Imam Ahmad bin Hanbal: Hadits di Atas Akal
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Imam Ahmad bin Hanbal adalah tokoh utama dari mazhab Hanbali. Dia lahir pada tahun 164 Hijriah, yang berarti 153 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, artinya abad kedua Islam. Jika menengok ke belakang, kita dapat melihat bahwa keempat mazhab pada dasarnya berkembang pada abad kedua Islam, meskipun Imam Hanafi lahir pada abad pertama, begitu juga Imam Malik. Tapi pada saat mereka dewasa dan aktif mengajar, mereka berada pada abad kedua Islam, beberapa dekade setelah Nabi Muhammad SAW.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah sosok terakhir dari keempat imam ini, para eponim di balik empat mazhab fikih Islam yang kita kenal sekarang. Dia membangun apa yang telah dilakukan oleh para ulama sebelumnya, terutama karya Imam Syafi’i. Kita ingat bahwa Imam Syafi’i sangat menekankan pada Hadits, tetapi Imam Syafi’i ingin membedakan antara Hadits yang sahih dan yang tidak begitu sahih.
Bagi Imam Ahmad bin Hanbal perbedaan itu penting. Imam Syafi’i masih meninggalkan ruang untuk penerapan akal di bawah panji qiyas alias analogi. Sementara bagi Imam Ahmad bin Hanbal, lebih baik menggunakan Hadits daripada mengandalkan akal sehat meskipun Hadits tersebut lemah dan tidak begitu otentik bila ditelusuri kembali ke Nabi SAW. Hemat Imam Ahmad bin Hanbal, bergantung pada akal manusia sangat mungkin salah. Lebih baik mengandalkan Hadits tersebut daripada mengandalkan penalaran Anda yang keliru.
Latar pandangan Imam Ahmad bin Hanbal bisa dipahami seperti ini. Jika Anda memiliki Hadits, meskipun Hadits tersebut tidak dapat dilacak secara terpercaya sampai ke Nabi SAW,
namun generasi saat itu atau sebelumnya pasti jauh lebih baik dari generasi kita. Jadi informasi yang turun dalam bentuk Hadits sebetulnya dari generasi sebelumnya. Lagi pula informasi ini tidak datang dari sembarang orang dari generasi sebelumnya. Ia muncul dari orang-orang berilmu dan dipercayai sebagai sumber informasi.
Karenanya mazhab Imam Ahmad bin Hanbal menjadi sangat berpusat pada Hadits. Untuk mendukung visi tersebut bagi sebuah mazhab, dia mengumpulkan koleksi Hadits yang sangat banyak, berjumlah sekitar 28.000 hingga 30.000 Hadis. Karyanya ini berbicara tentang banyak detail tentang ketaatan akan Islam, menyisakan sedikit ruang untuk penerapan akal dan penilaian manusia.
Karya Imam Ahmad ibn Hanbal ini berbeda dengan, katakanlah, Muwatta Imam Malik. Muwatta berisi sekitar 500 Hadits dari Nabi Muhammad SAW dan ratusan riwayat dari praktik-praktik Umar dan sahabat Nabi lainnya. Sebaliknya, koleksi Imam Ahmad bin Hanbal yang dikenal sebagai Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, berisikan sekitar 30.000 Hadits. Ini jauh lebib besar dalam hal volume dibandingkan Muwatta Imam Malik. Hadits-hadits dalam Muwatta disusun berdasarkan topik. Kita dapat mencari topik tertentu dan menemukan pelbagai Hadits di sini yang terkait dengan topik tersebut. Dalam karya Imam Ahmad bin Hanbal, Hadits disusun menurut perawi.
Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal berpusat pada Hadits. Ini bermakna mereka ‘ragu-ragu’ untuk menggunakan akal dan rasionalitas. Hal ini tercermin dalam banyak hal bahkan hingga hari ini. Mazhab Hanbali telah diadopsi di Arab Saudi sebagai mazhab resmi. Kita dapat melihat praktik-praktik yang cenderung mengambil sesuatu secara harfiah dari apa yang diriwayatkan dalam Hadits. Penerapan akal relatif terhambat lewat pendekatan ini.
Imam Ahmad bin Hanbal juga terlibat dalam kontroversi teologis. Pada masanya, ada kaum rasionalis dan dia bereaksi terhadap kaum rasionalis. Dia tegak ke arah atau haluan yang berlawanan. Kaum rasionalis (Mu’tazilah) ingin berpikir lebih jernih tentang berbagai hal. Mereka tidak terlalu mengandalkan Hadits. Mereka berpendapat bahwa Hadits dapat berubah dari satu orang ke orang lain.
Kaum Mu’tazilah banyak mengandalkan Al-Qur`an dan akal atau rasionalitas. Salah satu isu yang mengemuka dalam diskusi dulu adalah bahwa bahwa Al-Qur`an itu pasti memiliki asal usul waktu sedangkan Tuhan itu kekal. Nah Imam Ahmad bin Hanbal bereaksi terhadap hal ini dan berpandangan bahwa Al-Qur`an tidak diciptakan. Posisi Imam Ahmad bin Hanbal jelas bahwa Al-Qur`an adalah Firman Tuhan. Dia tegas dan tidak mau masuk ke dalam upaya rasionalisasi ala kaum Mu’tazilah.
Secara ringkas, penolakan Imam Ahmad bin Hanbal atas Mu’tazilah karena beberapa alasan mendasar. Pertama, Al-Qur`an sebagai Kalamullah. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur`an adalah makhluk ciptaan Tuhan. Imam Ahmad bin Hanbal dengan tegas menolak pandangan ini, karena Al-Qur`an adalah firman Allah yang bersifat qadim (tidak berawal) dan bukan makhluk.
Kedua, sifat-sifat Allah. Mu’tazilah memiliki pandangan yang berbeda tentang sifat-sifat Allah. Mereka cenderung merasionalisasikan sifat-sifat Allah dan menolak penafsiran harfiah. Imam Ahmad bin Hanbal berpegang teguh pada pemahaman sifat-sifat Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur`an dan Hadits tanpa melakukan penafsiran yang menyimpang.
Ketiga, kehendak bebas manusia. Mu’tazilah meyakini bahwa manusia memiliki kehendak bebas secara penuh atas tindakannya. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa meskipun manusia memiliki kehendak, namun Allah tetap memiliki kendali dan kekuasaan mutlak atas segala sesuatu.
Keempat, metodologi pemahaman agama. Mu’tazilah lebih menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, bahkan terkadang mengesampingkan teks-teks agama. Imam Ahmad bin Hanbal, sebagai seorang ahli Hadits, sangat menjunjung tinggi Al-Qur`an dan Hadits sebagai sumber utama dalam memahami agama dan tidak setuju dengan pendekatan Mu’tazilah yang terkadang mengabaikan dalil-dalil agama.
Penolakan Imam Ahmad bin Hanbal terhadap Mu’tazilah didasari oleh keyakinannya yang kuat terhadap ajaran Islam yang murni dan otentik berdasarkan Al-Qur`an dan Hadits. Beliau berpegang teguh pada pemahaman para sahabat dan tabi’in yang dianggap sebagai generasi terbaik dalam memahami Islam.