Anak Saleh (5)

Hukum Membawa Anak Kecil ke Masjid

Foto Ilustrasi

Anak Saleh (5)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Di dalam “Anak Saleh” (AS) 4 telah diuraikan tiga langkah ikhtiar untuk memperoleh anak saleh, yakni (1) membaca Al-Qur’an, (2) belajar dari kata dan peristiwa, dan (3) bergaul dengan orang saleh. Perlu dipahami dengan sebaik-baiknya bahwa ketiga ikhtiar tersebut baru merupakan bagian dari ikhtiar yang perlu dilakukan oleh pasutri dan keluarga besarnya agar beroleh anak saleh.

Sudah menjadi pemahaman bagi muslim mukmin bahwa dengan membaca Al-Qur’an diperoleh berbagai keutamaan. Lebih-lebih lagi, muslim mukmin yang membaca, memahami, dan mengamalkan isinya. Mereka dijamin oleh Allah Subḥanahu wa Ta’ala memperoleh kebaikan dunia dan akhirat.

Di dalam Al-Qur’an terdapat berbagai nasihat, baik nasihat untuk dilaksanakan maupun untuk ditinggalkan, dan kisah atau peristiwa yang penuh hikmah. Muslim mukmin wajib mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Untuk mempelajarinya diperlukan orang berilmu yang saleh. Orang yang demikianlah yang dapat mengajarkan kebenaran sejati, yakni kebenaran yang menderdaskan, mencerahkan, dan memajukan umat sehingga dapat mendekatkan manusia sebagai makhluk dengan Allah Subḥanahu wa Ta’ala sebagai khalik.

Pada AS (5) ini diuraikan beberapa hal penting yang masih terkait dengan tiga hal yang diuraikan pada AS (4). Hal yang secara khusus diuraikan adalah tradisi di kalangan sebagian muslim mukmin Indonesia, khususnya Jawa, dalam hal membaca dan/atau membacakan Al-Qur’an untuk ibu hamil agar beroleh anak saleh.

Surat-Surat yang Dibaca atau Dibacakan

Pada subjudul ini digunakan kata dibaca dan dibacakan. Dibaca merujuk kepada orang yang membaca Al-Qur’an adalah pasutri itu sendiri, sedangkan dibacakan merujuk kepada orang yang membacanya adalah orang lain misalnya orang tua pasutri, saudara, tetangga, teman, atau orang lain lagi dengan tujuan agar pasutri itu dianugerahi anak saleh.

Dalam ikhtiar beroleh anugerah itu ada tradisi pada sebagian pasutri muslim mukmin Indonesia ketika istri hamil, membaca Al-Qur’an dan/atau dibacakan surat Yusuf dan surat Maryam. Dengan membaca dan/atau dibacakan kedua surat itu secara berulang-ulang, mereka berharap jika anak yang dikandung berjenis kelamin laki-laki, dia berparas tampan seperti Nabi Yusuf dan jika perempuan menjadi perempuan mulia seperti Maryam.

Ada lagi sebagian muslim mukmin yang mempunyai pemahaman bahwa untuk ibu hamil dianjurkan membaca dan/atau dibacakan surat Luqman, Yusuf, Muhammad, al-Kahfi, ar-Rahman, al-Waqiah, al-Mulk, dan Maryam. Masih ada lagi tradisi bagi ibu hamil. Dia dianjurkan membaca dan/atau dibacakan selain surat yang telah disebutkan itu ditambah surat an-Nisa, al-Kahfi, dan Yasin.

Sumber Tradisi

Sekurang-kurangnya ada dua sumber tradisi membaca dan/membacakan Al-Qur’an bagi ibu hamil. Kedua sumber itu adalah (1) warisan dan (2) ilmu. Muslim mukmin yang mengadakan tradisi itu berdasarkan warisan leluhurnya umumnya sekadar membaca dan/atau membacakan Al-Qur’an. Mereka tidak memahami kandungan isi surat secara utuh.

