سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُل لِّلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴿١٤٢﴾ وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤٣﴾
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ ﴿١٤٤﴾ وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَّا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ ۚ وَمَا أَنتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ ۚ وَمَا بَعْضُهُم بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ إِنَّكَ إِذًا لَّمِنَ الظَّالِمِينَ ﴿١٤٥﴾
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴿١٤٦﴾ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ ﴿١٤٧﴾ وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٤٨﴾ وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿١٤٩﴾ وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٥٠﴾ كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ ﴿١٥١﴾ فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴿١٥٢﴾
(142) Orang-orang berjiwa kerdil di antara manusia akan berkata: “Apakah yang membuat mereka (umat Islam) beralih kiblat dari yang dahulu mereka mengarah kepadanya (Baitul Maqdis)?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”
(143) Seperti itulah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat pilihan supaya kamu menjadi saksi atas (sejarah) manusia, sedang Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (keadaan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Sungguh (pengalihan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dia tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
(144) Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit. Maka Kami memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Sesungguhnya orang-orang yang diberi al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
(145) Sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang yang diberi al-Kitab semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka juga tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka kamu termasuk golongan orang-orang yang zalim.
(146) Orang-orang yang telah Kami beri kitab mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, sedang mereka mengetahui.
(147) Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu. Oleh sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
(148) Masing-masing (orang dan kelompok) memiliki orientasi yang ia mengarah kepadanya. Maka berusahalah untuk selalu berada di depan dalam segala kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(149) Dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Sesungguhnya (ketentuan) itu benar-benar sesuatu yang haq dari Tuhanmu. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
(150) Dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar manusia tidak memiliki alasan (untuk menolak kebenaranmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
(151) Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu), Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
(152) Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Al-Baqarah, 2: 142-152 berhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya terutama mulai ayat 130. Dalam ayat-ayat sebelumnya ini dibicarakan agama yang diajarkan dan dipraktekkan Nabi Ibrahim (Millah Ibrahim) yang menjadi model bagi para pemeluk agama-agama sesudahnya. Millah Ibrahim menjadi model karena diajarkan dan dipraktekkan oleh Ibrahim yang memiliki kualitas sebagai hanif (al-Baqarah, 2: 135). Hanif adalah orang yang cermat menempuh jalan istiqamah, taharra thariq al-istiqamah.[1] Dengan kualitas ini Millah Ibrahim menjadi agama yang menekankan keberagamaan etis, satu keberagamaan yang menekankan iman dan berserah diri (islam) kepada Tuhan dengan keterlibatan yang intens dalam kehidupan (al-Baqarah, 2: 131). Nabi Ibrahim berpesan supaya anak cucu keturunannya mempraktekkan keberagamaan itu (al-Baqarah, 2: 132). Namun orang-orang Yahudi dan Kristen, yang sebagiannya merupakan keturunan Ibrahim melalui salah seorang puteranya, Ishak, ketika ayat-ayat itu turun pada tahun kedua Hijrah, tidak mengikuti model itu. Mereka mempraktekkan keberagamaan formalistik dengan menekankan pengakuan formal menjadi pemeluk Yahudi dan Kristen sebagai wujud keberagamaan yang benar (al-Baqarah, 2: 135). Mereka telah diingatkan untuk meninggalkan praktek menyimpang itu. Namun mereka tidak mau peduli dan menunjukkan ketidaksenangan kepada Millah Ibrahim. Karena berperilaku demikian, maka mereka dinyatakan sebagai orang yang memperbodoh diri sendiri (orang yang tidak mau mengerti kebenaran) (al-Baqarah, 2: 130). Nabi Muhammad, pembawa risalah Islam, adalah keturunan Ibrahim dari puteranya yang lain, Ismail, sehingga dia termasuk penerima pesannya tersebut. Karena itu ia pun diperintahkan untuk mengikuti keberagamaan etis yang dikembangkannya (al-Baqarah, 2: 136).
Setelah pembicaraan tentang Millah Ibrahim dengan sikap Yahudi dan Kristen dan idealitas Islam demikian, ayat-ayat al-Baqarah, 2: 142-152 tampil membicarakan kiblat yang dihubungkan dengan idealitas masyarakat Islam. Pembicaraan dengan runtutan demikian menunjukkan hubungan tertentu. Dalam munasabah, hubungan itu bisa berupa hubungan antara kerangka dan implementasi. Berdasarkan hubungan ini maka kiblat dan idealitas masyarakat Islam merupakan implementasi dari kerangka keberagamaan etis dalam Millah Ibrahim yang menjadi model Islam Rahmatan lil ‘Alamin yang didakwahkan nabi Muhammad.
Pembicaraan ayat-ayat itu tentang kiblat sebagai implementasi Millah Ibrahim meliputi sejarah, arah, dan kedudukannya sebagai identitas agama. Kemudian pembicaraannya tentang masyarakat Islam ideal meliputi identitas, sistem dan struktur sosial, dan kepribadian mereka.
Sejarah Kiblat
Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut, sejarah kiblat ditunjukkan oleh al-Baqarah, 2: 142 yang memuat pemberitahuan kepada Nabi tentang pertanyaan yang akan diajukan para sufaha’ mengenai perubahan arah kiblat dan jawaban yang harus diberikan. Kiblat adalah arah ke mana orang Islam wajib menghadap dalam shalat.[2] Pada mulanya umat Islam shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Namun kemudian mereka beralih kiblat ke Masjidil Haram. Menurut hadis riwayat al-Bara’ bin ‘Azib, perubahan ini terjadi pada bulan ke-16 atau ke-17 setelah hijrah.[3] Ini berarti, jika dihitung dari hijrah Nabi ke Madinah, selama hampir satu setengah tahun mereka shalat dengan menghadap ke utara (arah Batul Maqdis dari Madinah).
