Oleh: Suko Wahyudi
Nikmat dan karunia Allah SwT yang diberikan kepada manusia sangat banyak tak terhitung jumlahnya, dimulai sejak dirinya masih berupa nuthfah di dalam rahim seorang ibu, kemudian dilahirkan ke dunia dan Allah anugerahkan anggota badan yang kokoh sempurna, penglihatan, pendengaran, akal pikiran, dan hati sanubari. Untuk kelangsungan hidupnya Allah SwT menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak, dan kemampuan untuk menaklukkan alam semesta.
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (٧٨)
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur. (An-Nahl [16]: 78)
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءً ۖوَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (٢٢)
(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah [2]: 22)
اَللّٰهُ الَّذِيْ سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيْهِ بِاَمْرِهٖ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَۚ (١٢) وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ (١٣)
Allah-lah yang menundukkan laut untukmu agar kapal-kapal dapat berlayar di atasnya dengan perintahnya, dan agar kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) darinya. Sunnguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mau berpikir. (Al-Jasiyah [45]: 12-13)
Semua nikmat dan karunia Allah SwT yang diberikan kepada manusia tersebut adalah agar manusia bersyukur, baik melalui lisannya dengan cara memuji dan menyanjung-Nya maupun dengan anggota badannya dengan cara menundukkannya untuk selalu taat dan patuh kepada-Nya. Meskipun demikian, nikmat dan karunia tersebut bukanlah menjadi alasan Allah untuk dihormati. Bagi Allah, manusia bersyukur atau kufur, tidak akan mengurangi kemuliaan-Nya. Akan tetapi sebagai makhluk ciptaan-Nya adalah menjadi kewajiban manusia menunjukkan akhlak mulia kepada Allah dengan senantiasa bersyukur kepada-Nya.
Sikap syukur berkaitan dengan mengungkapkan rasa terima kasih kepada yang menganugerahi berbagai kenikmatan dan menggunakan hal-hal yang membuatnya senang. Syukur merupakan salah satu kualitas kesempurnaan yang tumbuh dan membuat kekal nikmat-nikmat yang diterima seseorang.
وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ (١٢)…
…Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman [31]: 12)
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ (٧)
Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim [14]: 7)
Bersyukur kepada Allah SwT akan membuat manusia semakin dekat dengan Allah dan memperoleh ridha-Nya serta semakin mendapat curahan nikmat dan anugerah-Nya. Sikap tidak bersyukur, di sisi lain, merupakan merupakan karakter pribadi-pribadi yang hina. Al-Qur’an menegaskan bahwa sikap tidak bersyukur merupakan faktor utama kejatuhan bangsa-bangsa dan hilangnya keberkahan-keberkahan dari mereka.
وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ (١١٢)
Allah membuat perumpamaan tentang suatu negeri yang dahulunya aman sentosa, rezekinya mengalir dari seluruh penjuru negeri. Namun mereka tidak bersyukur (ingkar) terhadap nikmat-nikmat Allah, maka Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan sebagai akibat perbuatan mereka. (An-Nahl [16]: 112)
لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚجَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ (١٥) فَاَعْرَضُوْا فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنٰهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ اُكُلٍ خَمْطٍ وَّاَثْلٍ وَّشَيْءٍ مِّنْ سِدْرٍ قَلِيْلٍ (١٦) ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِمَا كَفَرُوْاۗ وَهَلْ نُجٰزِيْٓ اِلَّا الْكَفُوْرَ (١٧)
Sunnguh, bagi kaum Saba’ ada tanda-tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim krpada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, phon Asl dan sedikit pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (Saba’ [34]: 15-17)
Saba’ adalah nama raja-raja negeri Yaman dan juga penduduknya. Ratu Balqis teman wanita Nabi Sulaiman adalah termasuk salah seorang dari raja-raja Yaman. Kerajaan Saba’ terkenal dengan hasil alamnya yang melimpah sehingga banyak orang yang berhijrah berdagang kesana. Allah SwT mengaruniakan kepada negeri Saba’ kebun yang sangat luas terletak di hamparan lembah antara dua gunung di Ma’rib. Tanahnya sangat subur dan menghasilkan buah-buahan.
Kemudian Allah SwT mengutus kepada mereka rasul-rasul-Nya yang memerintahkan kepada mereka untuk memakan rizki yang telah dikaruniakan Allah dan bersyukur kepada-Nya dengan cara mengesakan dan menyembah-Nya. Tetapi mereka berpaling dari apa yang diperintahkan para rasul kepada mereka. Allah SwT pun murka dan menghancurkan mereka dengan mendatangkan azab berupa banjir besar yang memporak-porandakan seluruh negeri mereka. Ini semua merupakan balasan bagi orang yang kafir dan tidak mau mensyukuri nikmat-Nya.
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim [14]: 7)
Ketika Allah SwT memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya, maka itu bukan untuk kepentingan Allah. Allah SwT Maha Kaya dari semuanya. Tidak membutuhkan sesuatu sedikitpun dari makhluk, bahkan makhluk yang senantiasa membutuhkan-Nya. Jadi syukur adalah demi kebaikan sang hamba, karena manfaat syukur dan pahalanya kemabali pada hamba di dunia dan akhirat. Allah SwT berfirman,
Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya ia mensyukuri dirinya sendiri. Barangsiapa kufur, sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. (Luqman [31]: 12)
Andai semua manusia kufur dan tidak ada yang bersyukur pada Allah SwT sama sekali, maka itu tidak akan berbahaya bagi Allah, karena Allah Maha Kaya.
