Muhammadiyah dan Surat Kabar Kedaulatan Rakjat Pada Tahun 1945
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Pada Suara Muhammadiyah edisi sebelumnya, kita berbicara tentang bagaimana sebuah surat kabar yang terbit di Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat (kini: Kedaulatan Rakyat) memberikan atensi pada pergerakan ‘Aisyiyah pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, khususnya tahun 1947. Dari beberapa berita yang dimuat di Kedaulatan Rakjat pada masa itu diketahui bahwa ternyata ‘Aisyiyah tidak vakum pada zaman yang sangat menentukan bagi negara-bangsa Indonesia itu.
Secara keorganisasian, para anggota ‘Aisyiyah telah kembali mengadakan konferensi daerah, suatu kegiatan publik yang sempat dilarang pada masa pendudukan Jepang. Di samping itu, ‘Aisyiyah juga ambil bagian dalam kegiatan memperingati hari besar Islam, salah satunya acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw pada tanggal 26 Januari 1947 di pendopo B.P.H. Poeroebojo. Selain para anggota Pengurus Besar ‘Aisyiyah, para hadirin berasal dari utusan Madrasah Muallimin dan Pengurus Besar Muhammadiyah.
Sebenarnya, selain memberikan atensi pada berbagai kegiatan’Aisyiyah di Yogyakarta dan Jawa Tengah, koran tertua yang masih eksis di Indonesia itu juga menyediakan ruang di halaman-halamannya untuk mewartakan Muhammadiyah. Sama seperti imej tentang ‘Aisyiyah, imej tentang Muhammadiyah juga sudah tertanam dengan cukup kuat di antara warga Yogyakarta, termasuk di antara para jurnalis Kedaulatan Rakjat, pada dekade 1940an.
Kendati penguasa Indonesia telah berganti dari Belanda ke Jepang, lalu ke tangan kaum Republiken, namun Muhammadiyah tetap bisa bertahan, bahkan berkembang, walau sempat pula stagnan di zaman Jepang. Pemahaman ini salah satunya bisa kita dapatkan saat membuka lembaran-lembaran Kedaulatan Rakjat hanya dalam beberapa bulan setelah koran ini terbit untuk pertama kalinya (27 September 1945). Di sana, koran ini mewartakan kepada publik Yogyakarta dan Jawa Tengah perihal berbagai aktivitas Muhammadiyah di fase awal revolusi kemerdekaan Indonesia.
Sejak kapan Kedaulatan Rakjat memberitakan tentang Muhammadiyah? Berita apa saja yang dipublikasikan Kedaulatan Rakjat terkait Muhammadiyah? Apa makna berita tersebut dalam konteks revolusi kemerdekaan Indonesia?
Laporan pertama yang berkaitan dengan Muhammadiyah muncul di Kedaulatan Rakjat minggu pertama November 1945. Tanggal persisnya sulit untuk dipastikan karena Kedaulatan Rakjat edisi ini secara fisik sudah tidak sempurna sehingga bagian tanggal sudah tidak terbaca lagi. Yang jelas, berita tentang Muhammadiyah dimuat di halaman depan bagian bawah, memperlihatkan pentingnya berita tersebut untuk segera diketahui publik Yogyakarta. Judul beritanya adalah “Konggres Oemat Islam Indonesia”. Di sana diutarakan bahwa pada tanggal 7-8 November 1945 akan diadakan Kongres Umat Islam Indonesia di Gedung Muallimin Yogyakarta (ejaan saat itu: Gedoeng Moe’allimien Jogjakarta).
Muallimin sendiri adalah salah satu sekolah yang paling awal didirikan oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Didirikan sebagai Qismul Arqa tahun 1918 di Kauman, Yogyakarta, sekolah ini berkembang menjadi sekolah pengkaderan Muhammadiyah, dengan alumni yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sebagaimana kemudian diketahui, Kongres Umat Islam Indonesia berhasil dilaksanakan di Gedung Muallimin. Hasil utamanya adalah berdirinya sebuah partai Islam yang di tahun-tahun kemudian memainkan peranan sangat penting dalam menyuarakan kepentingan kaum Muslim Indonesia, Partai Masyumi. Muhammadiyah merupakan salah satu anggota istimewa Partai Masyumi. Putusan Kongres Umat Islam Indonesia di Gedung Muallimin ini bahkan menjadi berita utama di Kedaulatan Rakjat beberapa hari kemudian. Judul beritanya, “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Berdjihad Fi Sabilillah”.