Lamanya umat Islam shalat menghadap ke Baitul Maqdis tidak hanya dalam rentang waktu itu. Diketahui bahwa mereka mulai menjalankan shalat wajib lima waktu ketika masih tinggal di Mekah setelah Nabi menjalani isra’-mi’raj pada tahun ke-10 kenabian. Kemudian dari ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang shalat yang dipahami berdasarkan kronologinya, bisa diketahui bahwa Nabi dan para pengikutnya telah melaksanakan ibadah shalat sebelum tahun itu. Menurut Muhammad al-Bahy, berdasarkan kronologi ayat yang digunakannya, Nabi telah melaksanakan shalat setelah mendapatkan perintah dalam Hud, 11: 114 yang menurutnya merupakan surat makiyah ke-25 dan keluarga Nabi telah melaksanakan shalat setelah ada perintah dalam Thaha, 20: 132 yang menurutnya merupakan surat makkiyah ke-45.[4] Pernyataan al-Bahy itu menunjukkan bahwa Nabi dan keluarganya diwajibkan shalat relatif agak lama setelah kenabian.
Namun sebagai ibadah, bisa diyakini bahwa shalat telah dilakukan Nabi dan para pengikutnya, tidak terbatas pada keluarganya, tidak lama setelah atau bahkan sebelum kenabian. Keyakinan ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam al-A’la, 87: 14-15 yang menurut kronologi Mushaf Mesir merupakan ayat Makiyah ke-8 telah ditegaskan adanya keberuntungan (falah) bagi orang yang membersihkan diri, berzikir dan melaksanakan shalat. Keberuntungan termasuk salah satu nilai yang penting dalam Islam. Tidak mungkin Nabi dan pengikutnya mengabaikan nilai ini.
Di samping itu keyakinan tersebut juga bisa didasarkan pada idealitas keberagamaan Islam berkerangkakan Millah Ibrahim yang disinggung di atas. Al-Qur’an menyebutkan bahwa dalam Millah Ibrahim ada ajaran shalat (al-Baqarah, 2: 125-126). Nabi dan para pengikutnya tentu menghayati idealitas ini sehingga mereka pun melakukan ibadah shalat sebagai tradisi dalam Millah Ibrahim yang mereka ikuti sebelum diwajibkan dalam isra’-mi’raj. Penjelasan praktek shalat sebelum isra’-mi’raj yang terdapat dalam sebuah hadis dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah RA menunjukkan hal ini:
Ketika menetapkan kewajiban shalat, Allah mewajibkan pelaksanaannya dua raka’at-dua rakaat baik ketika di rumah (mukim-tidak bepergian) ) maupun ketika bepergian. Kemudian (setelah isra’-mi’raj) pelaksanaannya tetap dua rakaat untuk shalat ketika bepergian dan ditambah (menjadi tiga dan empat rakaat) ketika tidak bepergian.[5]
Dalam melaksanakan shalat sebelum hijrah, baik sebagai kewajiban, jalan keberuntungan maupun tradisi Millah Ibrahim, menurut keterangan Ibn Katsir, Nabi dan para sahabat menghadap ke Ka’bah dan Baitul Maqdis sekaligus. Caranya, mereka melaksanakan shalat dengan posisi menghadap ke bidang di antara dua sudut (rukun) Ka’bah, Rukun Yamani dan Rukun Syami.[6] Dengan cara itu mereka shalat dengan posisi di sebelah selatan Ka’bah sehingga bisa menghadap ke arahnya dan ke arah Baitul Maqdis yang letaknya di arah utara Mekah. Hal ini berarti jika dihitung sejak kenabian, Nabi dan para sahabat melaksanakan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama kurang lebih 15 tahun.
Perubahan kiblat ke Masjidil Haram pada tahun ke-2 H itu dilakukan pada waktu Nabi dan beberapa sahabat sedang melaksanakan shalat Dhuhur di Masjid Bani Salmah. Disebutkan, ketika baru melaksanakannya dua rekaat dengan menghadap ke Baitul Maqdis, Nabi mendapatkan perintah dari Allah untuk beralih kiblat ke Masjidil Haram. Dia pun langsung mengikuti perintah itu -diikuti sahabat yang menjadi makmumnya- melaksanakan dua rakaat shalat dhuhur berikutnya dengan menghadap ke Masjidil Haram. Karena itu masjid Bani Salmah kemudian dikenal dengan Masjid Dzil Qilblatain, masjid yang memiliki dua kiblat.[7]
Pada waktu terjadi perubahan arah kiblat di Madinah sudah ada dua masjid selain Masjid Bani Salmah, yakni Masjid Nabawi dan Masjid Quba’. Karena perintah perubahannya diberikan di tengah-tengah shalat Dhuhur seperti itu, maka perintah tersebut tidak bisa langsung disampaikan kepada seluruh umat-jamaah sehingga pelaksanaannya tidak serentak. Di Masjid Nabawi perubahan arah kiblat baru dilaksanakan pada Shalat ‘Ashar hari itu juga. Adapun di Masjid Quba’, pelaksanaannya baru pada shalat Shubuh hari berikutnya.[8]
Perubahan kiblat itu dilatarbelakangi oleh permohonan Nabi yang berharap supaya kiblat shalat dalam Islam diubah ke arah Masjidil Haram. Dia memiliki permohonan itu karena merasa tidak puas atau tidak sreg berkiblat ke Baitul Maqdis. Dia tidak sreg karena berkiblat ke Baitul Maqdis itu merupakan praktek orang-orang Islam di Madinah sebelum kedatangannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis riwayat al-Bara’ bin ‘Azib yang disinggung di atas. Jadi kiblat ke Baitul Maqdis itu dilaksanakan tidak berdasarkan wahyu, tapi berdasarkan praktek umat Islam sebelum kedatangan wahyu yang dalam ushul fikih dikenal dengan al-bara’ah al-ashliah. Dengan demikian dalam perubahan kiblat itu tidak terjadi naskh (penghapusan ketentuan hukum), seperti yang terkesan dari pandangan Ibn Katsir.[9]
Permohonan Nabi itu dalam al-Baqarah, 2: 144 disebut dengan menengadahkan wajah ke langit: “Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit. Maka Kami memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”. Nabi berharap demikian karena Masjidil Haram merupakan tempat ibadah yang dibangun Nabi Ibrahim, kakek moyangnya, dan menjadi arah ke mana kakeknya itu menghadap dalam shalat yang dilakukannya.[10]
Perubahan kiblat pada waktu itu menjadi isu besar dan mengundang polemik. Sebagian Ahli Kitab, kaum Yahudi Madinah yang tidak mau mengerti (as-sufaha’), menanyakan gerangan apa yang membuat Nabi dan para pengikutnya beralih kiblat. Nabi disarankan menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa barat dan timur merupakan milik Allah dan orang yang berada di dan menghadap ke arah manapun bisa mendapatkan petunjuk-Nya untuk menempuh jalan lurus (al-Baqarah, 2: 142). Karenanya di manapun orang berada, dia tetap “ditemui-Nya” (al-Baqarah, 2: 148). Namun sebagian Ahli Kitab lain (yang mau mengerti, tidak sufaha’) bisa memahami karena menyadari bahwa perubahan kiblat atau jawaban Nabi tersebut merupakan kebenaran yang berasal dari Tuhan mereka (al-Baqarah, 2: 144).
