JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sebagai Unit Pembantu Pimpinan (UPP), Lazismu memiliki peran dalam penghimpunan serta pendayagunaan dana zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya (ZISKA) di Muhammadiyah. Pasca Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta, setiap UPP dalam lingkup persyarikatan berupaya menerjemahkan keputusan-keputusan strategis sebagai acuan untuk lima tahun ke depan.
Perhelatan tersebut telah menetapkan Risalah Islam Berkemajuan sebagai salah satu keputusan strategis. Oleh karena itu perlu diadakan suatu kajian untuk merumuskan langkah peneguhan dan pencerahan yang dapat dilaksanakan oleh Lazismu sesuai amanat keputusan Muktamar ke-48.
Lazismu PP Muhammadiyah menggelar diseminasi riset yang berjudul “Dimensi Islam Berkemajuan dalam Pengelolaan ZISKA di Muhammadiyah” secara daring pada Jumat (01/09). Acara ini dihadiri oleh Amil Lazismu dari tingkat Pusat, Wilayah, Daerah, hingga Kantor Layanan se-Indonesia. Bertindak sebagai Keynote Speaker adalah Prof. Hilman Latief, Ph.D. (Bendahara Umum PP Muhammadiyah), kemudian turut menghadirkan Fauzan Anwar Sandiah, M.Pd. (Peneliti Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani PP Muhammadiyah), Dr. Dadang Syaripuddin, M.A. (Dewan Pengawas Syariah Lazismu PP Muhammadiyah), dan Ibnu Tsani, M.Sos. (Badan Pengurus Lazismu PP Muhammadiyah). Sementara Moderator adalah Sita Rahmi BS, M.A. (Manajer Divisi R&D Lazismu PP Muhammadiyah).
Dalam sambutannya, Ketua Badan Pengurus Lazismu PP Muhammadiyah, Ahmad Imam Mujadid Rais,. M.IR mengingatkan bahwa Amanat Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah mendorong Lazismu sebagai UPP yang diamanahkan untuk mengelola ZISKA agar memperkuat tata kelolanya. Salah satunya membentuk manajemen yang profesional, memperkuat audit keuangan, inovasi-inovasi sosial, yang semuanya berujung pada kontribusi untuk program-program persyarikatan dan keumatan.
“Dari aspek ideologis juga menjadi hal yang penting bahwa Risalah Islam Berkemajuan ini dapat berjalan dengan masif. Kita mulai dari Lazismu,” tegas Rais.
Bendahara Umum PP Muhammadiyah, Prof. Hilman Latief, Ph.D. yang menjadi Keynote Speaker dalam acara ini menerangkan bahwa gerakan filantropi di dalam Persyarikatan Muhammadiyah dapat berkembang lebih baik lagi. Selain kenyataan bahwa Muhammadiyah tidak lepas dari gerakan filantropi, ekosistem filantropi dalam gerakan ini harus dibangun dengan baik. “Untuk tahun-tahun ini kita didorong melakukan dan membuat banyak sinergi serta kerja sama, bagaimana kita merekonsiliasi program-program yang berbeda antar majelis dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” ujarnya.
Gerakan Islam Berkemajuan, lanjut Hilman, tidak lepas dari gerakan dakwah, tajdid, ilmu, dan amal. Tugas kita adalah mengombinasikan gerakan tersebut secara bersamaan. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh gerakan filantropi Muhammadiyah juga harus mulai meningkat, bergeser dari pola-pola lama kepada pola-pola baru yang lebih menantang, mudah dieksekusi, dan lebih cepat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Hilman pun berpesan agar Lazismu harus memiliki pilot project untuk pemberdayaan. Rencana yang kuat harus disiapkan, seperti membuat agenda perubahan untuk Lazismu 5 tahun ke depan, menentukan tolok ukur sehingga bisa melihat apa yang dihasilkan. Lazismu pun harus membuat ‘grand design’ untuk pemberdayaan tersebut, sehingga bisa melihat, mempelajari, mengevaluasi, dan mengembangkannya.
