Bermula dari kisah seorang kakek penjaga surau atau masjid kecil di sebuah nagari kecil di Sumatra Barat. Kakek yang hidup zuhud dan sepenuhnya mengabdikan diri mengurus surau nirpamrih itu ditemukan meninggal dengan cara tragis, bunuh diri. Itulah penggalan cerita antagonis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya budayawan ternama A.A. Navis.
Si Kakek yang rajin ibadah dan penunggu surau itu konon bunuh diri usai mendapat cerita dari orang bernama Ajo Sidi. Ajo bercerita kepada si Kakek tentang Haji Soleh yang masuk neraka padahal sehari-harinya tekun beribadah di Masjid. Haji Soleh yakin dirinya akan masuk surga karena tidak ada ibadah mahdhah yang dilewatkannya. Merasa diri shaleh langsung masuk surga bebas hambatan.
Haji Soleh terkejut sekali, ketika dirinya malah dimasukkan neraka. Haji Soleh “protes” kepada Tuhan dan mempertanyakan kenapa nasib malang menimpa dirinya. Dalam kisah itu diceritakan, bahwa Tuhan memberi jawaban atas keberatan Haji Soleh “Engkau tinggal di tanah Indonesia yang sangat kayaraya, tetapi engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniyaya semua. Aku beri kau negeri yang kayaraya, tapi engkau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.”
Kakek penjaga surau itu meras terpukul dengan kisah Ajo Sidi tentang Haji Soleh. Lalu, jalan pintasnya bunuh diri. Haji Soleh yang dikisahkan itu mirip dirinya, rajin beribadah tetapi abai dengan dunia. Namun tragis karena jalan yang dipilih justru bunuh diri, yang dilarang Tuhan. Islam melarang umatnya bunuh diri betapapun rumit dan putus asa dalam menghadapi kehidupan. Allah berfirman yang artinya “Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian.” (QS An-Nisa/4: 29).
Sisi lain dari kisah Haji Soleh dan Kakek penunggu surau yang rajin ibadah tetapi mengakhiri nasibnya dengan tragis itu ialah soal keadaan hidup yang ekstrem. Beragama dan beribadah tidak boleh berlebihan atau ghuluw, sehingga melupakan aspek kehidupan lain di dunia ini. Islam mengajarkan agar akhirat harus dikejar tetapi dunia jangan diabaikan. Artinya dunia itu harus dipakai jalan menuju akhirat dan sebaliknya akhirat itu hanya bisa diraih melalui perjuangan di dunia dengan cara berbuat kebaikan.
Allah berfirman dalam Al-Quran yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash/28:77).
Kehidupan dan paham beragama yang ghuluw atau ekstrem sering melahirkan bentuk estrem lain dalam perilaku seseorang. Orang yang tampak paham agama dengan kental, mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada orang lain, dan sering mudah menghakimi orang lain sebagai tidak atau kurang Islami. Namun dalam praktik hidupnya tidak jarang disaksikan paradoks atau bertentangan dengan tampilan dan pesan-pesan normatif ajaran. Gampang kenuding orang lain sekuler atau jauh dari agama, namun perangai yang sama dia lakukan. Orang-orang paham agama ini malah sering bersiasat dalam sejumlah praktik hidupnya melebihi orang sekuler.
Di balik iman dan ibadah memang ada virus hawa nafsu, yang seringkali menyelinap dalam diri setiap orang mukmin atau muslim. Nafsu akan ego diri, yang disebut ananiyah nafsiyah. Nafsu akan harta, materi, uang, dan segala perhiasan duniawi atau ananiyah maliyah. Bahkan nafsu mengejar jabatan, tahta, kedudukan, dan kekuasaan yang disebut ananiyah siyasiyah. Jangan lupa, tidak sedikit mereka yang tampilan lahirnya ahli ibadah dan alim saat ini malah cenderung gemar nafsu kuasa. Lebih-lebih di alam kehidupan di mana politik menjadi panglima dan menggiurkan setiap orang. Semoga, kisah Kakek dan Haji Soleh penjaga surau yang bernasib malang yang masuk neraka itu dapat menjadi ibrah bagi kaum beriman. A. Nuha