Bagi umat Islam, perubahan kiblat ketika itu juga menjadi masalah yang berat. Sebagian mereka, orang-orang munafik, menjadi murtad keluar dari Islam karena adanya perubahan itu, yang menurut mereka, membuktikan ketidakbenaran Islam (al-Baqarah, 2: 143). Adapun sebagian yang lain menerima perubahan itu dan tetap setia mengikuti Nabi Muhammad. Namun di antara mereka ada yang bertanya-tanya bagaimana dengan shalat yang selama ini mereka lakukan, diterima Allah ataukah tidak. Keraguan ini dijawab dengan tegas “Allah tidak menyia-nyiakan iman kamu sekalian” ( al-Baqarah, 2: 143). Jawaban ini sangat melegakan dan mereka pun menerima perubahan itu dengan senang hati sehingga menjadi orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah (al-Baqarah, 2: 143).
Betapapun perubahan kiblat menjadi polemik dan masalah yang berat, perubahan itu harus tetap dilakukan karena merupakan kebenaran yang pasti dari Allah. Kepastian ini membuat perubahan kiblat menjadi kebenaran yang tidak terbantahkan sehingga pernyataan tentang kebenarannya diulang dua kali (al-Baqarah, 2: 147 dan 149), bahkan tiga kali jika pernyataan tentang kebenarannya yang dihubungkan dengan Ahli Kitab yang disinggung di atas (al-Baqarah, 2: 144) juga dihitung. Karena kebenarannya pasti, maka Nabi (juga umat Islam) dilarang meragukannya (al-Baqarah, 2: 147).
Kebenaran perubahan kiblat, menurut al-Baqarah 2: 150, menjadi kebenaran fungsional yang memberikan tiga manfaat. Pertama, “agar manusia tidak memiliki alasan (untuk menolak kebenaranmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka”. Manfaat ini berhubungan dengan Ahli Kitab dan Kaum Musyrikin yang beranggapan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang nabi palsu karena kiblat shalatnya ke Baitul Maqdis. Dalam pandangan mereka, kiblat ke arah Baitul Maqdis itu menunjukkan bahwa dia hanya seorang pengikut Yahudi atau Kristen atau paling tidak hanya ikut-ikutan saja kepada mereka, bukan seorang nabi yang sejati. Dengan perubahan kiblat itu maka mereka, menurut al-Manar, dibuat menjadi tidak berkutik sehingga seharusnya mengakui bahwa dia adalah seorang nabi yang benar dan penerus Millah Ibrahim yang sejati.[11] Karena perubahan kiblat ini berhubungan dengan kebenaran kenabian Nabi Muhammad, maka wajar jika dalam rangkaian ayat-ayat yang membicarakannya ada ayat al-Baqarah, 2: 147 yang menegaskan kebenaran kenabiannya yang diketahui Ahli Kitab. Pengetahuan mereka sangat kuat dan saking kuatnya digambarkan seperti pengetahuan mereka tentang anak-anak mereka sendiri. Sayangnya dengan sadar sebagian mereka menyembunyikan kebenaran kenabiannya tersebut.
Kedua, “agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu”. Manfaat ini, menurut Ibn Katsir, berhubungan dengan penyempurnaan syariat Islam dari segala seginya.[12] Dalam hal ini yang jelas adalah kesatuan arah menghadap dalam melaksanakan shalat. Dengan satu arah kiblat itu, umat bisa melaksanakan shalat dengan tertib dan indah. Ketertiban dan keindahan merupakan bagian dari kesempurnaan anugerah yang diberikan Allah kepada umat Islam. Di samping menunjuk manfaat ini, perubahan kiblat ke Masjidil Haram juga bisa menunjuk ke penyempurnaan anugerah yang lain, yakni identitas agama Islam sebagaimana yang akan dijelaskan di belakang.
Ketiga, “supaya kamu mendapat petunjuk”. Manfaat ini berhubungan dengan mendapatkan petunjuk dalam pengertian hidayah taufiq, pertolongan untuk melaksanakan kebenaran yang diketahui. Maksudnya dengan perubahan kiblat itu, umat Islam menjadi teguh dan mantap dalam memeluk Islam, khususnya dalam menjalankan shalat.[13] Anggapan bahwa Nabi hanya ikut-ikutan Ahli Kitab karena berkiblat ke Baitul Maqdis seperti baru saja disebut, dalam batas-batas tertentu membuat mereka (umat Islam) merasa tidak nyaman. Dengan perubahan kiblat ke Masjidil Haram, ketidaknyamanan itu hilang dan mereka pun menjadi mantap berislam.
