Oleh: Mahli Zainuddin Tago
SM Tower, 19 Agustus 2023. Aku, istriku, dan Kang Prayit sesama Shabran 86 memasuki loby Hotel and Convention Centre milik Persyarikatan ini. Juga ikut bergabung istri Kang Prayit. Kami janjian bertemu dengan dua Shabran 86 peserta Rakernas MPK PP Aisyiah yang diselenggarakan di gedung baru nan megah ini. Kang Prayit baru memulai bertanya ke resepsionis ketika dari sampingnya terdengar suara perempuan yang khas dan keras. “Ini Suprayitno ya….” Suprayitno adalah nama lengkap Kang Prayit. Yang bertanya adalah Arika. Dia Shabran 86 utusan Sumatera Utara. Kang Prayit Shabran 86 utusan Kalimantan Timur. Rupanya mereka sudah puluhan tahun tidak bertemu. Sejak tamat Shabran pada 1991. Jarak yang jauh dan kesibukan masing-masing membuat mereka lama tidak bertemu darat. Aku akan memulai seri-3 cerita tentang Shabran 86 kali ini tentang Arika. Dilanjutkan dengan Shabran 86 lainnya yang berasal dari Pulau Sumatera.
Arika, lengkapnya Arika Br. Perangin-angin, berasal dari kaki Gunung Sinabung, Tanah Karo, Sumatera Utara. Ika, begitu panggilan akrabnya, adalah tamatan SPG Aisyiyah Medan. Setamat Shabran Ika pulang ke Medan dan menjadi dosen di UMSU. Kini dia kepala sekolah MTs Aisyiah Medan. Ketika kuliah Ika tidak nampak menjadi mahasiswa aktivis. Tetapi setamat Shabran dia sangat aktif. Awalnya di PW NA Sumut. Kini dia menjadi salah satu wakil ketua PWA Sumut. Teman se angkatan Ika dari Sumut adalah Suriati. Anak Medan keturunan Minang ini terlahir dari keluarga pedagang. Di antara Shabran 86 rasanya Ai, panggilan Suriati, rasanya paling berkecukupan. Selesai KKN Ai tidak melanjutkan menulis skripsi. Dia dilamar Bang Edy Hanafi, dosen FH UMSU kala itu. Ai lalu menetap di Medan. Setiap ke Medan atau mereka Jogja aku dan istri selalu bertemu dengan Arika dan Ai. Dua sahabat orang medan dengan intonasi suara yang susah dipelankan ini.
Tiga utusan PWM Riau adalah Zukirman, Ahmad Nasukri, dan Edy Wicahyo. Mereka sesama alumni pesantren Muhammadiyah di Selat Panjang. Edy Wicahyo tidak menyelesiakan kuliahnya. Pada semester ke sekian dia menikah dengan gadis tetangga asrama tempat kami tinggal. Setelah itu aku kehilangan jejaknya. Sampai kini. Nasukri anak Riau keturunan Ponorogo termasuk Shabran 86 yang makmur. Ketika kuliah dia sudah bersepeda motor. Setamat Shabran dia tidak pulang ke Riau. Dia menikah dengan gadis Wironanggan Gatak-Sukoharjo. Nasukri lalu bekerja di Tyfonteks, perusahaan tekstil raksasa yang berada tidak jauh dari Makamhaji lokasi Shabran. Sedangkan Zukirman pulang ke kampung halamannya di Kampar Riau. Beliau kemudian menjadi PNS di Kemenag dan aktif di Muhammadiyah setempat. Dalam beberapa reuni kami bertemu dengan Nasukri dan Zukirman. Zukirman bersama istrinya juga pernah menginap di rumah kami di Jogja.