Bila berita di atas berkaitan dengan respon Muhammadiyah terhadap politik nasional mutakhir, ada berita lain di Kedaulatan Rakjat yang lebih bernuansa keagamaan dan sosial. Berita dimaksud dimuat di edisi Kamis Legi, 15 November 1945 di bawah kolom “Kota”, yang mengacu pada Kota Yogyakarta. Di sana hadir sebuah berita berjudul “Solat Hari Raja dimasa pertempoeran”.
Berita tersebut dibuka dengan paragraf yang menyentuh. Disebutkan bahwa Shalat Idul Adha diadakan di Lapangan ASRI Yogyakarta. Lapangan itu “penoeh padat dibandjiri segenap kaoem Moeslimien dan Moeslimat dari pelosok tempat”. Kalimat takbir yang berkali-kali dikumandangkan di lapangan itu “meresap menoesoek djiwa, berchidmad kehadirot Ilahi, mendorong mengeningkan fikiran, memperhatikan nasib kaoem Moeslimien jang sedang berdjoeang ditengah-tengah pertempoeran dahsjat”.
Shalat dimulai pukul 7 pagi. Imamnya adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang juga murid KH Ahmad Dahlan, KH Wasoel Dja’far. Saat berkhutbah, Kyai Dja’far meminta kepada jamaah untuk meningkatkan ketakwaan mereka pada Allah. Kyai Dja’far tak lupa mengajak jamaah untuk menunjukkan pembelaan mereka secara nyata pada negara Republik Indonesia, yang kehormatannya “telah dilanggar oleh meosoeh kita”.
Rangkaian kegiatan Shalat Idul Adha ditutup dengan penyembelihan hewan kurban. Selain soal jumlah kambing dan sapi yang disembelih, di dalam penutup berita disampaikan pula ke mana dan melalui apa daging ini dibagikan, termasuk melalui lembaga amal Muhammadiyah:
Selesai Chotbah dengan sigera diadakan penjembelihan chewan Qoer’ban berwoedjoed 450 kambing dan 12 ekor lemboe. Daging2 ini ketjoeali dibagikan kepada mereka jang memboetoehkan, poela disoembangkan kepada badan2 perserikatan jang dipandang perloe ialah: Roemah Jatim, Miskin, Wiloso-Prodjo, dan Moehammadijah, roemah Pendjara dan Tentara Keamanan Rakjat.
Berita tentang Shalat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban di atas memperlihatkan peran sentral Muhammadiyah di dalam kegiatan keislaman di Yogyakarta. Murid Kyai Dahlan dipercaya sebagai imam dan khatib di lapangan yang dipenuhi oleh para jamaah. Walau zaman sedang penuh gejolak, namun kaum Muslimin Yogyakarta tetap bersemangat untuk menghadiri shalat di lapanga terbuka. Yang tak kalah penting, penyaluran daging kurban selain dilakukan secara langsung, juga dilakukan via lembaga-lembaga sosial-keagamaan yang telah dipercayai publik.
Panti Asuhan Wiloso Prodjo, misalnya, telah berdiri sejak tahun 1939 di Yogyakarta. Awalnya panti ini dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian diurus oleh Kasultanan Yogyakarta, sebelum akhirnya dikelola oleh pemerintah Kota Yogayakarta. Selain Wiloso Prodjo, daging kurban juga disalurkan via rumah yatim dan rumah pemeliharaan orang miskin yang dikelola Muhammadiyah. Ini memperlihatkan kepercayaan dan pengakuan publik pada institusi sosial yang berada di bawah Muhammadiyah, termasuk di zaman perang.
Muhammad Yuanda Zara, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2019