Arah Kiblat dan Identitas Agama Islam
Perubahan kiblat yang dibicarakan dalam rangkaian ayat-ayat itu diungkapkan dengan perintah untuk menghadapkan wajah ke arah Masjidil Haram. Perintah ini dikemukakan dengan mukhathab atau adresat tunggal, Nabi Muhammad, (fa walli wajhaka syathral Masjidil Haram) dan mukhathab jamak, seluruh umat Islam, (fa wallu wujuhakum sythrah). Dalam agama ada adagium, khithab linnabi khithab li ummatih. perintah kepada Nabi menjadi perintah kepada umatnya. Berdasarkan adagium ini, perintah kepada Nabi untuk berkiblat ke Masjidil Haram sebenarnya sudah cukup untuk menjadi perintah kepada umat Islam untuk juga berkiblat ke arahnya. Namun dalam perubahan kiblat, perintah kepadanya saja dipandang belum cukup untuk menjadi perintah bagi umatnya. Hal ini sudah barang tentu berhubungan dengan beratnya masalah perubahan kiblat bagi umat ketika itu. Karena itu supaya mereka mau melaksanakan perintah itu dengan mantap, mereka pun diperintahkan secara tersendiri untuk melakukannya.
Dalam perintah itu arah kiblat menghadap Masjidil Haram diungkapkan dengan kata syathr yang berarti nahwa (arah menuju) atau tilqa’a (arah tempat). Ini berarti untuk memenuhi tuntutan shalat yang benar, kata az-Zamakhsyari, orang sudah cukup dengan menghadap ke arah letak (jihah) dan arah menuju (samt) Masjidil Haram. Dalam pandangannya penggunaan kata Masjidil Haram, bukan Ka’bah, untuk menyebut kiblat dalam ayat-ayat itu menunjukkan bahwa yang wajib diperhatikan dalam menghadap ketika melaksanakan shalat adalah arah Masjidil Haram, bukan benda Ka’bah. Kewajiban ini, menurutnya, untuk memudahkan umat karena menghadap ke benda Ka’bah sangat menyulitkan bagi mereka yang jauh dari Masjidil Haram. [14] Karena pertimbangannya demikian maka ketika ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan umat untuk menentukan posisi Ka’bah dengan tepat, maka sudah seharusnya demi kesempurnaan ibadah shalat yang mereka lakukan, mereka menghadap ke benda Ka’bah dengan cara menghadap ke titik kordinatnya.
Perintah untuk menghadap kiblat ke Masjidil Haram dalam rangkaian ayat-ayat itu diulang sampai lima kali: dua kali dalam masing-masing 144 dan 150 dan sekali dalam ayat 149. Pengulangan ini sudah barang tentu dilakukan dengan memiliki maksud. Pengulangan dalam al-Baqarah, 2: 144 dimaksudkan untuk menegaskan pelaksanaannya dengan segera di Madinah. Maksudnya, setelah adanya perintah itu Nabi dan umat yang berdomisili di Madinah wajib langsung melaksanakannya. Kemudian pengulangan dalam al-Baqarah, 2: 150 dimaksudkan untuk menegaskan pelaksanannya ketika mereka bepergian. Maksudnya setelah adanya perintah itu, mereka harus melaksanakannya ketika melakukan shalat di tempat-tempat di mana saja mereka berada. Ini berarti juga bahwa di selain Madinah, umat juga harus langsung melaksanakannya begitu mengetahui adanya perintah tersebut. Adapun pengulangan dalam al-Baqarah, 2: 149 dimaksudkan untuk menegaskan pelaksanaannya dalam bepergiaan sebagai kebenaran yang harus disampaikan kepada umat di luar Madinah. Karena maksudnya ini, maka wajar jika pengulangannya diletakkan sebelum ayat 150.
Perintah dengan pengulangan bermaksud demikian menunjukkan kiblat ke Masjidil Haram itu tidak hanya sekedar menjadi kewajiban yang harus ditunaikan. Berdasarkan pengertian dari manfaat perubahan kiblat untuk menyempurnakan anugerah yang telah dibicarakan di atas, kiblat merupakan bagian dari penyempurnaan anugerah yang berupa pemberian identitas umat agama Islam. Telah diketahui bahwa dengan mengikuti risalah Nabi Muhammad, umat berarti telah mendapatkan anugrah tidak terhingga dari Allah. Kemudian dengan perubahan kiblat ke Masjidil Haram itu mereka mendapatkan tambahan anugerah berupa ketegasan identitas agama yang mereka peluk. Dengan kiblat ke arah itu mereka menjadi umat yang memiliki satu arah yang sama dalam beribadah dan memiliki identitas yang membedakannya dari umat-umat lain. Ketegasan identitas ini penting bagi masyarakat yang mau berperan nyata dalam sejarah. Tampaknya dalam konteks penegasan identitas ini Nabi bersabda:
Barangsiapa melaksanakan shalat kami, menghadap ke kiblat kami dan memakan hewan sembelihan kami, maka dialah orang Islam yang mendapat jaminan perlindungan dari Allah dan rasul-Nya. Kamu sekalian jangan meremehkan Allah dalam memberikan jaminan.[15]
Karena kiblat menghadap ke Masjidil Haram menjadi identitas agama Islam, maka tidak mungkin umat beragama lain menerimanya sebagai identitas. Berhubungan dengan ini maka umat pun dilarang mengikuti kiblat Ahli Kitab.[16] Apabila masih mengikutinya, maka dinyatakan mereka termasuk orang yang berlaku tidak adil. Hal ini ditegaskan dalam al-Baqarah, 2: 145.
Identitas Masyarakat Islam
Umat Islam dalam al-Baqarah, 2: 143 ditegaskan sebagai ummah wasath (ummatan wasatha). Ummah adalah kumpulan orang yang dihimpun oleh suatu ikatan berupa agama, waktu dan tempat.[17] Ummah dalam ayat itu menunjuk kepada kumpulan orang yang dihimpun oleh ikatan agama dan menjalankan peran atau tugas tertentu (litakunu syuhada’ ‘alan nas). Dengan tugas ini kumpulan itu menjadi kelompok yang membentuk perikehidupan berbudaya dan dikenal dengan masyarakat. Jadi pengertian ummah dalam ayat tersebut adalah masyarakat. Adapun wasath dalam bahasa berarti tengah dan digunakan dengan pengertian adil[18] dan pilihan.[19] Dengan demikian ummatan wasatha adalah masyarakat tengah, adil dan pilihan Apabila ketiga kualitas ini digabung maka pengertiannya bisa masyarakat tengah dan adil sehingga menjadi masyarakat pilihan. Penggabungan ini bermakna bahwa umat Islam menjadi masyarakat pilihan karena berada di tengah dan adil di antara dua kecenderungan ekstrim dalam gerakan sosial-politik dan kebudayaan, misalnya gerakan kanan dan kiri dan kebudayaan materialisme dan spiritualisme. Kualitas pilihan ini menjadi tanda keberadaan umat Islam dan karenanya menjadi identitas yang diidealkan bagi mereka sebagai masyarakat.