PWA Riau mengirim seorang utusannya menjadi Shabran 86 yaitu Suharyani. Uce, panggilan akrab Suharyani, adalah anak Indonesia. Lahir dan besar di Riau tetapi beribukan orang Minang dan berayahkan orang Jawa. Setamat dari Shabran Uce menikah dengan pegawai UMS orang Klaten. Mereka lalu lama menetap di Solo. Belakangan Uce kembali ke Pekanbaru kota asalnya. Disana dia aktif di PWA Riau sebagai anggota Mejelis. Awalnya di Majelis Pendidikan Kader. Pada periode Muktamar ke-48 Uce masuk Majelis Pembina Kesejahteraan Sosial. Uce sebagaimana Ai dan Arika adalah putri Sumatera yang selalu meriah. Uce juga sering ke Jogja. Baik dulu ketika tinggal di Solo maupun belakangan setelah berdomisili di Pekanbaru. Setiap ke Jogja, Uce selalu menghubungi kami. Uce juga beberapa kali menginap di rumah kami.
Jambi mengirim satu utusan untuk Shabran 86. Namanya Agus Salim. Agus yang keturunan Pariaman ini setamat Shabran jarang muncul dalam komunitas alaumni Shabran. Sesekali dia muncul di medsos. Aku sendiri hampir menjadi Shabran 86 Utusan Jambi. Meski lama di Jogja aku kan orang Kerinci, salah satu kabupaten di Propinsi Jambi. Pada 1986 aku sudah pulang ke Kerinci dan mendapatkan rekomendasi dari PDM Kerinci untuk mendaftar menjadi mahasiswa Shabran. Aku lalu menuju kota Jambi untuk mengikuti tes masuk Shabran di kantor PWM Jambi. Tetapi ternyata jadwal tes ditunda. Padahal aku harus secepatnya pulang ke Jogja karena sudah bekerja di Muallimin Jogja. Singkat cerita nasib membawa aku menjadi mahasiswa Shabran utusan PDM Kota Jogja. Uniknya, pada tahun pertama di Shabran aku satu kamar dengan Shabran 86 utusan Jambi yang bernama Agus Salim. Semoga mendatang silaturrahmi dengan Bang Agus Salim ini bisa terjalin kembali.
Selanjutnya dua Shabran 86 utusan Sumatera Selatan: Syaifullah dan Murtiningsih. Syaiful utusan PWM Sumsel tapi rasa Lampung. Keluarganya berasal dari Liwa Lampung Utara. Aku dekat dengan Syaiful, biasa dipanggil Cik iful, karena sesama Wong Kito. Kami berbicara dalam bahasa Melayu dialek Palembang. Pada saat di Shabran kamar kami bersebelahan. Cik Iful secara tepat mencerminkan karakter Wong Plembang yang palak: pemberani dan nekat. Tetapi seungguhnya dia orang yang baik dan hangat. Sayangnya Cik Iful tidak menamatkan studinya di Shabran. Belakangan setelah era hape aku terhubung kembali dengan Cik Iful ini. Pada setiap kesempatan ke Palembang aku mengontak beliau. Demikian juga ketika pulang ke Jogja dari Kerinci kami singgah di Palembang. Cik Haji Iful menyelesaikan S-1 dan S-2 nyan di Palembang. Cik Haji Iful yang menikahi gadis Palembang anak tokoh Muhmadiyah Sumsel, menjadi pengusaha sukses di kotanya.
Suatu ketika aku diantar Cik Iful ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin. Sebelumnya aku dikelilingkan Cik Iful menikmati kota Palembang. Juga singgah di rumahnya di kawasan Pakjo. Rupanya aku tertinggal pesawat. Sedangkan Cik Iful sudah meninggalkan bandara. Aku lalu mencari penginapan terdekat. Dua jam kemudian Cik Iful menelepon, menanyakan apakah aku sudah sampai Jogja. Aku yang tidak terlatih berpura-pura mengaku tertinggal pesawat dan kini di sebuah penginapan. Cik Ji Iful kaget. Lalu ujarnya, “Wae kau ni Mahli. Ngapo kau idak ngontak aku langsung tadi. Tiduk di rumah aku bae. Ngapo pulo tiduk di hotel…. ” Satu jam berikutnya Cik Iful menjenguk aku. Besok paginya aku dijemput dan diantar kembali ke bandara. Kebersamaan kami di Shabran memang tidak lama. Tetapi persahabatan kami terus berlanjut. Tampang Cik Iful memang sangar. Tetapi hatinya lembut. Selembut hisapan Jisamsu yang juga menjadi ciri khasnya.