Berkali-kali membaca dan/atau membacakan surat Yusuf misalnya, tetapi hanya tahu bahwa Nabi Yusuf berparas tampan. Mereka tidak tahu akan perjuangannya melawan godaan perempuan (yang kemudian dikenal dengan nama Zulaikha). Di dalam Al-Qur’an surat Yusuf (12): 23 dijelaskan,

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا عَنْ نَّـفْسِهٖ وَغَلَّقَتِ الْاَ بْوَا بَ وَقَا لَتْ هَيْتَ لَـكَ ۗ قَا لَ مَعَا ذَ اللّٰهِ اِنَّهٗ رَبِّيْۤ اَحْسَنَ مَثْوَايَ ۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ

“Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya, orang yang zalim itu tidak akan beruntung.”

Abdullah Yusuf Ali di dalam The Holy Qur’an menerjemahkan kalimat yang diucapkan oleh Zulaikha kepada Yusuf dengan, “Marilah sayang.”

Sementara itu, di dalam ayat 24 dijelaskan,

وَلَـقَدْ هَمَّتْ بِهٖ ۙ وَهَمَّ بِهَا ۚ لَوْلَاۤ اَنْ رَّاٰ بُرْهَا نَ رَبِّهٖ ۗ كَذٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّۤوْءَ وَا لْـفَحْشَآءَ ۗ اِنَّهٗ مِنْ عِبَا دِنَا الْمُخْلَصِيْنَ

“Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.”

Setidak-tidaknya ada dua pelajaran berharga yang harus dipetik, yakni (1) Yusuf mohon perlindungan kepada Allah Subḥanahu wa Ta’ala agar dapat menolak keinginan perempuan yang menggodanya dan dia pun mempunyai ketertarikan padanya dan (2) Allah Subḥanahu wa Ta’ala melindunginya karena dia berlindung kepada-Nya.

Di antara pasutri dan juga muslim mukmin yang mengadakan tradisi membaca dan/atau membacakan surat Yusuf, banyak juga yang tidak mengetahui apalagi mencontoh kemuliaan akhlak Yusuf terhadap saudara-saudaranya yang telah berusaha mencelakainya. Di dalam ayat 59 dijelaskan sikap Yusuf kepada saudara-saudaranya itu sebagai berikut.

وَ لَمَّا جَهَّزَهُمْ بِجَهَا زِهِمْ قَا لَ ائْتُوْنِيْ بِاَ خٍ لَّكُمْ مِّنْ اَبِيْكُمْ ۚ اَ لَا تَرَوْنَ اَنِّيْۤ اُوْفِی الْكَيْلَ وَاَ نَاۡ خَيْرُ الْمُنْزِلِيْنَ

“Dan ketika dia (Yusuf) menyiapkan bahan makanan untuk mereka, dia berkata, “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran dan aku adalah penerima tamu yang terbaik?”

Kemudian, pada ayat 62 dijelaskan lagi tentang perilaku Yusuf kepada saudara-saudaranya,

وَقَا لَ لِفِتْيٰنِهِ اجْعَلُوْا بِضَا عَتَهُمْ فِيْ رِحَا لِهِمْ لَعَلَّهُمْ يَعْرِفُوْنَهَاۤ اِذَا انْقَلَبُوْۤا اِلٰۤى اَهْلِهِمْ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Dan dia (Yusuf) berkata kepada pelayan-pelayannya, “Masukanlah barang-barang (penukar) mereka ke dalam karung-karungnya agar mereka mengetahuinya apabila telah kembali kepada keluarganya, mudah-mudahan mereka kembali lagi.”

Sungguh sangat disayangkan karena mereka yang menyelenggarakan tradisi itu tidak tahu apalagi mencontoh Yusuf.dalam hal memperoleh kedudukan atau jabatan tinggi. Dia memperoleh jabatan tinggi karena kemuliaan akhlaknya dan karena jasanya kepada pemerintah dan rakyat.

Disayangkan pula karena banyak muslim mukmin yang menyelenggarakan tradisi itu tanpa berpikir kritis sehingga tidak tahu adakah ayat Al-Qur’an dan/atau hadis yang dijadikan rujukan yang kuat bahwa Nabi Yusuf menikah dengan Zulaikha.