Penegasan identitas umat Islam sebagai ummatan wasatha dikemukakan dengan ungkapan wa kadzalika (seperti itulah) ja’alnakum (Kami buat kamu sekalian menjadi). Ungkapan ”seperti itulah” menurut az-Zamakhsyari- menunjuk kepada tindakan Allah yang menakjubkan membuat timur dan barat menjadi milik-Nya dan membuat orang yang dikehendaki-Nya menjadi terbimbing di jalan yang lurus (mitslu dzalikal ja’lil ‘ajib).[20] Kemudian penggunaan kata ganti orang pertama jamak (kami-na) untuk Allah Yang Maha Tunggal dalam ungkapan “Kami buat kamu sekalian menjadi” menunjukkan keagungan (lit ta’dhim). Penegasan dengan ungkapan itu menunjukkan bahwa tindakan Allah menjadikan umat Islam sebagai masyarakat beridentitas “pilihan” itu merupakan tindakan yang mengagumkan dan berangkat dari keagungan-Nya. Allah mengambil tindakan yang mengagumkan itu sudah barangtentu sebagai Dzat Yang Maha Percaya (Al-Mu’min) Dia percaya umat Islam dapat mewujudkan identitas itu dalam kenyataan berbekal dengan ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad, utusan-Nya. Dengan demikian jika umat Islam tidak mewujudkan identitas itu berarti mereka telah mengkhianati Kepercayaan Allah dan melecehkan Keagungan-Nya.
Dengan identitas itu umat Islam sebagai ummatan wasatha memiliki tugas yang berat ke luar (eksternal) dan ke dalam (internal). Tugas eksternal yang harus mereka laksanakan diungkapkan dengan litakunu syuhada’ ‘alan nas (supaya kamu menjadi saksi atas manusia). Tugas ini menurut Ibn Katsir adalah tugas umat memberi kesaksian atas umat-umat lain yang mengakui keutamaan mereka pada hari kiamat. Pemahamahan ini didasarkan pada banyak hadis yang menjelaskan bahwa umat nabi terdahulu (Nabi Nuh dan lain-lain) di hari kiamat tidak mau mengakui bahwa mereka telah menerima penyampaian ajaran (tabligh) dari nabi-nabi yang diutus Allah kepada mereka. Mereka baru mau mengakuinya setelah Nabi Muhammad dan umat Islam memberi kesaksian tentang kebenaran tabligh itu.[21] Terlepas dari pemahaman eskatologis ini, ungkapan itu juga bisa dibawa kepada pemahaman pelaksanaan tugas eksternal di dunia ini. Di dunia umat Islam sebagai ummatan wasatha memiliki tugas menjadi saksi sejarah atas masyarakat-masyarakat yang lain. Dengan tugas ini mereka harus mampu memahami realitas masyarakat lain secara obyektif dan mengambil tanggung jawab sebagai konsekuensi atas pemahaman itu. Apabila mereka melihat masyarakat lain rendah dan terbelakang, maka mereka memiliki tanggung jawab untuk mengangkat dan memajukannya. Sebaliknya jika mereka melihat masyarakat lain tinggi dan maju, maka mereka pun bisa mengakui ketinggian dan kemajuan itu dengan konsekuensi bersedia mengambil pelajaran dari ketinggian dan kemajuan yang mereka saksikan. Pemahaman ini sesuai dengan ajaran keterpilihan umat Islam dalam Al- Imran, 3: 110 yang harus melakukan amar ma’ruf nahi-munkar dan beriman kepada Allah dan ajaran perjumpaan antarmasyarakat dalam al-Hujurat, 49: 49 yang harus saling mengenal. Kedua ayat ini jelas menunjukkan bahwa tugas menjadi saksi sejarah atas masyarakat lain dilaksanakan di dunia ini berdasarkan keimanan yang mereka miliki dan dilakukan dengan amar makmur nahi munkar. Juga dengan saling mengenal yang tidak cukup hanya dengan saling menyapa, tapi harus saling belajar.
Kemudian tugas internal yang harus mereka jalankan diungkapkan dengan wa yakunar rasulu ‘alaikum syahida (dan Rasulullah Muhammad menjadi saksi atas kamu sekalian). Ungkapan ini menunjukkan bahwa umat Islam harus melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang membuat mereka bisa menjadi masyarakat pilihan yang diharapkan oleh Nabi. Banyak ajaran yang harus mereka laksanakan. Di antaranya adalah ajaran tentang keadilan yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu (al-Maidah, 5: 8) dan ajaran tentang ilmu yang meninggikan derajat (al-Mujadilah, 58: 11). Pelaksanaan ajaran ini merupakan satu keniscayaan dalam pelaksanaan tugas eksternal menjadi saksi sejarah atas masyarakat yang lain.
