Kritik terhadap Sikap Orang-orang Yahudi dan Nasrani; Surat Al-Baqarah Ayat 139-141

Yahudi

Dok BBC

 قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ ﴿١٣٩﴾ أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ ۗ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً عِندَهُ مِنَ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿١٤٠﴾ تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُم مَّا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿١٤١﴾ 

 (139) Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati, (140)  ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.  (141)  Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.

Setelah pada ayat 135-138 dijelaskan bahwa umat Nabi Muhammad mengikuti millah Ibrahim, dan celupan (shibghah) umat Islam adalah celupan Allah, yang kesemuanya menegaskan perbedaan umat Islam dengan orang Yahudi dan Nasrani, maka pada ayat 139 diuraikan sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang selalu membantah dan mendebat terhadap seruan Nabi Muhammad.

Substansi perdebatan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenai Allah, dan penolakan terhadap Rasulullah karena terdapat klaim bahwa Ibrahim dan keturunannya merupakan orang Yahudi dan Nasrani. Sejarah telah membuktikan, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan mengenai millah Ibrahim di atas, bahwa agama Yahudi dan Nasrani muncul jauh dari nabi-nabi yang diklaim oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mendebat Rasulullah. Dengan dasar sejarah inilah, maka di penghujung ayat 140 surah al-Baqarah ini Allah memberikan pertanyaan قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ (katakan [wahai orang Yahudi dan Nasrani] apakah kamu yang lebih tahu atau Allah?). Pertanyaan ini sekaligus sebagai bantahan terhadap klaim orang Yahudi dan Nasrani yang tidak memiliki dasar yang kuat.

Kemudian, berdasarkan ayat 140 ini Allah juga menegaskan bahwa klaim-klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut merupakan kezaliman di sisi Allah. Makna zalim di sini merupakan sikap ketidakadilan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam memposisikan para Nabi sebagai penganut Yahudi atau Nasrani tanpa pengetahuan dan dasar yang kuat (Q.S. ash-Shaf [61]:7).

Apa yang dilakukan oleh umat Yahudi dan Nasrani merupakan perbuatan menyembunyikan “bukti-bukti” historis yang dikenal dengan syahâdah (شَهَادَةً). Secara etimologis syahâdah berarti kesaksian. Arti dasarnya adalah hadir dan melihat, baik dengan mata kepala ataupun mata hati dan pikir.[1] Makna syahâdah dalam konteks ini adalah “bukti-bukti” sejarah atau “persaksian/pembuktian” historis bahwa Ya’kub, anak dari Ishaq dan cucu dari Ibrahim, yang bergelar Isrâ`îl dan anak cucunya (al-asbâth) yang kemudian dikenal dengan Bani Israil (anak cucu Israil)[2] merupakan penerus tradisi keagamaan Ibrahim yang hanîf. Tradisi keagamaan Ibrahim yang hanîf diteruskan oleh nabi-nabi setelahnya sampai kepada Nabi Muhammad. Bukti-bukti historis ini berusaha disembunyikan oleh umat Yahudi dan Nasrani dengan memutus tradisi hanîf itu. Umat Yahudi dan Nasrani mengklaim bahwa Ibrahim, Ishaq, Ismail, Ya’kub dan anak cucunya merupakan penganut Yahudi dan Nasrani (Q.S. Ali Imran [3]: 67).

Syahâdah dari Allah berarti juga persaksian Allah yang tersebut dalam Taurat dan Injil, sebagaimana diinformasikan di dalam al-Quran, bahwa Ibrahim dan anak cucunya bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani dan bahwa Allah akan mengutus Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir yang berasal dari keturunan Ismail (Q.S. al-A’raf [7]:157 dan Q.S. ash-Shaf [61]:6). Perbuatan menyembunyikan syahâdah Allah itu termasuk perbuatan yang paling zalim, karena perbuatan itu berakibat menyesatkan manusia dari jalan Allah.

Ayat 140 ini ditutup dengan kecaman kepada orang Yahudi dan Nasrani karena mereka telah menyembunyikan syahâdah Allah tersebut. Akhir ayat 140 surah al-Baqarah yang berbunyi وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ  yang artinya “dan Allah tidak lengah atas apa yang mereka kerjakan” merupakan penegasan Allah bahwa berita dan penjelasan al-Quran mengenai tradisi keagamaan Ibrahim yang hanîf yang diturunkan kepada para nabi setelahnya merupakan kebenaran yang hakiki. Pemberitaan Allah kepada Rasulullah ini merupakan bentuk ketidaklengahan Allah atas apa yang dilakukan oleh umat Yahudi dan Nasrani. Bukti-bukti historis yang baru ditemukan di kemudian hari memperkuat penegasan Allah dalam ayat ini.

Klaim-klaim yang dilakukan oleh umat Yahudi dan Nasrani tentang keyahudian dan kenasranian Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub dan anak cucunya hanya didasarkan pada berita-berita bohong yang mereka terima tanpa ada dasar yang jelas sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam surah al-Maidah ayat 41,

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِن قُلُوبُهُمْ ۛ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا ۛ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ ۖ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِن بَعْدِ مَوَاضِعِهِ ۖ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَٰذَا فَخُذُوهُ وَإِن لَّمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا ۚ وَمَن يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: “Jika diberikan ini (yang sudah di rubah-rubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah”. Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.