(Baca juga: “Logika dan Kesahihan Doa untuk Pengantin” oleh Mohammad Fakhrudin dan Nidaan Hasana di dalam Suara Muhammadiyah, 14 Juli 2020)

Dalam hubungannya dengan kandungan isi surat Maryam, di antara muslim mukmin yang menyelenggarakan tradisi membaca dan/atau membacakan surat itu banyak yang tidak tahu pelajaran berharga yang harus dipetik. Mereka tidak tahu akan ketabahan Maryam ketika dia hamil tanpa suami sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat Maryam (19): 20

قَا لَتْ اَنّٰى يَكُوْنُ لِيْ غُلٰمٌ وَّلَمْ يَمْسَسْنِيْ بَشَرٌ وَّلَمْ اَكُ بَغِيًّا

“Dia (Maryam) berkata, “Bagaimana mungkin aku mempunyai anak laki-laki, padahal tidak pernah ada orang (laki-laki) yang menyentuhku dan aku bukan seorang pezina!””

Sungguh Allah Subḥanahu wa Ta’ala Maha Kuasa atas segalanya. Maryam hamil meskipun tidak pernah disentuh oleh laki-laki sebagaimana dijelaskan di dalam surat Maryam (19): 22,

فَحَمَلَـتْهُ فَا نْتَبَذَتْ بِهٖ مَكَا نًا قَصِيًّا

“Maka dia (Maryam) mengandung, lalu dia mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.”

Kehamilannya itu tentu menimbulkan penilaian sangat negatif tentang dirinya. Dia dituduh telah melakukan kemunkaran. Hal itu dijelaskan di dalam surat Maryam (19): 27-28),

فَاَ تَتْ بِهٖ قَوْمَهَا تَحْمِلُهٗ ۗ قَا لُوْا يٰمَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًـا فَرِيًّا

“Kemudian, dia (Maryam) membawa dia (bayi itu) kepada kaumnya dengan menggendongnya. Mereka (kaumnya) berkata, “Wahai Maryam! Sungguh, engkau telah membawa sesuatu yang sangat munkar.”

يٰۤـاُخْتَ هٰرُوْنَ مَا كَا نَ اَ بُوْكِ امْرَاَ سَوْءٍ وَّمَا كَا نَتْ اُمُّكِ بَغِيًّا

“Wahai saudara perempuan Harun (Maryam)! Ayahmu bukan seorang yang buruk perangai dan ibumu bukan seorang perempuan pezina.””

Di pihak lain, pasutri yang berilmu tidak sekadar membaca surat Yusuf dan surat Maryam. Muslim mukmin yang berilmu tidak sekadar membacakannya. Mereka memahami juga isinya. Mereka mengaji pada orang berilmu yang saleh sehingga mengetahui keutamaan surat-surat yang dibacanya dan/atau dibacakannya. Mengaji dengan cara demikian, menghasilkan pemahaman yang utuh, yakni mengetahui sumber yang dapat dijadikan hujjah yang kokoh.

Mereka mengetahui pula bahwa Maryam adalah perempuan pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala, perempuan suci, dan perempuan yang diberi kelebihan dibandingkan dengan seluruh perempuan lain pada masa itu sebagaimana dijelaskn di dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran (3): 42.

وَاِ ذْ قَا لَتِ الْمَلٰٓئِكَةُ يٰمَرْيَمُ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰٮكِ وَطَهَّرَكِ وَا صْطَفٰٮكِ عَلٰى نِسَآءِ الْعٰلَمِيْنَ

“Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya, Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu).”

Tradisi yang bersumber pada ilmu sebagai hasil mengaji pada orang berilmu yang saleh kiranya dapat diharapkan sampai pada berpikir kritis sehingga bertanya kritis juga mengapa surat al-Hujurat tidak dianjurkan dibaca dan/atau dibacakan, padahal surat itu terkenal juga dengan sebutan surat akhlak? Mereka bertanya juga bagaimana derajat hadis yang berisi penjelasan keutamaan surat-surat itu: sahih, daif, atau palsu?

Allahu a’lam

Exit mobile version