Sistem dan struktur Masyarakat Islam
Setiap masyarakat, betatapun sederhananya, pasti memiliki sistem dan struktur sosial. Sistem sosial adalah seperangkat unsur dalam masyarakat yang saling berhubungan dan berfungsi untuk mempertahankan batas-batas atau kesatuan bagian-bagiannya. Adapun struktur sosial adalah pola-pola yang dapat dilihat dalam praktek sosial dan prinsip-prinsip yang mendasari susunan sosial yang mungkin tidak terlihat.[22]
Sistem dan struktur sosial masyarakat Islam ideal disebutkan dalam al-Baqarah, 2: 148 dengan ungkapan wa li kullin wijhah huwa muwalliha yang biasa diterjemahkan dengan “masing-masing umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya”. Terjemah ini didasarkan pada pertautan (munasabah) yang linier antara ayat-ayat dalam rangkaian al-Baqarah, 2: 142 – 150 sebagai hanya berbicara tentang kiblat. Penentuan pertautan linier ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa dalam rangkaian ayat itu ada pengalihan pembicaraan (al-istithraf) dari kiblat ke masyarakat Islam ideal. Pengalihan pembicaraan itu secara jelas ditandai dengan penggunaan iltifat, perubahan gaya bahasa, dari kalimat tidak langsung dan kata ganti orang pertama tunggal yang digunakan dalam pembicaraan tentang kiblat (al-Baqarah, 2: 142 dan 149) ke kalimat langsung dan kata ganti orang pertama jamak yang digunakan dalam pembicaraan tentang masyarakat (al-Baqarah, 2: 143 dan 150). Kemudian dalam al-Baqarah, 2: 148 pengalihan pembicaraan ditandai dengan perubahan diksi berupa penggunaan kata wijhah, bukan kiblat (qiblah). Wijhah adalah maqshid yang bisa berarti orientasi dan dalam ayat itu, menurut al-Ashfahani, menunjuk pengertian syari’ah.[23] Berdasarkan munasabah bentuk istithraf dan arti ini ungkapan tersebut terjemahnya bisa menjadi “masing-masing masyarakat memiliki orientasi yang dia mengarah kepadanya”. Dengan demikian berdasar munasabah dan arti itu, ayat tersebut berbicara tentang masyarakat yang memiliki orientasi dalam membentuk perikehidupan berbudaya.
Kata ummah dan wijhah dalam ungkapan di atas disebutkan dalam bentuk nakirah, kata benda tak tentu, yang berarti umum. Sesuai kaedah bahasa ini maka yang dibicarakan dalam ayat itu adalah seluruh masyarakat global dengan segala orientasi mereka dalam seluruh bidang kehidupan: agama, politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain-lain. Kemudian ketika secara khusus dibawa untuk menunjuk masyarakat Islam, maka orintasi yang dibicarakannya juga menunjuk seluruh orientasi yang dimiliki warga dan komunitas yang ada di dalamnya.
Kata memiliki (لِ/li) dalam ungkapan tersebut menunjuk hak yang secara etis harus dihormati. Karena itu keberadaan semua masyarakat di dunia dengan orientasi mereka masing-masing dan keberadaan komunitas dan warga dalam masyarakat Islam juga dengan orientasi masing-masing diakui dalam al-Baqarah, 2: 148 itu. Pengakuan ini menunjukkan bahwa sistem sosial masyarakat Islam adalah sistem egaliter dan struktur sosialnya adalah struktur masyarakat majmuk yang dalam masyarakat modern sekarang adalah struktur masyarakat negara. Dengan sistem dan struktur ini, seluruh warga dalam masyarakat, apapun orientasi sosialnya, memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk membangun kebudayaan demi kemajuan masyarakat Islam. Idealitas ini di zaman awal Islam terwujud dalam masyarakat Madinah yang berdasarkan Piagam Madinah dan masyarakat dunia Islam yang mempraktekkan interaksi sosial akomodasi taraf pro-eksistensi yang membuat Non-Muslim sebagai minoritas merasa mendapatkan pembebasan dari segala diskriminasi dan penindasan yang sebelumnya mereka alami.
Kepribadian Masyarakat Islam
Pembicaraan tentang masyarakat Islam ideal dalam rangkaian al-Baqarah, 2: 142-150 juga meliputi kepribadian yang seharusnya mereka miliki. Dalam rangkaian itu terdapat 10 sifat yang menjadi kepribadian mereka dengan 8 di antaranya disebutkan secara simultan di dua ayat terakhir, sedang dua yang lain ditemukan dari munasabah antar ayat yang ada di dalamnya. Sifat-sifat itu adalah sebagai berikut:
- Berjiwa besar. Sifat ini dipahami dari munasabah antara ayat 142 dengan 143. Dalam ayat pertama disebutkan as-sufaha’, jamak dari safih yang dalam bahasa digunakan dengan arti orang yang mengalami keterbelakangan mental karena kurang akal atau idiot.[24] Kata as-sufaha’ dalam ayat itu menunjuk kepada orang yang membodohkan diri sendiri dengan tidak mau menerima Millah Ibrahim yang disebutkan dalam al-Baqarah, 2: 130. Dari hubungan ini diketahui bahwa as-sufaha’ pengertiannya bukan orang-orang idiaot yang tidak berpengatahuan karena kurang akal, tapi orang kurang akal karena tidak mau mengerti kebenaran Millah Ibrahim dan kebenaran perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram. Orang-orang yang tidak mau mengerti kebenaran ini adalah orang-orang berjiwa kerdil karena berpikiran picik. Dengan dinyatakannya umat Islam menjadi masyarakat pilihan dalam al-Baqarah, 2: 143, mereka tidak diperbolehkan memiliki jiwa kerdil seperti itu. Mereka harus menjadi antitesa dari as-sufaha’, yakni menjadi orang-orang yang berjiwa besar. Makna antitesa ini merupakan makna yang ditemukan dari munasabah antara dua ayat di atas yang berpola tadladd, menyebutkan dua hal yang berlawanan secara berurutan.
- Terkemuka. Sifat ini dipahami dari ungkapan fastabiqul khairat dalam al-Baqarah, 2: 148. Fa adalah kata penghubung untuk menyatakan jawaban (harf al-jawab) yang berarti “maka” dan secara bebas bisa diterjemahkan dengan “karena itu”. Istabiqu merupakan kata perintah dari kata kerja bentuk lampau istabaqa, dibentuk dari sabaqa yang berarti mendahului atau berada di depan. Jadi istabaqa merupakan tsulatsi mazid (kata terdiri dari tiga akar yang diber tambahan huruf) dengan tambahan hamzah dan ta’ yang bermakna lit thalab, menyatakan usaha. Adapun al-khairat adalah jamak dari al-khair, berarti kebaikan yang disenangi semua orang.[25] Berdasarkan ini, ungkapan itu berarti “maka (karena itu) berusahalah kamu sekalian untuk berada di depan dalam semua kebaikan yang disenangi semua orang”. Ungkapan ini merupakan perintah kepada umat Islam unutk merespon idealitas sistem sosial egaliter dan struktur sosial masyarakat negara yang diidealkan oleh al-Qur’an yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian mereka diperintahkan untuk memberi respon kreatif terhadap pluralitas masyarakat dalam masyarakat global dan pluralitas komunitas atau warga dalam masyarakat Islam. Dalam hidup di tengah masyarakat global dan plural itu mereka harus menjadi masyarakat dan komunitas yang selalu berusaha untuk berada di depan atau terkemuka dalam semua bidang yang disenangi oleh seluruh warga, tidak terbatas pada bidang spiritual saja, baik itu bidang ilmu pengetahuan, politik, eknonomi maupun yang lain.
