Oleh: Donny Syofyan
Dinasti Abbasiyah menghadapi situasi yang penuh keputusasaan. Wilayah khalifah makin mengecil hingga di sekitar Baghdad. Tahun 945 dinasti Abbasiyah bahkan kehilangan ibukotanya Baghdad yang diambil alih oleh dinasti Buwayhid, yang merupakan kalangan Syiah dari Persia. Dalam situasi ini, pada pergantian abad ke-10 dan ke-11, al-Qadir (khalifah ke-25 dinasti Abbasiyah) mengutuk pemikiran kritis dan memerintahkan rakyatnya untuk menjauhkan diri dari para filsuf dan pemikir bebas Mu`tazilah. Dengan demikian, Al-Qadir melarang ajaran Mu`tazilah dan mendukung teologi Asy`ariyah dan yurisprudensi Ahmad bin Hanbal.
Tidak jelas apa yang mendorong Al-Qadir mengutuk pemikiran kritis karena ajaran Islam seperti ijtihad sebenarnya mengharuskan umat Islam untuk merefleksikan diri dan mengajukan pertanyaan. Namun para sejarawan masa kini berpendapat bahwa itu didasarkan pada situasi politik, Al-Qadir percaya bahwa konsep takdir Asy`ariyah akan menstabilkan kerajaan dan membuat rakyat lebih puas dengan ketidakadilan, kelaparan dan korupsi pemegang otoritas karena semuanya diyakini sebagai bagian rencana Tuhan. Sementara ajaran kehendak bebas Mu`tazilah’s memajukan pemikiran kritis yang menginspirasi pemberontakan dan kerusuhan politik. Untuk menegakkan kebijakannya Al-Qadir mengeluarkan undang-undang kemurtadan (law of apostasy).
Sebelumnya ada lembaga hukum yang melarang penegakan hukuman secara keras dan sewenang-wenang karena penguasa Abbasiyah sebelumnya relatif sekuler. Namun keputusan baru ini membuat Al-Qadir lebih mudah untuk mengutuk dan menghukum para pembangkang, tokoh-tokoh skeptis dan golongan minoritas. Karena undang-undang kemurtadan ini, para penguasa Muslim mudah saja menganiaya kelompok oposisi dan mengubah kurikulum madrasah yang dikelola oleh negara.
Dalam konteks ini ajaran Mu`tazilah secara bertahap menghilang dari sistem pendidikan, sementara pemikiran Asy`ariyah menjadi dasar dari ajaran Sunni Islam. Karena para pengikut Mu`tazilah yang tersisa secara resmi tidak dapat mengungkapkan keyakinan mereka terang-terangan, kebanyakan mencari perlindungan dalam gerakan oposisi, seperti Syiah di Persia. Di sana teologi Mu’tazilah sangat mempengaruhi Ja’fariyah yang sampai kini masih menjadi mazhab yurisprudensi Syiah.
Pemerintahan Al-Qadir berlangsung selama 40 tahun. Meskipun berbagai usaha telah diperbuat, wilayah Abbasiyah terus berkurang. Di wilayah Horace—sebagian mencakup Iran, Afghanistan, dan Pakistan hari ini—seorang pesaing baru akan maju di Dunia Islam, yakni Seljuk dari Turki. Mereka adalah masyarakat yang sangat militeristik dan dipuji akan kekuatannya dari tanah kasar bebatuan di Asia Tengah. Prajurit Seljuk terbiasa menghajar lawan yang tangguh. Mereka menguasai keterampilan memanah dan menunggang kuda yang tidak tertandingi. Masyarakat Turki seperti Seljuk dan Bulgar diperkenalkan kepada Islam oleh para pendakwah Muslim yang telah memadukan ritual pagan dengan tradisi Islam. Ini membawa muatan mistisisme pada Islam. Tetapi ini juga membuat pola pikir Seljuk sangat berbeda dari populasi Persia, Arab dan bahkan Mumluk yang juga dari Turki.
Pada tahun 1040, penguasa Seljuk, Tughril mengumpulkan tentara dan menggulingkan dinasti dari Persia. Merasakan adanya peluang, penguasa Abbasiyah mengundang Tughril untuk merebut kembali Baghdad dari dinasti Buwayhid. Satu dekade kemudian pada 1055 Seljuk memasuki Baghdad. Karena baru mengenal Islam, penguasa Seljuk tidak terlalu peduli tentang perdebatan antara Asy`ariyah dan Mu`tazilah tentang teologi dan yurisprudensi.
Jadi ketika Tughril mengangkat dirinya sebagai sultan dan menaklukkan penguasa Abbasiyah, dia mengizinkan masyarakat Abbasiyah untuk memutuskan sendiri persoalan teologi mereka. Dengan menaklukkan Baghdad, orang-orang Seljuk telah menjadi pembela Islam dan karenanya harus menjawab panggilan untuk berperang. Penantangnya adalah kekaisaran Bizantium. Hanya dalam beberapa dekade konflik antara dinasti Seljuk dan Bizantium telah meletakkan dasar bagi Perang Salib. Ini juga berdampak musnahnya masyarakat ilmiah Mu`tazilah.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas