Menakar Kesalehan

Menakar Kesalehan

Menakar Kesalehan

Oleh: Muhammad Qorib

Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya mengandung kesalehan. Kata saleh terambil dari akar kata shaluha yang artinya bermanfaat atau sesuai. Amal saleh dipahami sebagai aktifitas positif yang bermanfaat untuk pelakunya dan orang lain. Dari kata ini muncul istilah saleh dan kesalehan. Kedua kata tersebut sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia. Kesalehan dapat dilihat sedikitnya dari dua perspektif, yaitu kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Sebenarnya masih ada lagi jenis kesalehan lain, yaitu kesalehan lingkungan dan kesalehan individual.

Menariknya, masyakat kita senantiasa membedakan antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosial. Padahal sebenarnya kedua model kesalehan tersebut merupakan jenis kesalehan yang menyatu dan saling menopang satu dengan lainnya. Pembedaan ini sangat mudah dijumpai dalam perilaku umat Islam. Secara sederhana, orang tua sering memberikan pertanyaan kepada anak-anaknya, “Apakah sudah sholat?”. Pertanyaan ini menyiratkan bahwa shalat merupakan takaran kesalehan. Namun para orang tua jarang bertanya tentang budaya antri, membuang sampah pada tempatnya, atau bersedekah senyum kepada orang lain. Sebenarnya hal itu merupakan wujud dari kesalehan.

Harus diakui, dalam banyak ayat dan hadis, sholat menjadi perintah yang kewajibannya sudah dimaklumi secara bersama, atau dalam istilah ushul fiqh disebut ma’lumun min an-din bi al-dharurah. Wajar saja takaran keagamaan seseorang dapat dilihat dari ketertibannya mendirikan shalat. Dalam kalimat aqim as-shalah (dirikanlah shalat) dan …iqam as-shalah (mendirikan shalat)…mengukuhkan betapa shalat merupakan hal yang sangat prinsipil dan kesalehan yang utama.

Ini berkonsekuensi logis pada berdirinya banyak masjid dan musholla. Para donatur juga bermunculan untuk saling berlomba mencatatkan namanya sebagai pendiri rumah Allah itu. Tercatat tak kurang dari 800 ribu masjid berdiri di tanah air tercinta kita. Ini kemudian yang mengagetkan Raja Salman ketika berkunjung ke Indonesia. Seiring dengan itu, takaran kesalehan masyarakat kita terletak, untuk tidak mengatakan terjebak, pada ritual-ritual shalat. Takaran tersebut tidak ada salahnya, karena secara teologis Alquran dan as-Sunnah juga menjelaskan secara tegas.

Masalahnya terletak pada pengabaian ibadah-ibadah lain yang dianggap kurang penting dan tidak utama. Padahal Islam mengandung aspek-aspek ajaran yang bersifat utuh, saling terkait dan tidak parsial. Misalnya saja, aspek ibadah tidak dapat berdiri sendiri. Aspek ini harus dilengkapi dengan aspek akidah, akhlak, dan mu’amalah duniawiyah. Abai terhadap salah satunya menyebabkan Islam tak mampu tampil dengan wajah sempurna dan menyentuh sudut-sudut kehidupan masyarakat.

Jika shalat diyakini sebagai ibadah yang sangat penting, maka ajaran-ajaran lain juga sama pentingnya, seperti menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang sampah di sembarang tempat, mematuhi regulasi berlalu lintas atau melunasi hutang. Oleh karena itu, ajaran-ajaran tersebut mesti dimunculkan sesering mungkin agar umat Islam awas dan sadar bahwa menjaga kebersihan lingkungan, tertib berlalu lintas, melunasi hutang, sama pentingnya dengan mendirikan shalat. Dari sini dapat dimengerti bahwa menjaga kebersihan lingkungan, mematuhi rambu-rambu lalu lintas, melunasi hutang, sejatinya merupakan takaran-takaran kesalehan juga.

Takaran kesalehan bagi umat Islam terkesan dibonsai dan kini mengalami pengkebirian makna. Kenyataan ini menyajikan wajah Islam yang bersifat kumuh dan tidak kompetitif. Kekeliruan dalam memahami dan meletakkan shalat sebagai takaran kesalehan yang bersifat unggul harus ditinjau kembali. Ikhtiar membongkar pemahaman ini bukan berarti seseorang diperbolehkan meninggalkan ritual shalat dan menggantinya dengan ibadah lain. Sama sekali tidak. Status ritual shalat justru harus direkonstruksi sebagai ibadah yang tidak berdiri sendiri, dan bukan satu-satunya takaran kesalehan. melainkan terkait dengan ibadah-ibadah lain yang juga dapat menjadi takaran.

Shalat mengandung nilai kebersihan, kebersamaan, peduli terhadap orang lain, patuh pada regulasi, dan senantiasa mawas diri untuk melakukan oto koreksi. Jika ritual shalat sudah ditunaikan, ini bukan berarti umat Islam telah dianggap selesai melakukan ibadah keislaman lain. Ritual shalat yang bersifat vertikal harus melahirkan tradisi-tradisi kebajikan yang bersifat sosial. Jika ini diabaikan maka shalat mengalami kegagalan dan tak jarang pelakunya dikelompokkan Allah sebagai pendusta agama (Q.S. Al-Ma’un/ 107: 1-7).

