Quo Vadis Indonesia
Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon
“Gegap gempita sebuah perayaan hari kemerdekaan jangan lantas membuat para elit negeri lupa akan tugas dan kewajiban mereka kepada rakyat untuk memberikan rasa keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.”
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Terjemahan
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Ayat di An-Nahl ayat 90 memberikan sebuah pesan kepada umat manusia, terutama kepada yang diberi amanah sebagai pemimpin atau penguasa. Mereka diberi amanah untuk mengelola, merawat, dan menjaga bangsa ini dengan mengedepankan rasa keadilan, kebajikan (kebaikan), dan kita dilarang berlaku zalim kepada rakyat. Menyebar kemungkaran dan permusuhan hanya untuk memenuhi hasrat ego pribadi, keluarga dinasti, oligarki, atau kelompok adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi. Sehingga, yang terjadi adalah carut-marut dalam sejatinya tugas para pemangku kebijakan (Presiden, Wakil Rakyat). Mereka memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya.
Baru saja bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan yang ke-79 tahun, sebuah usia yang jika diibaratkan dengan usia manusia, sudah banyak asam garam dalam perjalanannya. Dan itu semua adalah dinamika dalam perjalanan sebuah bangsa yang tidak bisa lepas dari peristiwa-peristiwa yang sangat berharga untuk menunjukkan eksistensi sebuah bangsa itu sendiri.
Jika kita menilik historis sejarah bangsa ini, dulu ada pergolakan di negeri kita. Walaupun itu antar sesama anak bangsa, pergolakan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan pandangan ideologi maupun sudut pandang, baik tentang etnis, budaya, maupun wilayah (golongan). Di tengah pergolakan itulah, masing-masing merasa benar dan merasa memilikinya. Hal itu sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa itu sendiri. Namun, kita merasakan saat ini, ibarat perahu layar yang hendak berlayar, bangsa ini sedang dalam kondisi “nestapa”, ibarat perahu yang bocor dan retak dalam berbangsa dan bernegara.
Kadang kita tidak menyadarinya, keluar dari nilai-nilai luhur bangsa kita sebagai bangsa Timur yang menjunjung tinggi nilai budaya yang luhur. Maka, kita sebagai anak bangsa ini harus memiliki tanggung jawab untuk membawa perahu layar berlayar sesuai arah kompas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan memegang prinsip agama, undang-undang dasar, Pancasila, dan budaya sebagai bangsa Timur.
Agama memegang perananan yang sangat menentukan karena agama sejatinya mengatur umat manusia dalam semua sendi kehidupan. Agama memandu umat dengan kitab suci agar selamat di dunia dan akhirat. Setiap bangsa atau negara dalam rangka menjaga serta sebagai syarat sebuah negara harus mempunyai undang-undang atau konstitusi. Dari situlah diatur mulai dari ideologi, falsafah dasar negara, hingga hal lainnya untuk memberikan pedoman kepada para pemimpin dan rakyatnya, agar sesuai dengan cita-cita amanat para pendiri bangsa.
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara merupakan ideologi dari sebuah bangsa. Setelah perdebatan panjang, Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, yang dilambangkan oleh Burung Garuda, dengan lima sila yang menjadi pengejawantahan nilai-nilai luhur. Peran tokoh-tokoh Islam dan kader persyarikatan seperti Soekarno, Mas Mansur, Kiai Bagus Hadikusuma, Kahar Muzakir, Agus Salim, dan Kasman Singodimejo tidak bisa dilepaskan dari proses ini. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila, baik bagi para pemimpin maupun rakyatnya sendiri, dengan konsisten.
Budaya adalah sebuah kebiasaan yang bisa dilakukan baik secara individu maupun secara bersama-sama untuk bangsa ini. Kita tahu bahwa para leluhur kita mewarisi budaya yang sangat banyak dan beragam. Jejak sejarah menunjukkan bahwa para leluhur membangun budaya yang memanusiakan alam, gotong royong, berjiwa kesatria, menjunjung nilai-nilai budaya daerah yang baik, ramah, dan lain sebagainya. Namun, sekarang itu semua mulai tergerus sehingga etika dan budaya dalam berpolitik, ekonomi, dan sosial menjadi jauh dari harapan, bahkan seakan-akan terjadi pembiaran.
Sekarang terjadi krisis orang beradab atau berakhlak. Walaupun banyak orang pintar, belum tentu mereka cerdas. Maka, peran para pemuka dan pemimpin di semua tingkatan harus memberi teladan yang baik dengan mengedepankan agama, moral, etika, dan budaya.