- Pencerah. Sifat ini dipahami dari ungkapan yatlu ‘alaikum ayatina (membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu sekalian) dalam al-Baqarah, 2: 151). Ungkapan ini (dan ungkapan-ungkapan lain yang menjadi dasar sifat-sifat kepribadian masayarakat Islam dalam ayat ini) menunjukkan kegiatan yang dilakukan Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah rahmat bagi seluruh alam (al-Ahzab, 21: 107). Risalah itu menjadi mandat baginya untuk mewujudkan kebaikan nyata dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Dalam melaksanakan mandat ini sudah barang tentu dia menyampaikan firman Allah yang diwahyukan kepadanya (ayat qauliah) sebagai pedoman untuk mewujudkan kebaikan nyata. Disamping itu dia juga menyampaikan pembacaan ayat-ayat alam (ayat kauniah) dan ayat sejarah (ayat tarikhiah). Melalui penyampaian dan pembacaan itu umat bisa memahami kehendak Allah yang diungkapkan dalam ketiga ayat tersebut. Pemahaman ini menjadi modal pengetahuan bagi mereka untuk mewujudkan kebaikan nyata dalam kehidupan mereka sendiri. Sesuai dengan tuntutan risalah rahmat di atas, mereka pun dituntut untuk terlibat dengan berperan aktif mewujudkan kebaikan nyata bagi masyarakat lain. Dengan demikian ungkapan tersebut menunjuk kepada peran mereka masyarakat Islam sebagai masyarakat pembebas dalam sejarah. Peran ini pada periode sejarah awal Islam tergambar dalam penerapan konsep fath (pembebasan) dalam dakwah perluasan wilayah kekuasaan kekhalifan.
- Bersih. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yuzakki kum (dan dia mensucikan kamu sekalian) dalam al-Baqarah, 2: 151. Nabi mensucikan mereka dari segala kotoran yang melekat pada batin dan lahir mereka di zaman jahiliah. Jadi ungkapan ini menunjukkan sifat bersih yang harus dimiliki umat sebagai pribadi dan kelompok. Sebagai pribadi dan masyarakat yang bersih, mereka tidak hanya bersih akidah dari kemusyrikan, tapi juga harus bersih dalam bidang-bidang kehidupan yang lain seperti ilmu bersih dari mitos, bersih akhlak dari perilaku tidak terpuji, bersih ekonomi dari eksploitasi, dan bersih hukum dari ketidakadilan.
- Unggul. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yu’allikumul kitab (dan dia mengajarkan al-Qur’an kepadamu). Dengan diberi pengajaran al-Qur’an oleh nabi, bangsa Arab menjadi sejajar dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya yang terlebih dahulu telah diberi wahyu kitab suci. Dalam alam pikiran masyarakat ketika itu, masyarakat yang memiliki kitab suci (ahludz dzikri) dipandang lebih unggul daripada masyarakat yang belum memiliki kitab suci. Ini berarti umat Islam dengan al-Qur’an yang dimilikinya seharusnya menjadi masyarakat yang unggul. Keharusan ini sangat wajar karena dalam kitab suci ini terhadap ajaran-ajaran yang sangat inspiratif seperti ajaran tentang masyarakat ideal yang sedang dibicarakan ini.nya demikian dengan
- Berkearifan tinggi. Sifat ini dipahami dari ungkapan wal hikmah [dan (dia mengajarkan) hikmah kepadamu]. Al-hikmah adalah mendapatkan kebenaran secara tepat dengan ilmu dan akal.[26] Dalam prakteknya mereka yang mendapatkan hikmah dapat menjadi orang yang memiliki pikiran jernih, hati bening, kecerdasan tinggi dan kemampuan mengelola secara bijaksana. Kualitas ini dalam bahasa Indonesia ada dalam pengertian arif. Dengan mendapatkan pengajaran hikmah dari Nabi umat Islam dapat memiliki kearifan yang sangat berguna untuk mewujudkan kebaikan nyata dalam hidup mereka. Karena itu mereka seharusnya menjadi masyarakat yang berkearifan tinggi dalam menyelesaikan segala masalah yang mereka hadapi. Kemudian karena kehidupan itu semakin kompleks dan untuk menjalaninya dibutuhkan kearifan yang harus terus ditingkatkan, maka Nabi menganjurkan orang beriman untuk terus menemukan hikmah di manapun berada, meskipun ada di mulut anjing atau babi hutan.
- Berwawasan luas. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yu’allimukum ma lam takunu ta’lamun (dan dia mengajarkan apa-apa yang kamu tidak ketahui). Dengan mengajarkan apa yang sebelumnya tidak diketahui, umat Islam bisa memiliki wawasan yang luas. Secara tersirat ungkapan itu berisi perintah kepada mereka untuk terus belajar. Perintah ini kemudian menjadi tersurat dalam sebuah hadis yang menganjurkan umat untuk belajar dari ayunan sampai ke liang lahat. Jadi mereka harus melakukan never ending process of learning sehingga menjadi masyarakat belajar, learning society, yang memiliki wawasan luas untuk terus memperbaiki kehidupan mereka dari waktu ke waktu dan dari satu taraf ke taraf lain yang lebih tinggi.