Sedangkan Murtiningsih adalah Shabran 86 utusan PWA Sumsel. Atik, panggilan akrabnya, kelahiran Lahat dari ibu orang Minang dan ayah orang Muntilan Jawa Tengah. Sejak masa SMP Atik sudah sekolah di Jogja. Bersama Sutianah dari Serang-Banten dan Wahidah dari Samarinda-Kaltim, Atik masuk Shabran sebagai alumni Madrasah Muallimat Muhammadiyah Jogja. Sebagaimana Cik Iful, Atik juga masuk Jurusan Ushuluddin Prodi Ilmu Perbandingan Agama. Sebagaimana Iful juga, Atik melihat aku sebagai Wong Kito. Maka kami pun saling bicara dalam Bahasa Melayu dialek Palembang. Setamat dari Shabran Atik menjadi dosen di IAIN Raden Fattah Palembang. Atik menikah dengan Bang Irawan Shabran 85 utusan Jakarta. Mereka menetap di Palembang. Atik kini menjadi salah satu pengurus di PWA Sumsel. Sehingga kami beberapa kali bertemu dalam acara-acara Persyarikatan.
Selanjutnya Shabran 86 terakhir dari Sumatera adalah Suud Yusma. Dia utusan PWM Bengkulu. Suud tipe anak Sumatera yang tenang. Agak berbeda dengan Cik Haji iful Wong Palembang. Ketika kuliah juga tidak nampak tanda-tandanya sebagai mahasiswa aktivis. Pakaiannya bermerek, penampilannya rapi, dan kumis tebal menghiasi hidung mancungnya. Setamat Shabran Bang Suud pulang ke Bengkulu dan aku kehilangan kontak dengannya. Beberapa kali ke Bengkulu aku bertemu dengan beberapa alumni Shabran disana. Kangmas Joko Mulyono, Bang Syarius, Dik Eny Khairani, dan Dik Mukhlizar. Dengan Dik Eny yang anggota DPD RI utusan Bengkulu aku bahkan beberapa kali bertemu dalam berbagai forum. Aku bahkan pernah menginap di Rumah Dakwah Aisyiah, rumah pribadinya yang megah yang disulap menjadi posko aktivitas Aisyiah di Bengkulu. Tetapi aku tidak berhasil menemukan Bang Suud kawanku lamaku sesama Shabran 86.
Hal yang menarik dari para alumni Shabran adalah aktivitas mereka setelah menjadi alumni. Ketika kuliah tidak semua menjadi mahasiswa aktivis. Baik di kampus maupun di pengajian kampung sekitar Shabran. Tetapi setelah lulus pada umumnya kami menjadi aktivis di masyarakat. Baik di Muhammadiyah maupun di masyarakat pada umumnya. Belakangan setelah era hape aku kembali terhubung dengan Suud. Tetapi melalui nomor hape anaknya. Bang Suud tidak mau memegang hape. Bang Suud ternyata menjadi mubalig di pedalaman Rejang Lebong Bengkulu. Selain menjadi guru dia khatib tetap di beberapa masjid. Belakangan lagi aku dikejutkan info dari anaknya. Bahwa Bang Suud sudah meniggal dunia. Bahwa Bang Suud wafat di mimbar ketika menyampaikan khutbah Jumat. Allaahu Akbar. Sebuah momentum kematian yang dahsyat yang dicitakan banyak aktivis dakwah. Kawanku Suud Yusma, yarhamhullaahu Azza wa Jalla. Aamiin.
Tamantirto-Jogja, 09 September 2023
Mahli Zainuddin Tago.