Terkadang Allah SwT memberikan rezeki yang banyak dan nikmat yang berlimpah pada seorang hamba sebagai ujian: apakah dia bersyukur atau kufur, sebagaimana yang terjadi pada Sulaiman Alahissalam. Allah SwT berfirman,
فَلَمَّا رَاٰهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهٗ قَالَ هٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْۗ لِيَبْلُوَنِيْٓ ءَاَشْكُرُ اَمْ اَكْفُرُۗ وَمَنْ شَكَرَ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ (٤٠)
Sulaiman berkata, “Ini adalah bagian dari kemurahan Tuhan untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur. Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Barangsiapa kufur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya dan Maha Pemurah.” (An-Naml [27]: 40)
Kebanyakan manusia seringkali tidak bersyukur. Ketika diberi rizki dan karunia yang sedikit sangat mudah mengeluh. Tatkala diberi cukup ingin banyak. Manakala diberi banyak ingin lebih banyak lagi. Jika diberi nikmat lupa bersyukur, ketika diberi musibah dengan mudah mengeluh bahkan memberontak Tuhan.
Sikap manusia yang demikian itu karena kebanyakan dari manusia adalah lebih senang untuk memperturutkan hawa nafsu yang membawanya tidak merasa puas dan cukup dalam menjalani hidup. Kaum Saba’ dianugerahi kemakmuran yang luar biasa, tanah airnya subur makmur. Namun setelah mereka memperoleh karunia Allah yang melimpah itu lupa bersyukur, bahkan ingkar nikmat. Mereka berbuat durhaka dan menyimpang dari ajaran Allah. Akhirnya mereka Allah musnahkan dengan azab yang sangat dahsyat. Karenanya Allah melukiskan perangai orang-orang Saba’ sebagai kaum yang tidak pandai bersyukur.
Allah SwT memerintahkan manusia untuk selalu bersyukur dan melarang kufur karena syukur memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Bahkan karena tingginya kedudukan syukur ini, Iblis berusaha mengganggu manusia dan menyatakan bahwa kebanyakan dari mereka tidak mau bersyukur. Al-Qur’an telah mengingatkan hal ini, bahwa Iblis akan senantiasa menggoda anak cucu Adam demi menggelincirkan dari jalan yang lurus.
قَالَ فَبِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَۙ (١٦) ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ (١٧)
(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf [7]: 16-17)
Syukur adalah memuji si pemberi nikmat atas nikmat dan kebaikan yang diberikan. Syukur yang hakiki tidak akan sempurna kecuali dengan terpenuhinya tiga hal, yaitu: mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sarana untuk taat kepada Allah SwT. Karena itu syukur berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Hati untuk mengetahui bahwa nikmat nikmat itu adalah benar-benar nikmat, lalu menyandarkannya kepada Yang memberikannya, kemudian berbahagia dan gembira dengan nikmat tersebut. Lisan untuk menyebut dan memuji Allah SwT yang memberi nikmat, dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Ada orang yang dikaruniakan nikmat, namun dia tidak mengetahui bahwa itu sebenarnya adalah nikmat. Orang seperti ini jelas tidak akan pernah bersyukur. Adapun orang yang mendapatkan nikmat dan dia mengetahui bahwa itu adalah nikmat, tetapi hatinya tidak bahagia menerimanya, maka kalaupun dia bersyukur dia tidak akan bersyukur sepenuh hati. Sedangkan orang yang mengetahui bahwa itu adalah nikmat dan bergembira menerimanya, akan tetapi dia menggunakannya untuk hal-hal yang tidak disukai Allah SwT maka diapun bukan orang yang bersyukur dengan syukur yang hakiki. Syukur yang hakiki adalah jika seseorang mengetahui itu adalah nikmat, berbahagia memperolehnya, dan menggunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang diridhai Allah SwT.
Oleh karena syukur harus melibatkan hati, lisan, dan anggota badan, bila seorang muslim misalnya bersyukur kepada Allah SwT atas karunia harta benda yang didapatkannya maka yang pertama kali harus dilakukan adalah mengetahui dan mengakui bahwa semua harta yang didapatnya itu adalah karunia dari Allah SwT. Usaha yang dia lakukan hanyalah sebab atau ikhtiar semata yang tanpa adanya taufiq dari Allah SwT tidak akan menghasilkan apa yang diinginkan. Oleh sebab itu dia harus bersyukur kepada Allah SwT. Setelah itu baru dia mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk pujian kepada-Nya. Kemudian dia buktikan rasa syukur itu dengan amal perbuatan dengan memanfaatkan harta itu pada jalan yang diridhai-Nya, baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, maupun untuk kepentingan umat.
Syukur berbeda dengan Al-Hamdu (pujian), karena syukur adalah respon atas nikmat atau pemberian yang diterima dari Allah SwT. Sedangkan Al-Hamdu menyangkut sifat terpuji yang melekat pada diri yang dipuji tanpa suatu keharusan sipemuji mendapatkan nikmat atau pemberian dari yang dipuji. Sebagaimana kita memuji Allah atas segala nikmat-Nya, kita juga memuji-Nya atas keadilan-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan-Nya, dan seluruh sifat ketuhanan-Nya. Kita memuji Allah atas semua yang ditakdirkan-Nya, baik itu nikmat maupun musibah. Rasulullah SaW bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Mengagumkan! Orang mukmin seluruh urusannya adalah baik. Itu tidak terjadi kecuali pada orang mukmin. Jika mendapat kemudahan, dia bersyukur dan itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya. (HR. Muslim)
Demikianlah, manusia berkewajiban untuk bersyukur kepada Allah SwT baik dalam keadaan lapang maupun sempit sebagai wujud rasa terima kasih kepada-Nya. Wallahu A’lam.
Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta