Imam Syafi’i: Pembela Sunnah

Imam Syafi’i: Pembela Sunnah

Imam Syafi’i: Pembela Sunnah

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Kita mengetahui bahwa Imam Syafi’i adalah eponim dari mazhab Syafi’i. Untuk memulai tulisan ini, saya ingin memberikan gambaran singkat tentang makna mazhab pemikiran ini.

Umat Islam bergantung pada Al-Qur`an sebagai Firman Allah untuk mengetahui apa yang harus dilakukan. Al-Qur`an seringkali singkat atau genrik, dan informasinya dilengkapi dengan Sunnah dari Nabi Muhammad SAW—sesuatu yang Nabi katakan, lakukan, atau orang melihat Nabi melakukan, atau sesuatu yang dilakukan di hadapannya dan Nabi tidak keberatan dengan itu. Itu menjadi preseden bagi hukum Islam. Lalu bagaimana menyatukan semua bagian, terutama karena kita memiliki banyak ucapan Nabi Muhammad SAW?

Seseorang terkadang tidak dapat membedakan dengan mudah antara apa/mana yang asli dari Nabi SAW dan apa yang mungkin dibuat-buat oleh seseorang. Kalau pun kita memiliki kutipan yang otentik, orang masih bertanya-tanya mana yang paling tepat untuk dihubungkan dengan ayat-ayat tertentu dari Al-Qur`an. Ini seperti potongan teka-teki jigsaw di mana kita harus tahu bagaimana cara menyatukannya. Ada hal–hal yang lebih pas, tapi beberapa hal terlihat dipaksakan.

Di sinilah para ulama besar di masa lalu hadir dan terlibat mengembangkan metode-metode untuk menyaring antara berbagai riwayat dan prinsip yang digunakan untuk menggunakan semua informasi demi membentuk gambaran yang lebih besar. Abu Hanafi punya prinsipnya sendiri, Imam Malik punya prinsipnya sendiri, dan begitu juga Imam Syafi’i datang dengan prinsipnya sendiri.

Lalu apa prinsip-prinsip Imam Syafi’i? Apa yang membuat teorinya unik? Kita melihat adanya kepelbagaian mazhab. Sebelum Imam Syafi’i sudah ada mazhab Hanafi dan mazhab Maliki. Mereka berbeda dalam banyak hal. Satu berbasis di Irak, yaitu mazhab Abu Hanafi dan yang lainnya berbasis di Madinah, yakni mazhab Imam Malik.

Perkembangan praktik-praktik Islam juga sedikit berbeda di dua wilayah tersebut dan di wilayah lain juga. Melihat semua variasi regional ini, Imam Syafi’i berpikir bahwa perubahan bertahap dari satu generasi ke generasi lainnya dapat menyebabkan perbedaan besar di banyak tempat, kota dan desa.

Dia ingin kembali ke asal usul perihal seperti bagaimana di zaman Nabi Muhammad SAW. Apa yang Nabi lakukan dan bagaimana praktik-praktik di zamannya? Untuk itu Imam Syafi’i

harus mengandalkan laporan. Pelbagai laporan itu sendiri pada awalnya diberikan dari mulut ke mulut, sehingga mereka juga mengalami perubahan secara bertahap.

Sementara Imam Syafi’i hidup di lingkungan di mana kajian terhadap narasi atau periwayatan telah mencapai puncaknya. Kala itu para sarjana Muslim memeriksa semua perawi. Mereka menyusun biografi para perawi. Dan bukan hanya siapa, tapi siapa ketemu siapa, siapa murid siapa dan seterusnya.

Jika seseorang berkata, “Saya mendengar ini dari orang ini dan itu”, maka para sarjana Muslim ini akan menguji apakah dia benar-benar murid si fulan sehingga orang dapat yakin bahwa dia menyampaikan informasi dari informan yang disebutkannya. Semua jejak itu harus kembali atau bisa ditelusuri ke Nabi Muhammad SAW. Jika ada rantai yang rusak, maka kita tidak tahu dari mana informasi itu berasal. Konsekuensinya ini bukanlah laporan yang bisa diandalkan alias dipercaya.