“Saya mendorong seluruh jajaran Lazismu, mulai sekarang kita imajinasikan bahwa proyek perubahan Lazismu tidak dilakukan sendirian, tapi juga dilakukan dengan majelis lain. Apa sih yang bisa kita buat? Selama ujungnya adalah untuk penguatan masyarakat, saya kira inovasi yang dilakukan harus didorong. Jangan takut berinovasi, salah lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa,” ajak Hilman.
Peneliti Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani PP Muhammadiyah, Fauzan Anwar Sandiah, M.Pd. yang turut menyusun kajian riset tersebut bersama Divisi Research and Development (R&D) Lazismu PP Muhammadiyah memaparkan bahwa ada 3 pertanyaan yang mendasari penelitian ini. “Pertama adalah bagaimana menerjemahkan Risalah Islam Berkemajuan untuk memperkuat paradigma, metode, strategi, dan narasi tata kelola ZISKA di Muhammadiyah. Kedua, bagaimana keterjalinan antara gagasan Islam Berkemajuan dan fungsinya untuk menopang tajdid dalam tata kelola ZISKA di Muhammadiyah. Terakhir, bagaimana desain yang mungkin untuk mengakselerasi inovasi tata kelola ZISKA Muhammadiyah melalui Lazismu,” jelasnya.
Fauzan menambahkan, salah satu keputusan penting dalam Muktamar ke-48 yang perlu diperhatikan adalah setiap entitas di Muhammadiyah ditantang untuk menerjemahkan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi ide dasar mengenai Islam berkemajuan dalam melakukan pelayanan sosial. Ini terkait dengan bagaimana Muhammadiyah dapat berakselerasi dalam konteks meningkatkan kiprah dakwah dan tajdidnya di Indonesia.
Dewan Pengawas Syariah Lazismu PP Muhammadiyah, Dr. Dadang Syaripuddin, M.A. menanggapi kajian riset ini dengan mengingatkan agar Risalah Islam Berkemajuan tidak boleh berhenti hanya sebatas rumusan, namun harus diturunkan ke tingkat implementasi program-program di persyarikatan. Salah satunya adalah dalam pengelolaan ZISKA. “Hakikat Islam Berkemajuan adalah Islam yang diinterpretasi dan diimplementasikan bagi umatnya, baik yang sifatnya individual maupun kolektif,” ucapnya.
Lebih jauh Dadang menjelaskan, yang diinginkan Allah dalam pelaksanaan ibadah zakat adalah keimanan, ketakwaan, ketaatan, dan kepatuhan hamba dalam memenuhi perintah untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah. Kaitan dengan implementasi tidak sebatas hanya memenuhi apa yang diperintahkan Allah, tetapi bagaimana pelaksanaan perintah itu berdampak dan berdaya guna. Dalam implementasinya, apakah kemaslahatan atau manfaat dapat secara luas dirasakan atau tidak.
Sementara itu mewakili Badan Pengurus Lazismu PP Muhammadiyah, Ibnu Tsani, M.Sos. merekomendasikan beberapa hal yang harus dijalankan oleh Lazismu berdasar hasil kajian riset ini. Rekomendasi tersebut meliputi aspek gerakan dakwah, kompetensi amil, syariah, dan kelembagaan. Selain itu, Lazismu pun harus mendefinisikan ulang kemiskinan.
Saat ini, menurut Ibnu Tsani, kemiskinan tidak lagi berdasarkan pendapatan seseorang. Bukan hanya aspek apakah seseorang menjadi miskin karena pendapatannya di bawah nilai tertentu. Akses air, sanitasi, listrik, dan lain sebagainya kini telah menjadi instrumen dalam mendefinisikan kemiskinan.
“Kalau selama ini kita disajikan oleh data dan teori bahwa kemiskinan itu didefinisikan melalui pendekatan moneter. Sekarang trennya berubah, kemiskinan itu konsepnya melalui pendekatan kemiskinan yang diperluas,” pungkas Ibnu Tsani. (Riz)