- Religius. Sifat ini dipahami dari ungkapan fazdkuruni adzkurkum (ingatlah aku, maka Aku ingat kepada kamu sekalian). Ungkapan ini tidak hanya menganjurkan umat Islam untuk berizikir dengan membaca kalimat puji-puji, tapi menganjurkan mereka untuk bisa memiliki kesadaran yang tinggi terhadap Allah sehingga bisa menghadirkan-Nya dalam kehidupan yang nyata. Menghadirkan Allah dalam kehidupan nyata itu dalam sebuah hadis dinyatakan dengan menjadi orang yang paling baik budi pekertinya. Dengan demikian mereka menjadi masyarakat religius dengan keberagamaan etis, tidak dengan keberagamaan spiritualistik dan formalistik seperti yang dialami umat Islam sekarang.
- Efektif. Sifat ini dipahami dari ungkapan wasykuru li (bersyukurlah kepada-Ku). Ungkapan ini memerintahkan umat Islam untuk bersyukur. Syukur yang seharusnya mereka lakukan adalah syukur yang dapat meningkatkan anugerah (Ibrahim, 14: 7). Syukur demikian hanya bisa dilakukan dengan memanfaatkan segala anugerah, yang dalam bahasa populer sekarang disebut sumber daya, secara efektif, memberikan efek atau membuahkan hasil yang jelas. Dengan demikian masyarakat Islam menjadi masyarakat yang efektif dalam memanfaatkan segala sumber daya yang mereka miliki, baik sumber daya jasmani maupun rohani, sumber daya alam maupun sumber daya insani.
- Efisien. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa la takfurun (dan janganlah kamu serkalian ingkar kepada-Ku). Ungkapan ini menyatakan larangan bagi umat Islam melakukan kekufuran. Kekufuran yang dilarang bisa pengingkaran dalam akidah dan pengingkaran anugerah. Pengingkaran ini menunjukkan ketidakmampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat. Dengan demikian ungkapan itu menunjukkan supaya masyarakat Islam menjadi masyarakat yang efisien. Maksudnya di samping dapat menjalankan tugas dengan baik dan tepat, mereka juga dapat melaksanakan segala sesuatu dengan tepat sesuai rencana dan tidak membuang-buang waktu.[27] Kesadaran tentang efisiensi ini sangat kuat dalam al-Qur’an yang di antaranya terbaca dalam surat al-‘Ashr dan ada dalam diri sahabat Ali bin Abi Thalib yang mengemukakan pernyataan populer: al-haqqu bila nidhamin yaghlibuhul bathilu bi nidham (kebenaran tanpa pengorganisasian dikalahkan oleh kebatilan yang dilakukan dengan pengorganisasian..
Dari uraian di atas jelas bahwa ajaran tentang masyarakat dalam rangkaian al-Baqarah, 2: 1142-152 sangat maju. Sayangnya ajaran itu tidak dikenal oleh umat Islam karena belum ada dalam tradisi yang mereka warisi yang membentuk kesadaran dan keberagamaan mereka. Tradisi itu adalah fikih yang menekankan hukum, kalam yang menekankan teologi ketuhanan dan tasawuf yang menekankan spriritualitas. Dengan tradisi itu sudah lama mereka mengalami krisis identitas dan defisit akhlak yang membuat mereka sangat jauh dari idealitas Islam Rahmatan lil Alamin. Untuk mengatasi krisis dan defisit ini, tafsir yang menjelaskan identitas, sistem dan struktur sosial, dan kepribadian masyarakat Islam seperti yang baru saja diuraikan dapat diserap dalam materi tafsir dan fikih bidang sosial-kemasyarakatan yang diajarkan dalam pendidikan secara luas. Melalui pendidikan demikian ajaran itu bisa disosialisasikan dan pada gilirannya dapat diinternalisasikan oleh umat sehingga identitas, sistem dan struktur sosial dan kepribadian masyarakat itu menjadi melekat dalam diri mereka. Apabila ini berhasil dilakukan, bisa dipastikan bahwa mereka tidak lagi menjadi pencundang, seperti terjadi pada awal abad ke-21 sekarang. Sekarang umat Islam relatif sendirian menjadi masyarakat tertinggal setelah Cina dan India – yang pada masa perang dingin juga tertinggal- relatif berhasil melakukan transformasi menjadi masyarakat industri. Wallahu a’lam bish shawab.
[1]Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 133.
[2] Muhammad Rawas dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ (Beirut: Dar an-Nafais, 1985), hlm. 356.
[3] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), hlm. 90.
[4] Muhammad al-Bahiy, Manhaj al-Qur’an fi Tathwir al-Mujtama’ (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th.), hlm. 10-11.
[5] Al-Bukhari, Shahih, hlm. 82.
[6] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Kairo: Maktabah Mishr, t.th.), jilid I, hlm. 189.
[7] Ibid., hlm. 190.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 192.
[11] Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), II, hlm. 24.
[12] Ibn Katsir, Tafsir, jilid I, hlm. 195
[13] Ibid., hlm. 26.
[14] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil (Teheran: Intisyarat Afitab, t.th.), jilid I, hlm. 320.
[15] Al-Bukhari, Shahih, hlm. 89
[16] W.M. Watt menyebutkan bahwa Yahudi Madinah ketika itu menghadap ke Jerusalem dan banyak orang Kristen menghadap ke timur dalam melaksanakan peribadatan. Lihat W.M. Watt, Companion to The Qur’ab: Based on The Arberry Translation (London: George Allen and Unwin Ltd, 1967), hlm. 31.
[17] Al-Ashfahani, Mu’jam, hlm. 19.
[18] Ibid., hlm. 559.
[19] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, I, hlm.
[20] Ibid., hlm. 317.
[21] Ibn Katsir, Tafsir, jilid I, hlm. 190.
[22] Nicolas Abercrombie dkk, Kamus Sosiologi, terj. Desi Noviyani dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 525-527.
[23]Al-Ashfahani, Mu’jam, hlm. 551.
[24] Ibid., hlm. 240.
[25]Ibid., hlm. 163
[26] Ibid., hlm. 126.
[27] Pengertian efisien ini berdasarkan pada pengertian yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Hamim Ilyas
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9-13 Tahun 2015