Imam Syafi’i hidup dalam lingkungan di mana dia memiliki dan menikmati tingkat kepercayaan demikian. Baginya, praktik yang ada di lapangan tidak begitu bisa diandalkan. Mereka bisa saja diubah secara bertahap selama beberapa generasi, yang mengarah ke perbedaan besar pada akhirnya. Namun baginya, riwayat Hadits, terutama yang terlacak dengan baik sampai ke Nabi Muhammad SAW, lebih dapat dipercaya daripada praktik di lapangan. Imam Syafi’i menempatkan ketergantungan pada hadits sebagai ciri khas dan posisinya.

Sebagian pesar pikiran dan pendapat Imam Syafi’i bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul Al-Risalah, yang berarti pesan. Ini adalah buku satu jilid. Terjemahan bahasa Inggrisnya ditulis oleh Majid Khadduri. Dan dalam buku ini Imam Syafi’i sangat menganjurkan untuk mengandalkan Hadits, yang merupakan komponen yang sangat penting dalam pemikirannya.

Umat Islam memiliki Al-Qur`an dan meyakininya sebagai firman Tuhan. Bila ada yang berkata, “Kita hanya perlu mengandalkan Al-Qur`an. Ini adalah Firman Tuhan. Mengapa kita membutuhkan yang lainnya?” Bagi Imam Syafi’i ini keliru. Boleh jadi pendapat ini muncul karena bacaan mereka tentang ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang Kitab dan Hikmah (kebijaksanaan). Nabi Muhammad SAW diutus untuk mengajarkan kepada orang-orang kitab suci dan hikmah (QS 3:164)— وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ.

Boleh jadi mereka berpikir bahwa hikmah alias kebijaksanaan merupakan cara lain untuk merujuk pada Al-Qur`an, karena Al-Qur`an sendiri menyebut dirinya sebagai Al-Hakim, kitab yang bijaksana. Tapi menurut Imam Syafi’i ini dua hal yang berbeda. Al-Qur’an dan Hikmah merupakan sesuatu yang lain. Kebijaksanaan adalah sesuatu yang lain. Bagi Imam Syafi’i, hikmah di sini referensi untuk ucapan dan tindakan Nabi Muhammad SAW yang tidak disebutkan dalam Al-Qur`an itu sendiri.

Bagi Imam Syafi’i tentu saja bahwa Al-Qur`an menempati peringkat tertinggi. Dia menegaskan jika seseorang ingin tahu apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, maka dia hanya perlu membaca Al-Qur`an. Kita perlu memulai dengan Al-Qur’an sebab Al-Qur’an bukan hanya petunjuk bagi kita tapi juga untuk Nabi Muhammad SAW. Tidak terbayangkan bahwa Nabi bertindak bertentangan dengan Al-Qur`an yang diwahyukan kepadanya, dan kemudian beliau membacakannya kepada kita. Jika kita tahu apa yang Al-Qur`an katakan, maka kita tahu Nabi Muhammad SAW melakukannya. Ini sederhana sekali.

Tapi bagaimana dengan masalah yang tidak disinggung atau diuraikan secara rinci oleh Al-Qur’an? Pada titik inilah menurut Imam Syafi’i, kita perlu mengandalkan atau menoleh kepada Hadits. Bila selanjutnya masih samar, lalu apa kesepakatan umat Islam secara umum? Apa yang disepakati oleh umat Islam dimana-mana. Lagi-lagi hal ini pasti bisa ditelusuri kembali ke Nabi Muhammad SAW, sesuatu yang tidak mengalami perubahan bertahap yang mengakibatkan variasi di berbagai tempat.

Lalu bagaimana jika isu-isu yang dihadapi juga tidak disebutkan secara khusus, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam Hadits? Di sinilah kita harus menggunakan analogi. Kita harus membawa putusan yang sama dengan masalah yang sudah diputuskan. Kita bisa menelaah kepada empat prinsip dasaruntuk memperoleh hukum Islam.

Pemikiran ini sebagian besar dilahirkan oleh Imam Syafi’i. Dia lahir pada tahun 150 Hijriah. Jadi sekitar 139 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Ini adalah abad kedua Islam di mana pengetahuan telah berkembang sedemikian rupa, di mana Imam Syafi’i dapat memiliki tingkat kepercayaan seperti itu pada level pengetahuan saat itu.

Exit mobile version