di Pasar Niten Bantul. Maka kuliah di Pondok Shabran merupakan suatu kesyukuran bagi kami. Sebagai utusan Muhammadiyah DIY, lliving cost kami selama di Shabran ditanggung PWM dan PDM se DIY. Maka kami bisa fokus kuliah. Pada umumnya kami bisa menjalani kuliah dengan lancar dan lulus tepat waktu.
Pada 1990, jatah kami Shabran 86 tinggal di asrama habis. Tetapi studi kami belum lagi selesai. Maka kami harus kos di sekitar Shabran di desa Makamhaji. Pada masa ini aku satu kamar dengan Kang Asrowi di Dusun Windan. Pada 1991 aku wisuda dan Kang Asrowi dalam proses penyelesaian skripsi. Kang Asrowi tidak melanjutkan kos. Beliau menjangkau Shabran dengan sepeda motor dari rumahnya di Bantul. Setamat Shabran pada 1992, Kang Asrowi kembali ke Bantul dan menjadi guru Al Islam dan Kemuhammadiyahan (Ismuba) di SMA Muhi Bantul. Beliau lalu menjadi kepala sekolah selama dua periode. Di samping itu beliau aktif di masyarakat dan di Persyarikatan. Kang Asrowi menjadi mubalig, Ketua PCM Bantul, dan anggota Majelis Tablig PDM Bantul. Ketika aku kunjungi Kang Asrowi sedang mempersiapkan naskah untuk khutbah di masjid kampungnya. Ujarnya “Aku wis pensiun. Tapi saiki isih diminta menjadi pamong di MBS dan koordinator guru Ismuba.”
Kang Asrowi adalah satu dari lima Shabran 86 Utusan Muhammadiyah DIY. Empat lainnya: Sarnoto, Sumarno, Budi Nurastowo, dan aku penulis cerita ini. Kang Sarno, demikian aku sering memanggil beliau, utusan PDM Kulonprogo. Beliau berasal dari keluarga sangat sederhana di Dusun Wonopeti Kecamatan Galur. Si Mbok ibu Kang Sarno tinggal bersama satu anak dan dua cucunya. Sebagai utusan DIY kami memperoleh uang saku dari PWM DIY Rp. 10.000,- per bulan. Uang saku ini oleh Kang Sarno dikirim ke Wonopeti untuk membantu Si Mbok. Ketika kuliah Kang Sarno sangat tekun. Karena alumni Pesantren Muhammadiyah Darul Ulum Kulonprogo Kang Sarno ditempatkan di Prodi Syariah. Ijazah sarjana Syariah ini belakangan menghantarkan Kang Sarno menjadi Hakim Agama. Awalnya Kang Sarno berdinas di Polewali Sulawesi Barat. Kini kang Sarno berdinas di PA Jakarta Utara.
Utusan DIY lainnya adalah Sumarno, Budi, dan penulis. Sumarno utusan PDM Gunung Kidul. Desanya Mulusan-Paliyan. Orang tuanya perangkat desa disana. Sejak di SMA Muhammadiyah Wonosari sampai kuliah Kang Marno aktif menjadi pendekar Tapak Suci. Sekeluar dari Shabran belakangan Kang Marno menjadi Carik di desanya dan beralih menjadi PNS di Pemda Gunung Kidul. Kang Budi utusan PDM Sleman. Orang tuanya anggota TNI Angkatan Udara. Ketika sekolah Kang Budi menjadi ketua IPM SMA Muhammadiyah Sleman. Ketika kuliah aktif di Beladiri Shorinji Kempo. Kang Budi kini pengasuh pesantren sekaligus Panti Asuhan Aisyiah Banyudono Boyolali. Sedangkan aku utusan PDM Kota Jogja. Berbeda dengan Kang Asrowi, Sarno, Marno, dan Budi, aku bukan kelahiran Jogja. Aku anak Kerinci. Bisa menjadi utusan Jogja karena sejak SMP dan SMA sudah sekolah di Jogja. Aku alumni SMA Muhammadiyah 1, disingkat SMA Muhi Jogja.