Kemudian klaim-klaim atas kebenaran Agama Yahudi dan Nasrani hanyalah angan-angan mereka juga tanpa ada dasar yang dijadikan landasan secara mendalam. Allah menegaskan hal ini dalam surah al-Baqarah ayat 111,

وَقَالُوا لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”.

Pemberitaan-pemberitaan Allah melalui al-Quran kepada Nabi Muhammad ini merupakan informasi tentang umat yang telah diciptakan Allah sebelum beliau hidup, akan tetapi sebagian umat tersebut juga dihadapi oleh Nabi Muhammad. Di antara mereka ada yang saleh dan di antara mereka ada yang ingkar. Oleh karena itu, informasi ini sebagai penegasan bahwa apa pun yang dilakukan oleh umat Yahudi dan Nasrani, atau pun umat-umat lain merupakan tangung jawab mereka sendiri, bukan tanggung jawab Rasulullah. Adapun klaim-klaim kebenaran umat Yahudi dan Nasrani yang hidup pada masa Rasulullah dengan menyandarkan pada garis leluhur mereka dan yang menyangkal kebenaran risalah Rasulullah, tetaplah menjadi tanggung jawab mereka sendiri. Rasulullah tidak akan bertanggung jawab atas tindakan mereka sekalipun hidup pada masa Rasulullah, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Isra’ ayat 35,

رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِكُمْ ۖ إِن يَشَأْ يَرْحَمْكُمْ أَوْ إِن يَشَأْ يُعَذِّبْكُمْ ۚ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ وَكِيلًا

Tuhanmu lebih mengetahui tentang kamu. Dia akan memberi rahmat kepadamu jika Dia menghendaki dan Dia akan mengazabmu, jika Dia menghendaki. Dan, Kami tidaklah mengutusmu untuk menjadi penjaga bagi mereka.

Kebenaran dalam Islam didasarkan pada hidayah dari Allah, artinya hanya orang-orang yang diberi hidayah saja yang mendapatkan kebenaran dari Allah, jadi bukan karena garis keturunan sebagaimana klaim umat Yahudi dan Nasrani. Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 108,

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۖ وَمَا أَنَا عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ

Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu”.

Dengan demikian, tujuan utama Rasulullah diutus kepada umat manusia termasuk kepada umat Yahudi dan Nasrani adalah untuk menyampaikan risalah Allah agar hidayah turun kepada mereka. Oleh karena itu, ketaatan kepada Rasulullah merupakan keharusan bagi umat Yahudi dan Nasrani, karena Rasulullah tidak akan bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Allah berfirman dalam surah an-Nisa’ ayat 80,

مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا 

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

Untuk mempertegas penjelasan tentang kebenaran Islam dan kewahyuan al-Quran, Allah mengulang-ulang penjelasan mengenai hal itu kepada umat Yahudi dan Nasrani, tetapi mereka justru bersikap keras kepala dengan mengklaim kebenaran agama mereka, meskipun telah bercampur dengan pikiran tokoh-tokoh agama dan angan-angan mereka. Allah mengutus Rasulullah hanya untuk ditaati berdasarkan argumen yang rasional, bukan hanya angan-angan. Allah berfirman dalam surah al-An’am ayat 106-107,

اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ﴿١٠٦﴾ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكُوا ۗ وَمَا جَعَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِوَكِيلٍ﴿١٠٧﴾  

(106) Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. (107) Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak memperkutukan(Nya). Dan Kami tidak menjadikan kamu pemelihara bagi mereka; dan kamu sekali-kali bukanlah pemelihara bagi mereka.

Berdasarkan penjelasan di atas, pada ayat 141 Allah kemudian memberi peringatan kepada umat yang datang di belakang, baik orang Arab keturunan Ismail, atau orang Bani Israel yang di dalamnya lahir Agama Yahudi dan Nasrani dan merupakan keturunan Ya’qub, ataupun selain mereka itu, bahwa nenek moyang mereka dahulu itu adalah masa lalu. Bagi mereka pahala sesuai dengan amal mereka. Bagi umat yang datang pada masa berikutnya, tidak cukup hanya membanggakan apa yang telah dilakukan oleh pendahulu mereka. Namun yang paling penting adalah melakukan perbuatan baik dari usaha diri sendiri berdasarkan kebenaran yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad, nabi penutup seluruh garis kenabian.

Sekiranya didapatkan bukti sejarah bahwa terdapat garis keturunan umat Yahudi dan Nasrani sampai kepada Nabi Ibrahim, maka hal tersebut tidak akan bermanfaat bagi mereka. Hal ini didasarkan pada penjelasan bahwa balasan atas perbuatan bukan didasarkan pada garis keturunan, tetapi pada amal saleh yang telah dilakukan. Allah tidak memikulkan dosa sesorang kepada orang lain. Masing-masing umat akan memperoleh pahala dan sanksi berdasarkan amalnya, bukan berdasarkan garis keturunannya. Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah pada penghujung ayat 141:

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُم مَّا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

 “baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan”.

[1]Al-Raghîb al-Ashfahâni, Mu’jam Mufradât li al-Fâdz al-Qur’ân (Beirut, Dâr asy-Syamiyyah, 1997), hlm. 465.

[2]C. T. R. Hayward, Interpretations of the Name Israel in Ancient Judaism and Some Early Christian Writings (Oxford: Oxford University Press, 2005).

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh DR Agung Danarto, DR Ustadi Hamsah dan Aly Aulia, Lc., M.Hum

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7-8 Tahun 2015

Exit mobile version