Fenomena getir yang terjadi di masyarakat dapat pula dilihat dari sistem kebersihan rumah ibadah yang tidak diperhatikan secara baik. Jumlah masjid dan musholla yang secara kuantitatif sangat besar belum seluruhnya sebangun dengan role model kebersihan yang semestinya menjadi skala prioritas. Shalat berjamaah di masjid dan musholla menjadi paket yang tidak bisa dipisahkan dari penyiapan infrastruktur seperti; kebersihan tempat pengambilan air wudhu’ dan toilet yang baik.

Fakta-fakta tersebut perlu mendapat perhatian serius. Selain harus disiapkan secara maksimal dan sesuai kemampuan dan standar, para jamaah juga harus memiliki  rasa tanggung jawab untuk turut serta menjaga kebersihan tempat tersebut. Bukan saja menjadi tugas dan kewajiban pengurus Badan Kemakmuran Masjid, menjaga fasilitas-fasilitas tersebut merupakan tugas dan kewajiban bersama yang bermuara untuk kepentingan kolektif.

Menakar shalat sebagai ibadah yang utama harus sebangun dengan menjaga kebersihan lingkungan masjid. Dalam konteks ini dapat dilihat bahwa doktrin Islam mengajarkan tidak saja tentang aktifitas-aktifitas yang terkait dengan relasi kepada Allah, melainkan juga terkait erat dengan kebutuhan-kebutuhan real di masyarakat. Islam sendiri merupakan agama yang menuntun umat Islam untuk meraih kesejahteraan hidup lahiriyah dan batiniyah. Sementara kesejahteraan sangat terkait erat dengan kebersihan. Dalam Alquran sendiri dijelaskan bahwa Allah menyukai orang-orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersih (Q.S. Al-Baqarah/ 2: 222).

Takaran kesalehan lain yang sering menjadi skala prioritas dalam mind set keagamaan Umat Islam adalah pelaksanaan haji dan umroh. Yang pertama diatur secara ketat dan membutuhkan waktu lama dari sejak proses pendaftaran sampai waktu keberangkatan. Tak jarang para pendaftar wafat sebelum menjadi tamu Allah di Kota Suci. Akhirnya masyarakat beralih kepada ibadah umroh. Selain karena berbiaya lebih murah, proses keberangkatan juga dapat diatur sesuai dengan opsi yang diinginkan. Kedua ibadah tersebut juga sering dianggap takaran kesalehan.

Umroh bahkan sering dikerjakan berkali-kali oleh orang yang sama. Memang dapat dimaklumi jika dikerjakan berkali-kali untuk tujuan tertentu. Ibadah yang berbiaya mahal seperti ini menjadi lebih produktif jika dikerjakan sekali atau dua kali, dan sisa dana yang dimiliki digunakan untuk membantu anak yatim dan miskin, atau untuk mendukung berbagai kegiatan kemanusiaan. Membantu fakir dan miskin dan terlibat aktif dalam kegiatan kemanusiaan merupakan kesalehan juga. Bahkan di dalam Alquran dan as-Sunnah ditegaskan bahwa kebajikan tidak akan terjadi dengan sempurna kecuali dengan berderma (Q.S. Ali-Imran/ 3: 92).

Aktifitas berderma dan para dermawan dapat dijadikan sebagai penakar kesalehan dan pelakunya dapat dikategorikan sebagai orang saleh. Shalat, haji dan umroh harus dijadikan inspirasi untuk melahirkan kebajikan-kebajikan sosial, bukan terhenti setelah ibadah tersebut ditunaikan.  Ibadah ritual apa pun akan bermuara pada tumbuh dan berkembangnya rasa solidaritas sosial dan sensitif dengan lingkungan kehidupannya. Ibadah ritual sejatinya dapat menjadi seperti mesin produksi yang menghasilkan unsur-unsur keadaban, seperti; patuh pada regulasi, tawadhu’, bersih, bersahabat, peduli lingkungan, amanah dan ramah.

Demikian pula dengan para penggali kubur, penarik becak, supir angkot, tukang bangunan, dapat menjadi orang-orang yang saleh sesuai takaran dan profesi yang digelutinya.  Aktifitas mereka juga dapat dikategorikan sebagai takaran kesalehan. Tak terkecuali para pengembang perumahan, para kontraktor yang membangun jalan, jika bekerja sesuai dengan moralitas dan tanggung jawab yang besar, tidak mengurangi racikan bahan bangunan dan tidak mengurangi kualitas dan ketebalan pengaspalan sebuah jalan, maka mereka dapat ditakar sebagai orang-orang yang saleh. Aktifitas mereka merupakan indikator-indikator kesalehan. Kesalehan demikian bukan saja tinggi nilainya di hadapan Allah, tapi juga turut serta menyelamatkan  siklus kehidupan. Semoga bermanfaat.

Muhammad Qorib, Dosen FAI UMSU

Exit mobile version