Bersama kami juga berangkat ke Shabran dua mahasiswi utusan PWA DIY. Mereka adalah Ponirah dan Puji Karyawati. Ponirah berasal dari Pundong-Bantul. Setamat dari Shabran kami lama kehilangan kontak dengannya. Beberapa tahun kemudian kami bertemu ketika dia menikah di kampung halamannya di Pundong. Tetapi setelah itu komunikasi kami kembali terputus. Seiring berkembangnya medsos komunikasi dengan Ponirah kembali lancar. Ternyata Ponirah ikut suaminya merantau ke Sukabumi. Disana dia menjadi guru di sebuah Madrasah Tsanawiyah. Belakangan Ponirah beberapa kali mengontak kami terkait anaknya yang kuliah di Jogja. Pertemuan terakhir dengannya adalah ketika kami menyelenggarakan Reuni Akbar Alumni Shabran. Ini seiring Muktamar Muhammadiyah ke-48 pada Nopember 2022 yang bertempat di almamater kami Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Sedangkan Puji Karyawati berasal dari desa yang berdekatan dengan Sarnoto. Di Kecamatan Galur Kulon Progo. Mereka juga sesama alumni Darul Ulum, pesantren milik Muhammadiyah Kulonprogo. Ketika kuliah Mbak Puji, begitu aku biasa memanggilnya, bersama beberapa mahasiswi Shabran terlibat membina pengajian anak-anak di sekitar Shabran. Setamat dari Shabran Mbak Puji menikah dengan orang Jogja dan menetap di Pengok, kampung suaminya. Komunikasi kami bertambah lancar karena suami Mbak Puji ini temanku satu SMP. Mbak Puji sehari-hari lalu aktif menjadi penyuluh pernikahan di KUA Kecamatan Gondokusuman Jogja. Mbak Puji juga aktif di Aisiyah setempat. Pada suatu periode Mbak Puji menjadi ketua Pimpinan Ranting Aisiyah Pengok Jogja.
Kebersamaan selama lima tahun di Shabran membuat hubungan kami sangat dekat. Solidaritas antar kami sangat erat. Meminjam Emile Durkheim kami diikat solidaritas mekanik. Solidaritas ini didasarkan pada kesadaran kelompok (collective conscience) (Johson, 1987: 183, Durkheim, 1964: 79). Solidaritas lainnya adalah solidaritas organik. Istilah lainnya solidaritas fungsional. Solidaritas ini mucul karena pembagian kerja dan saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungannya makin tinggi sering dengan meningkatnya spesialisasi dalam pembagian kerja. Contohnya solidaritas antar pekerja perusahaan. Contoh solidaritas mekanik adalah solidaritas pada kelompok keagamaan. Misalnya solidaritas antara mahasantri Shabran yang adalah program Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan. Kami adalah teman rasa saudara. Persaudaraan kami melintasi tempat dan waktu. Istilah Jogja untuk ini adalah “seduluran sak lawasse.”
Jogja, 6 Agustus 2023. Aku dan istri sesama Shabran 86 sedang duduk makan malam di rumah. Sebuah panggilan telepon masuk ke hape istriku. Di ujung sana suara Tari terdengar terisak-isak. Tari adalah adik kandung Ponirah teman kami Shabran 86. Tari diajak Ponirah merantau ke Sukabumi. Tari menyampaikan kabar duka. Bahwa Ponirah kakaknya wafat sehari sebelumnya. Tari terlambat memberi kabar karena baru sempat membuka hape kakaknya sehari setelah pemakaman. Tari tahu istriku salah satu teman dekat kakaknya sesama Shabran 86. Maka dia menelepon istriku. Menurut Tari Ponirah baru pulang berhaji. Disana Hajjah Ponirah mengalami keletihan yang berlanjut sampai di tanah air. Selama ini Hajjah Ponirah memang telah menabung dalam waktu yang lama untuk berangkat ke tanah suci. Menariknya dia sekaligus memberangkatkan haji orang tuanya. Bakti pada orang tua ini semoga menjadi amal jariah Hajjah Ponirah. Aamiin yaa Mujiib.
Kabar wafatnya Hajjah Ponirah tentu mengejutkan kami. Terutama kami sesama alumni Shabran utusan Jogja. Apalagi kami Shabran 86. Empat bulan sebelumnya kami sudah kehilangan Mbak Puji yang meninggal dunia bakda Idul Fitri 1443. Setahun sebelumnya kami juga telah kehilangan Sumarno yang wafat di Gunung Kidul. Kami tentu tidak bisa melawan sang waktu. Apalagi menentang taqdir. Tiga di antara delapan Shabran 86 utusan DIY yaitu Sumarno, Mbak Puji, dan Hajjah Ponirah telah mendahului kami. Lainnya menunggu panggilan. Sebagian dari kami pun mulai memasuki usia pensiun. Kang Asrowi terlebih dahulu memulainya. Lainnya tentu segera menyusul. Kami memang tidak muda lagi. Walau pikiran dan perasaan masih serasa tahun 1986. Tahun ketika kami pertama bertemu di Pondok Shabran. Semoga pada usia yang masih tersisa kami bisa terus berkiprah. Memberi manfaat untuk sesama.
Mahli Zainuddin Tago, Tamantirto, 25 Agustus 2023